Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Rabu, 30 Juni 2010

Makna Penciptaan Manusia

(Sebuah Renungan dalam Pemilihan Pemimpin)

oleh
Budi Wibowo



Perkenankan tulisan ini saya awali dengan manyunting ucapan Rasulullah SAW yang mulia;

إذا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ, قَالَ : كَيْفَ اِضَاعَتُهَا ياَ رَسُو لاللهِ ؟ قَالَ : إذاَ أُسْنِدَ الأَمْرُ إلَى غَيْرِ أهْلِهِ , فاَنْظِرِ السَّاعَةَ

Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah masa kehancurannya. Nabi ditanya seseorang:”Bagaimana caranya menyia-nyiakan amanat itu?” Rasulullah menjawab:”Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada bukan ahlinya.” (HR Bukhari).6


***

Tujuan Penciptaan Manusia.
 
Allah menciptakan manusia di dunia ini pada dasarnya adalah ,untuk dijadikan sebagai khlifah dan agar beribadah (menyembah) kepada-Nya.

Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah [2] : 30.


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “ Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi “. Mereka berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan (kholifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah , padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs Al Baqarah [2]:30).

Selanjutnya Allah juga berfirman dalam QS Adz-Dzariat :[51] : 56


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”.( Adz Dzariat :[51] : 56 )

dari ayat-ayat tersebut dapat kita ambil kata-kata kunci:

1. Kholifah;
2. Kekhawatiran Malaikat, bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan di muka bumi belaka dan
3. Peribadatan.



Pengertian Khalifah

Kata khalifah menurut Al Qur’an dapat bermakna sebagai pergantian generasi , kepemimpinan, dan wakil Allah SWT untuk menegakkan hukum-hukumNya di muka bumi ini.3

1. Pengganti Generasi

Al Qur’an Surat Yunus [10]:14


ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلآئِفَ فِي الْأَرْضِ مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat”.
 

Ayat ini mengisahkan kaum yang mengingkari kerasulan nabi-nabinya. Kemudian Allah menghancurkan dan mengganti generasi berikutnya. Selain itu kandungan ayat ini sekaligus mengisyaratkan bahwa tugas manusia di dunia ini adalah sebagai pengganti dan penerus pendahulunya. Apa yang diganti ? Ternyata selain fisik dari generasi sebelumnya juga kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan nilai ke-Islaman atau aturan Allah.


2. Kepemimpinan.

 
QS Al-Anam [6]:165

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائفَ فِى الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan Dialah yang mejadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu."

Ayat ini menggambarkan bahwa setelah Allah menciptakan langit dan bumi seisinya, kemudian Ia menyerahkan kepada manusia sebagai pemimpinnya. Dalam konsep ini terkandung makna bahwa manusia diberi tugas untuk mengelola potensi bumi sebagai sarana takwa kepada Allah SWT.



3. Wakil Allah sebagai Penegak Hukum-HukumNya di Muka Bumi
 

Nabi bersabda;

السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِى الأرْضِ , يأ وِيْ إلَيْهِ كُلُّ مَظْلُوْمٍ

“Penguasa itu adalah bayangan Allah di muka bumi, di mana setiap orang yang teraniaya akan meminta perlindungan kepadanya" 2

 QS Shad [38]:26:


يَادَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

Hai Daud sesungguhnya Kami menjadikankamu khalifah (penguasa) di muka bumi , maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah".

Ayat ini menggambarkan bahwa konsekwensi logis dari tugas manusia di muka bumi ini memilih pemimpin di antara mereka dan para pemimpin itu harus melaksanakan program Allah dalam bentuk syariat. Keputusan-keputusan yang diambil harus adil dan selalu berada dalam koridor aturan Allah SWT.

