Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Selasa, 16 April 2013

Tahajud Membawa Ruh ke Surga Meski Raga di Bumi


by 
Budi Wibowo

بسم الله الرّمان الرّحيم

Ketika seorang  hamba selalu mendawamkan qiyamu lail   dengan  sebab kecintaan kepada Robnya, dia laksana telah meraih surga meski raga masih  di bumi.   Rasul bersabda :  “Shalatlah kalian pada waktu malam sewaktu manusia sedang tidur, niscaya kamu sekalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR Turmudzi).
***
Ibadah  merupakan   esensi dari pada syukur  atau ungkapan terima kasih kepada  Tuhan dalam bentuk amal perbuatan.   Ibadah  merupakan amal perbuatan yang mendapat ridho  Tuhan.   Ibadah  seharusnya menggambarkan


ekspresi  kejiwaan  yang tidak tercampur, tidak ada perbedaan antara bungkus dan isi.   Begitulah yang dikehendaki Allah SWT.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama, dan juga agar melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan yang demikian itu agama yang lurus (benar)”. (QS Al Bayinah [98]:5)

Kita mengenal istilah wajib dan kewajiban,  butuh dan kebutuhan,  cinta dan kecintaan.  Istilah-istilah ini erat kaitannya dengan ibadah.    Kata ‘kewajiban’ memiliki makna lebih luas daripada ‘wajib’, ‘kebutuhan’ memiliki makna lebih luas daripada ‘butuh’  dan ‘kecintaan’ memiliki makna lebih luas dari pada ‘cinta’.   Kita seharusnya bertanya, apakah  ibadah  yang telah kita laksanakan selama ini berdasarkan kewajiban, kebutuhan atau kecintaan ?   

Bila ibadah  dilakukan berdasar kewajiban  dia akan mudah  sekali  bersentuhan dengan  godaan-godaan , seperti terpaksa, asal-asalan,  malas, menunda, meringankan atau mencari mudah dan lain sebagainya, kesemuanya  menggambarkan kekurang-ikhlasan.   

Bila ibadah itu dilakukan  berdasar kebutuhan dominasi  egoistis  pelaku lebih menguasai dan bila dilakukan berdasarkan kecintaan maka  kerinduan dan  kegembiraan lebih mendominasi meski berbagai kondisi  menimpa.       


Beribadah Berdasar  Kebutuhan

Manusia adalah al faqir  (yang berkebutuhan), sebab dalam dirinya telah disematkan nafsu.  Nafsu inilah yang mendorong manusia untuk berkeinginan (merasa kurang) dan berbuat.    Nafsu laksana kuda binal yang harus dikendalikan, manakala dia dapat dikuasai maka manusia akan sampai pada tempat yang dituju,  sebaliknya manakala dia yang menguasai maka  tidak akan sampai pada tempat yang dituju    Tempat itu adalah  keridhaan Allah SWT.

Ibadah yang didasarkan pada kebutuhan lebih  menggambarkan egoistis  pelakunya sebab dominasi nafsu yang lebih dominan.   Ciri ibadah  demikian dapat terasa bila kebutuhan  telah tercapai pada saat berikutnya semangat ibadah akan menurun  atau mengendur.     Keadaan seperti ini dapat dirasakan  ketika terjadi kegentingan mengharapkan sesuatu.  Ketika keinginan itu terkabulkan semangat akan menurun dengan berjalannya waktu.   Demikian juga ketika kebutuhan yang sangat  diperlukan itu tidak terkabulkan,  semangat juga akan menurun bahkan meluncur hingga menembus batas bawah dari penghambaan.    Inilah sebab mengapa Allah SWT berfirman

وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

Sesungguhnya Allah SWT mencintai  hamba2-Nya yang sabar.(QS AliImran[3]:146)

Sabar menggambarkan  kesadaran bahwa segala sesuatu  berada dalam genggaman Allah SWT.  Sabar juga menggambarkan kekuatan mempertahankan  keinginan dari berbagai hantaman kendala.

Kini kita dapat merasakan  hari-hari yang telah terlalui, apakah sholat yang kita lakukan sekedar memenuhi kewajiban atau  kesadaran  karena butuh atau cinta ?  Mungkin Anda  sekarang baru menyadari bahwa ternyata  batas  bawah sikap manusia dalam beribadah adalah kewajiban, yakni  posisi yang mudah sekali bersentuhan dengan godaan-godaan , seperti terpaksa, asal-asalan,  malas, menunda, meringankan atau mencari mudah dan lainnya sebagai penjelamaan dari rasa kekurang-ikhlasan.


Beribadah Berdasar  Kecintaan

Buah cinta adalah keceriaan,  wajah  berseri, mata bercahaya, gerakan yang cepat dan rela berkorban.   Inilah yang terpancar pada diri Rasulullah SAW teladan umat.   Tidak berlebih bila masyarakat  Yastrib (Madinah) ketika  itu menyambut kedatangannya laksana kedatangan  Sang Rembulan (Al Badru).    Sebaliknya, muka  muram, cemberut dan malas  menggambarkan hilangnya rasa cinta.    Ternyata keceriaan Beliau erat kaitannya dengan kegigihan melaksanakan ibadah di waktu malam atau qiyamu lail.