Jadi, dari tiga item di atas Allah mengajarkan bahwa setiap manusia  mengemban tugas yang sama yakni sebagai pengganti dan penerus generasi sebelumnya kemudian memelihara syariat Allah. Dari dua pokok tugas ini kemudian Allah membuat fitrah pada hambanya untuk menduduki jabatan politik (pemimpin umat), demi memelihara kelangsungan generasi dan tegaknya syariat, sebagaimana Allah mencontohkan dengan menunjuk Daud AS sebagai pemimpin.

Dalam tugasnya sebagai khalifah, manusia dalam takaran sebagai individu diperintahkan untuk berbuat adil. Ikon adil ini harus tetap melekat dalam diri seorang hamba meskipun hamba tersebut menduduki sebuah jabatan politik.

***

Kekuasaan politik dianugerahkan Allah SWT kepada seorang hamba melalui satu ikatan perjanjian Ikatan itu terjalin antara sang penguasa dengan Allah SWT dan dengan masyarakatnya di pihak lain. Ikatan ini terjadi karena adanya janji untuk melaksanakan amanat. ”Berbuat adilllah !” Demikian Allah memerintahkan para pemimpin umat di muka bumi ini. Allah sangat perhatian terhadap hambanya yang mendapat kepercayaan memimpin umat ini. Rasul menggambarkan, dalam hadist sbb;


ثلثة لا تردّ دعوتهم الامام العادل و الصائم حين يفطر و دعوة المظلوم

“Tiga golongan manusia do’a mereka tidak akan ditolak Allah SWT yaitu pemimpin yang adil, orang yang berpuasa yang hendak berbuka dan orang yang teraniaya”(HR Ahmad, Turmidi dan Ibn Majah).4

Namun ketika amanat itu tidak ditunaikan maka Allahpun membatalkan dan masyarakatpun tidak ada kewajiban untuk patuh kepadanya.


وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya Allah berfirman:”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”, Ibrahim berkata : (Dan saya mohon juga ) dari keturunanku. Allah berfirman:”Janjiku tidak mengenai orang-orang yang dzolim.” (Al Baqarah [2]:124).


Tidak ada kewajiban mematuhi pemimpin yang mengingkari amanat, sebagaimana diajarkan oleh Abu Bakar ٍShidiq r.a. dalam pidatonya:

أطِيْعُونِيْ مَاأطَعْتُ اللهَ وَرَسُولَهُ,فَإذَاعَصَيْتُ الله َوَرَسُولَهُ فَلاَ طاعَةَ لِي

“Taatilah saya, selama selama saya taat kepada Allah dan Rasulnya. Kalau saya bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban taat kepada saya”.5

Pernah pada suatu hari Abu Dhar mengajukan permohonan kepada Rasul,sbb:
Dari Abu Dhar, berkata: “Saya berkata , wahai Rasul mengapa tidak engkau pekerjakan aku untuk diangkat menjadi pejabat?” Dia berkata “lalu beliau (Rasul saw) memukul dengan tangannya pada pundakku, kemudian beliau bersabda:”Wahai Abu Dhar, sesungguhnya engkau lemah, dan jabatan itu merupakan amanat, dan pada hari kiamat merupakan kehinaan dan penyesalan. Ingatlah, barang siapa mengambilnya maka harus mencarinya dan menunaikan amanat: (HR Muslim, dan Ahmad bin hambal)5


Ancaman Pemimpin dan Masyarakat yang tidak Mengemban Amanah.
 

Ketika seorang pemimpin tidak menunaikan amanat berarti dia telah siap mempertaruhkan dirinya ke dalam neraka dengan siksaan yang paling berat, demikian juga bagi masyarakat yang hanya mencari kesempatan mencari kedunyaan dalam mendukung seorang peimimpin pada saat pemilihan pemimpin. Nabi bersabda:

“Orang yang paling berat siksaannya di hari kiamat adalah orang yang menyekutukan Allah dalam kekuasaannya, sehingga dia berbuat lalim (tidak adil) dalam menjalankan hukum2 Allah SWT.” 2

Allah sangat membenci pemimpin yang tidak jujur atau tidak mengemban amanat seperti yang terungkap dalam QS Ali Imran :77);
 

الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 
“Sesungguhnya orang2 yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit , mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata dengan mereka dan tidak akan melihat mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka adzab yang pedih”.

Demikian juga bagi  masyarakat
ketika mereka tidak mengemban amanat Allah SWT , mereka akan mendpata adzab   baik dari atas maupun dari bawah;


قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

“Katakanlah:”Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dari golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlan, betapa Kami mendatangkan tanda2 kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahaminya. (Al An’am : 65)

Ibnu Abas ra menafsirkan bahwa adzab dari atas itu adalah penguasa yang dzolim sedangkan dari bawah itu adalah kekacauan yang terjadi pada masyrakat itu sendiri.

Rasul Bersabda:


ثلثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم و لهم عذاب أليم رجل على فضل ماء بالفلاة يمنعه من ابن السبيل و رجل بايع رجلا بسلعة بعد العصر فحلف له بالله لأخذها بكذاوكذا فصدّقه وهو على غيرذلك و رجل بايع إماما لايبايعه إلا لدنيا فان أعطاه منها وفى و إن لم يعطه منها من يف

Ada tiga golongan manusia yang pada hari kiamat Allah tidak akan mengajak mereka berbicara, tidak melihat mereka serta tidak pula menyucikan mereka dan mereka akan memperoleh adzab yang pedih. Yaitu orang yang tidak memberikan kelebihan (sisa ) air pada Ibn Sabil yang meminta dengan sebab kehausan, orang yang mengadakan persetujuan penjualan sebuah barang dagangan dengan orang lain setelah waktu ‘asar kemudian bersumpah dengan nama Allah bahwa sungguh dia telah mendapatkan barang tersebut demikian-demikian padahal dia berbohong, Seseorang yang berjanji kepada pemimpin ia tidak akan melakukan kecuali untuk urusan dunia, jika ia memberikan sesuatu padanya niscaya ia memenuhinya (mendukungnya), jika ia tidak memberi sesuatu padanya niscaya dia tidak mendukungnya. (HR Ahmad, Buchori dan Muslim) 4

Jadi demikian juga pada masyarakat yang mendukung seorang pemimpin maupun calon pemimpin hanya dengan sebab urusan dunya bukan karena Allah SWT.

***

Sejak awal Malaikat mengkhatirkan bahwa dunia ini rawan kerusakan dan pertumpahan darah dengan diciptakannya manusia sebagai kholifah di muka bumi ini. Ungkapan Malaikat ini ternyata benar, namun semua ini hanya Allahlah yang berkuasa dan Maha mengetahui. Kita dapat melihat dalam media masa baik melalui surat khabar maupun elektronik. Pemilihan pemimpin daerah sering menimbulkan kurban yang tidak terhingga. Makna ‘ibadah sudah tidak melekat lagi pada masyarakat. Mereka lupa atau mungkin tidak pernah mengaji tentang tujuan Allah menciptakan mereka di muka bumi ini. Bukankah kita harus hidup damai memelihara tali silaturahmi dan memelihara sumberdaya alam yang telah di sediakan Allah untuk disyukuri, bukan malah merusaknya


Type Pemimpin yang Dikehendaki Allah SWT.
 

Bila kita mau menangkap makna ucapan Malaikat ;


وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ

"Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"

Seakan akan Malaikat menghendaki agar dia yang menjadi pemimpin di bumi ini, namun Allah tidak menghendaki demikian. Malaikat tidak diberi kemampuan untuk itu; yakni ketika Malaikat disuruh Allah untuk menyebutkan nama-nama benda yang ada di muka bumi ini ia tidak mampu menyebutkannya; Argumen ini dapat kita temukan dalam Surat Al Baqarah [2] : 31-32;


وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(31)قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا
 
“Dan Dia mengajarkan Adam nama-nama (benda) semuanya kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berkata:”Sebutkanlah nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”. Mereka menjawab:”Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (Al Baqarah [2] :31-32).