Ada makna tersembunyi di balik ungkapan Rasul SAW  di bawah ini berkaitan dengan hal tersebut

ركعتان يركعهما ابن آدم فى جوف الليل الآخر خير له من الدنيا وما فيها ولو لا أن اشق 

على أمتى لفرضتهما عليهم


“Dua raka’at yang dikerjakan seorang hamba di akhir tengah malam  lebih baik baginya dari pada dunia seisinya, seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku niscaya aku wajibkan dua rakaat itu pada mereka. (HR  Ibn Nashr) 1

Qiyamu lail (sholat malam) menggambarkan kesadaran yang tinggi dalam diri pelaku atas besarnya nikmat yang telah diterima,  menggambarkan ketulusan pelaku pada Rob-nya,  menggambarkan kecintaan yang penuh pelaku terhadap Tuhannya, menggambarkan pandainya pelaku memerangi rasa egoistis  dan menggambarkan  kecerdikan pelaku menangkap makna dzikir. 

Dzikir  membawa pelakunya pada kesadaran yang tinggi dalam beribadah, puncak dari pada dzikir adalah sholat.   Pancaran keceriaan dalam beribadah bergantung pada ruh ibadah yang mendorong di dalamnya.   Bila ruh itu dalam kondisi ceria, maka yang menyembul dalam permukaan adalah keceriaan pemiliknya.  Keceriaan dalam beribadah jelas terkandung niat yang tulus di dalamnya.

وَ أفْضَلُ الصَّلاَةُ بَعْدَ المَكْتُوبةِ صّلاَةُ اللَّيْلِ

“Dan shalat yang paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam (tahajud/qiyamu lail)” (HR. Muslim) 2

Rasul mengatakan sebagai yang paling utama sebab sholat malam adalah sholat yang dilakukan penuh kesadaran pelakunya tanpa ada tekanan.   Sholat malam lebih didorong oleh motivasi-motivasi pelakunnya, berdasar kebutuhan atau kecintaan.   Bila motivasi itu berdasar kebutuhan,  dawamitas  ( keterjagaaan ) qiyamul lail akan mengalami pasang surut,  tetapi  bila dilakukan berdasar kecintaan dawamitas  akan terpelihara  sebab di dalamnya selalu  terkandung kerinduan terhadap Rob.  Inilah yang terpancar dalam diri Rasul dan orang-orang sholeh;

فَاَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفسِ وَاِلاَّ اَصبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسَلاَنَ

Sehingga pada waktu pagi ia akan tangkas dan tenang jiwanya, sedang kalau tidak, maka ia akan lesu dan malas.” (HR Bukhari dan Muslim) 3

Dua motivasi tersebut sama-sama dilakukan dengan niat ikhlas, yang merupakan pokok perintah dalam peribadatan, sebagaimana Allah SWT  dalam Surat Al Bayyinah ayat 5 sbb;

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ   

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas.

Inilah pentingnya qiyamul lail sehingga wajar bila Allah berfirman;

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

Dan pada sebagaian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS Al Isra [17 ]:79).

Begitu lembut firman Allah  tesebut, tentu  ketika ungkapan itu didengar oleh hamba yang penuh rasa cinta  segera ia menyambutnya,  sebagaimana tergambar dalam diri Rasul SAW.   Ketika seorang  hamba selalu mendawamkan qiyamu lail   dengan  sebab kecintaan kepada Robnya, dia laksana telah meraih surga meski raga masih di bumi.   Keceriaan,  wajah  berseri, mata bercahaya, gerakan yang cepat dan rela berkorban itulah akhlak para ahli surga.

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاعِمَة ٌلِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ
  
“Wajah-wajah yang berseri, merasa senang sebab usahanya, dalam surga yang tinggi.” (QS Al Ghaasyiyah [88]: 8-10)

Rasul SAW bersabda

وَصَلُّو بِاللّيْلِ وَ الناَسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسِلاَمٍ

“Shalatlah kalian pada waktu malam sewaktu manusia sedang tidur, niscaya kamu sekalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR Turmudzi).4

***

Begitulah rahasia qiyamu lail, dia merupakah ibadah yang telah dijadikan kebiasaan para rasul dan sholihin dahulu.   Apakah Anda merasa  berat ?  Bila dalam diri telah tergarami kecintaan terhadap  Allah SWT dan RasulNya  niscaya tidak ada hal yang berat. 

Semoga risalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.  Amiin.

وصلّ الله على سيّدنا محمّد و على آله وصحبه وسلّم

WaAllahu ‘alamu bishawab.

PUSTAKA

Al Qur’an Karim
Al Gozali, Muhammad Abu Hamid.____. Mukasafatul  
        Al-Qulub.  Al Haramain Indonesia. Hal 264-266.
1 Imam Suyuti. _______. Al Jaami’ush Shogir. Juz II.    
      Maktab Dar Ihya Alkitab  Arabiyah. Indonesia. Hal. 
      25.
2 Imam Suyuti. _______. Al Jaami’ush Shogir. Juz I.    
       Maktab Dar Ihya Alkitab  Arabiyah. Indonesia. Hal. 
       50.
3,4  Abi Zakariya, Addamsyiq. 2004 M/1425 H. Riyadush
        Shaalihin. Dar Al-Kotob Al Ilmiyah.   Beyrut
        Lybanon. Hal 24
»»  LANJUT...