Pertanyaannya, jadi sebenarnya type manusia yang dikehendaki Allah sebagi pemimpin itu seperti apa?

Allah memberi petunjuk bahwa selain mampu berbuat adil (
QS Shad [38]:26: )   seorang pemimpin harus  memiliki kekuatan atau keberanian melakukan perbuatan-perbuatan besar terutama dalam memberantas kedzaliman (اُوْلِئالأَيْدِي ) dan memiliki pengetahuan yang luas (   اُوْلِئ   الا  بْصاَرِ     ). Sebagaimana Firman-Nya dalam surat As Shad[38]:45.


وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَهِمْ وَ إسْحَاقَ وَيَقُوْبَ أثلآئِكَ اُوْلِئ الأَيْدِي وَ الابْصاَرِ

Dan ingatlah hamba-hamba Kami, Ibrahim, Ishaq dan Yakub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (As Shad [38]:45).

Saya mengajak jamaah sekalian mari kita jaga persatuan dan perdamaian. jangan mudah terpancing dan tergiur dengan propaganda-propaganda murahan. Jadilah masyarakat yang cerdik dan jadilah masyarakat yang religius, sehingga kita selalu dalam bimbingan Allah SWT.

Mari kita berdo’a semoga pemilihan kepala daerah di manapun di bumi Nuasantara ini berlangsung dengan tertib dan semua komponen masyarakat memahami peran masing-masing, bagaimana sepatutnya menjadi kholifah di muka bumi ini.

.باَرَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْانِ الْعَظِيْمِ
وَ نَفَعَنِى وَاِيَاكُمْ بِالاَيَاتِ وَالذِّكْرِِ الْحَكِيْمِ
وَ قُلْ رَبِغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ




Daftar Pustaka

1. Al Qur’an Karim PT Karya Toha Putra Semarang.
2. Al Mawardi, Abi Hasan Ali. 1992. Adabud Dunya Wad Din. Darul Fikri Hal 96
3. Anwar, R. Rozak, A. 2003. Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia. Bandung. Hal 191.
4. As Suyuti, Al Imam. _______. Al Jami’ush Shogir. Dar Ihyaaul Kitab Al ’Arabiyah.
          Idonesia. Hal. 140,141
5. Miri, Djamaluddin. 2007. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum
          Islam, Keputusan Mukytamar,Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004
          M). Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur. Surabaya. Hal. 618,660-
          661.
6. Hasyimi, Sayid Ahmad. 1995. Mukhtarul Ahadist An-Nabawiyah. (Terjemah).
          Pustaka Amani. Jakarta. Hal. 27
-----------------------
Bdl, 30 Juni 2010;
(Saat Berlangsung Pilkada Wali Kota Bandar Lampung).


»»  LANJUT...

Kamis, 10 Juni 2010

Hidup adalah Perjalanan

Kajian Filosofis Nasehat Seorang Ibu Kepada Anaknya

oleh
Budi Wibowo
بسمالله الرّحمن الرّحيم

Perkenankan tulisan ini saya awali dengan menyunting firman Allah SWT;

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا
صَدَّقَ اللهُ الْعَظِيْمَ وصَدَّقَ رَسُوْلُ اللهِ الْكَرِيْمَ
“Berpeganglah pada tali Allah semuanya!”
Maha benar Allah dengan segala firmanNya dan telah benar pula RasulNya yang Mulia.
***

Dahulu, Ibu saya pernah memberi nasehat kepada putra-putrinya sebagai bekal dalam mengarungi hidup ini dengan kalimat singkat tetapi mengandung makna yang dalam kalimat tersebut dalam bahasa Jawa berbunyi demikian "Lee mrenea tak kandani : Urip iku sejatine mung lakon, wisto lakonono". (“Kemarilah anakku saya beri tahu bahwa hidup ini sebenarnya adalah perjalanan, maka jalanilah”.)

Mari kita renungkan sejenak, benarkah hidup ini adalah sebuah perjalanan?     

Ketika kita lahir ke bumi kemudian menginjak remaja menjadi orang dewasa kemudian kembali kita mati, ternyata benar bahwa seiring dengan perputaran waktu kita tempuh kehidupan ini hingga saat tertentu, selesailah hidup di dunia ini.

Selesaikah sampai di dunia ini saja perjalan hidup ini ? Ternyata tidak, karena ada beberapa pertanyaan yang belum terselesaikan, yaitu:

1. Kemana arah yang harus kita tuju dalam kehidupan ini?.
2. Kendaraan apa yang dapat kita gunakan untuk mencapai tujuan itu.?
3. Sudah benarkah jalan yang kita tempuh ini?

Sebenarnya perjalanan ini memiliki dua terminal yaitu pertama adalah terminal pemberangkatan dan kedua adalah terminal pemberhentian.

Kapan kita mulai berangkat, yaitu ketika kita telah memasuki akil balig, di mana pada saat itu amal perbuatan mulai dicatat atau direkam sebagai amalan yang benar atau sabagai amalan yang salah, Allah berfirman dalam surat Yasin ayat 12;

اِنَا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوتىَ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَاَثَارَهُمْ
وَكُلَّ شَىءٍ اَحْصَيْنَهُ فِىْ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami mencatat amal yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan, dan segala sesuatu akan Kami perhitungkan dalam bukti yang nyata.

Pena pencatat itu terus menulis amal perbuatan kita, tak hendak diangkat-angkat kecuali ketika kita masih anak-anak, ketika kita sedang tidur, dan ketika kita menjadi orang tua yang sudah hilang ingatan

***

Hidup ini adalah perjalanan dan ternyata perjalanan kita itu menghasilkan jejak atau bekas-bekas. Bekas-bekas itu tidak akan hilang dan bekas-bekas itu menunjukkan ke mana arah yang telah kita tuju. Oleh karena itu kita harus tahu jalan mana yang hendak kita tempuh, semua ini bergantung pada niatan/motivasi kita, mau kemana ayunan kaki ini kita arahkan 'tuk membawa badan yang di dalamnya kita bersembunyi dalam perjalanan ini.

Ada dua arah yang dapat kita tuju, seperti telah dijelaskan oleh Nabi kita s.a.w, dalam sabdanya:

اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِا لنِّيَّاتِ وَاِنَّماَ لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ
و َمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى الدُّنْيَا يُصِيْبُهَا
اَوِامْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلَى مَا هَاجَرَاِلَيْهِ

Semua amal itu tergantung niatnya, dan apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya dalam hijrah itu (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut menggambarkan motivasi seseorang dalam menentukan amal perbuatan. Tergantung apa yang melatarbelakangi manusia dalam bertindak, apakah ia ingin memperoleh kenikmatan dunia saja atau ingin mendapatkan kenikmatan di akhirat nanti. Kenikmatan di akhirat digambarkan dengan pertemuan dengan Allah dan rasul-Nya.

Perlu diketahui bahwa pertemuan dengan Allah dan rasul-Nya adalah pertemuan di surga yang dijanjikan, adalah hidup dalam lindungan Allah, berdampingan dengan orang-orang yang telah mendapat ni'matNya, berkumpul di tengah para Nabi, orang-orang yang menegakkan kebenaran (Ulama), orang-orang yang mati membela agama dan orang-orang yang telah melakukan amal kebajikan sesuai dengan tuntunan-Nya. Allah telah berfirman dalam Surat Annisa ayat 69:



وَمَنْ يُّطِعِ اللهَ والرَّسُوْلَ فَاُولَءِكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ
مِّنَ النَّبِيِّنَ والصِّدِّيْقِيْنِ و الشُهَدَاءِ وَالصَّلِحِيْنَ
وَحَسُنَ اُوْلَءِكَ رَفِيْقَا

Dan barang siapa menaati Allah dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Para Nabi, para siddiqin,orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

***
Hidup ini adalah perjalanan, bergantung pada tujuan yang hendak dituju maka orang yang telah menentukan tujuan untuk mencapai pertemuan dengan Allah dan rasul-Nya segala gerak dan langkahnya tetap tertuju ke sana. Pencapaian tujuan itu memerlukan kendaraan yang berupa, keguhan (istiqomah), kesabaran, kepasrahan (tawakal) dan pengorbanan (jihad).

Sama sebenarnya bagi mereka yang telah menentukan tujuan selain di jalan Allah dan rasul-Nya. Kita tahu orang begitu giat bekerja siang malam mencari harta sengaja ia tinggalkan sholat, ia tinggalkan perintah dan anjuran. Kita lihat orang begitu sabar dan pasrah melaksanakan perjudian bahkan mereka tidak merasa menyesal sama sekali ketika yang mereka harap dari perjudian itu gagal. Memang ada kelompok manusia yang mau berkorban dengan mengambil jalan hidup demikian. Kalau boleh saya katakan maka orang demikian ini adalah istiqomahnya, kesabarannya, jihadnya dan tawakalnya hanya ditujukan untuk mengabdi kepada Syeitan.

***

Hidup ini adalah perjalanan. Ketika kita telah menentukan tujuan yang benar tidak jarang kita temui berbagai rintangan yang harus kita lewati. Pesan orang tua kita “Jalanilah !” (Lakonono !). Artinya kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kita. Karena memang demikian hidup ini. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak mendapat ujian dari Tuhannya. Ia menguji hamba-Nya sesuai dengan kemampuan hamba tersebut. Tidaklah seseorang dikatakan beriman sebelum Ia mengujinya.


لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً اِلاَّ وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al-Baqoroh:[2] ;286)

Dan Ia berfirman sebagaimana termaktub dalam surat Al-Ankabut ayat 2-3


اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يًّتْرَكُوا اَنْ يَّقُوْلُوْ اَمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُوْنَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلْيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِيْنَ صَدَّقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَذِبِيْنَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami telah beriman",sedang mereka tidak diuji?
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.

***
Iman bukanlah kata-kata. Sebelum manusia diuji oleh Allah SWT. belumlah seseorang hamba dikatakan beriman. Maksudnya seorang hamba yang beriman adalah seorang hamba yang telah lulus dari ujian yang Allah berikan, sehingga timbullah keyakinan dalam hati kemudian diucapkan dengan lesan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.

Banyak sekali orang yang mengaku beriman tumbang di tengah perjalanan karena mereka tidak mampu membuktikan ucapan mereka. Mereka yang tak mampu membuktikan keimanannya bagaikan melakukan perdagangan yang rugi. Semula mereka memiliki barang yang berharga kemudian mereka tukar dengan barang dagangan yang lebih murah, mereka kurbankan keimanan demi meraup materi keduniaan sebanyak-banyaknya. Ini dapat kita lihat semakin menipisnya nilai-nilai Islam dalam lingkungan kita, bahkan pada tataran yang lebih luas yakni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Orang tua kita berpesan dengan kalimat bahasa Jawa "Wisto lakonono !", Dalam bahasa Indonesia "Jalanilah !", artinya ketika menghadapi ujian seberat apapun kerjakanlah dan tetaplah berpegang pada tuntunan Tuhan. Para da'i jaman dahulu menggambarkan dengan kalimat "lunyu-lunyu penekno", artinya sesulit apapun tetap perjuangkanlah. Demikianlah orang tua kita mengajarkan kepada anak-anaknya, karena mereka mengetahui bahwa Allah berfirman dalam surat Ath Thalaaq ayat 2 dan 3:


وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَحْرَجًا
وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka

Di ayat lain Dia berfirman:


فَاِنَّ مَعَ العُسْرِ يُسْرًا اِنَّ مَعَ العُسْرِ يُسْرًا

 

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Al Insyirah [94 ]:5-6).

***
Hidup adalah perjalanan. Di depan kita banyak perintang, ternyata selain perintang yang harus kita atasi juga tersedia buah-buah rezeki yang melimpah, bergantung pada diri kita masing-masing dalam mendayagunakan kemampuan tenaga dan pikiran . Di tengah belantara kehidupan manusia itu ada seutas tali yang panjang, tali itu adalah penunjuk jalan agar manusia tidak tersesat menempuh perjalanan di tengah belantara kehidupan ini. Tali inilah yang kita sebut dengan Al-Quran dan As Sunnah. Tali itu adalah pegangan kita sewaktu berjalan menyusuri jalan datar , mendaki dan menuruni tebing di tengah belantara kehidupan. Kita dapat membayangkan tatkala seseorang berjalan pada jalan datar dan seseorang berjalan pada jalan bertebing. Tentu masing-masing terlihat berbeda lagak jalannya. Tidak sama antara mereka yang berpegang tali mendaki tebing dengan yang berpegang tali menapaki jalan datar.

Tali.. ? Ya seutas tali bukan tongkat kayu. Ternyata tali memberi makna transformasi yang berkesinambungan. Bukankah waktu terus berubah ? Bukankah ruang itu tidak sama? Bukankah perubahan zaman itu diiringi dengan perubahan sosial ?

Banyak manusia yang terlena dengan hiasan kehidupan dunia sehingga ada yang sengaja ia lepaskan tali itu dari genggamannya. Mereka raup buah-buah yang kelihatannya indah padahal terlarang. Di sisi lain ada orang yang tetap berpegang pada tali tersebut meskipun dia hanya mampu menjangkau sedikit saja buah rezeki di dunia ini.

Mereka yang melepaskan diri dari tali pegangan itu akan tersesat di tengah belantara kehidupan, mereka berjalan melingkar-lingkar tanpa tujuan, mereka itulah orang-orang kafir. Sedangkan mereka yang tetap berpegang teguh dengan tali tersebut terus menapaki dan sampailah ia pada penghujung tali. Itulah terminal terakhir yang ia tuju yaitu kehidupan yang lebih baik dari pada kehidupan di awal dan di tengah perjalanan. Allah berfirman:

بَلْ تُوءْثِرُوْنَ الْحَيَوْةَ الدُّنْيَا وَلاَ خِرَةُ خَيْرٌ وَّ اَبْقَى


Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, padahal kehidupan akhir itu lebih baik dan lebih kekal (QS, Al-A'laa [87 ]:16-17).

***
Jadi hidup adalah perjalanan. Betapapan berat ujian ini mari kita jalani, dengan keteguhan, sabar dan tawakal walaupun dengan pengorbanan. Kapan kita akan mati kita tidak tahu, padahal itu adalah suatu kepastian. Oleh karena itu saya berwasiat pertama kepada diri saya dan kepada jamaah sekalian. Mari kita bulatkan tekat kita dalam setiap sendi kehidupan ini gerak dan langkah kita selalu mengait pada tali Allah.


.باَرَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْانِ الْعَظِيْمِ
وَ نَفَعَنِى وَاِيَاكُمْ بِالاَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
وَ قُلْ رَبِغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

Daftar Pustaka:
- Al Qur’an Karim.
- Abdillah, M. 2003. Dialektika Hukum Islam dan Perubahan Sosial
         (Sebuah Refleksi Sosiologis atas Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah).
          Muhammadiyah University Press. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
- Zainuddin, Abi Abas. ___. Tajriidush Shariih li Ahaadiitsil Jaami’ush Shahiih.
         Al ‘Alawiyyah. Semarang. Hal. 5.
____________________________________
Materi khutbah Jum’at di salah satu Masjid di Bandarlampung;
Disampaikan penulis tgl 17-02-2006.


»»  LANJUT...