Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Sabtu, 25 Januari 2014

Beramal Spesial

by
Budi Wibowo

بسم الله الرّمان الرّحيم

Sebenarnya kilatan lembut itu sering melintas di depan kita,  hanya saja kita tidak pandai menangkapnya, seharusnya kita tangkap, seandainya kita mampu menangkapnya  banyak-banyak lalu memeliharanya niscaya kita akan menjadi hamba spesial di hadapanNya. 
***
Ada suatu amal yang dikerjakan di luar kebiasaan.   Ketika kita selesai melaksanakan pekerjaan itu lega dan ringan  rasanya.  Sama sekali  kita tidak menyadari bahwa itu adalah sebuah  amal ibadah yang sangat besar nilainya di hadapan Allah SWT.  Misal menolong orang kecelakaan, memberi makan binatang yang menderita kelaparan atau sakit, membantu orang yang menderita kesusahan, tiba-tiba ingin menyempurnakan ibadah, berbagi makanan dengan
tetangga, bersilaturahmi dengan kerabat  dan sebagainya dan sebagainya.  
Sebagai salah satu ilustrasi;  Mungkin  kita pernah merasakan bahwa tiba-tiba saja  ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga terasa ringan bangun malam dan melaksanakan munajat  kepadaNya.  Tidak terpikir oleh kita akan nilai-nilai, tidak ada motivasi lain kecuali rasa rindu dan cinta menggebu  kepadaNya.  Inilah salah satu contoh amal special,  bila amal ini kita dawamkan insyaAllah kita akan menjadi hamba yang spesial pula di hadapan Allah SWT.  Jadi agar kita menjadi hamba yang khusus/spesial  di hadapanNya  seharusnya selalu menjaga kesadaran  mendawamkan amal-amal tersebut di sepanjang  perjalanan hidup kita.   Amat disayangkan bila kita tidak menyadari pemahaman demikian.
Rasul bersabda,
الْخَيْرُ عاَدَةٌ وَالشَّرُّ لُجَاجَةٌ وَمَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ
فِى الدِّيْنِ

Kebaikan itu dari kebiasaan, keburukan itu dari keterpaksaan, dan barang siapa dikehendaki Allah  mendapatkan kebaikan, maka Dia akan menjadikannya paham tentang agama” (H.R Ibn. Majah )1
Sabda Rasul tersebut menggambarkan  betapa pentingnya  dawamitas amal spesial  sebagai penghantar menuju  ke-faqqih-an beragama.   Bila kita telah mampu mencapai kondisi demikian, insyaAllah kita telah mampu mencapai  kondisi yang diharapkanNya.  Sebagaimana  firmanNya.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah SWT secara tulus (memurnikan ketaatan kepadaNya) dalam mejalankan agama, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang demikian itulah  sebenarnya agama yang lurus. (QS Al Bayyinah [98]:5).


Pada sisi lain ada  amal  yang memang  kita sadari nilainya karena kita telah mengetahui menurut firman dan sunnah sehingga dengan  iming-iming tersebut kita terpancing  rutin dan rajin melaksanakannya.   Terasa lega pula setelah kita mampu menunaikannya dan merasa rugi bila tidak melakukannya.  Berkaitan dengan kondisi ini Allah SWT berfirman:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.  Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.” (QS Al Maa-idah [5]:48)

Mungkin Allah SWT  tersenyum melihat hamba-hambaNya yang beramal demikian, karena  banyak diantara mereka berebut  melakukan kebajikan  berdasarkan dorongan nafsu belaka, sehingga kedudukan Tuhannya tergeser oleh nafsu.

Kemudian ada lagi amal ibadah yang dikerjakan karena takut sebab adanya ancaman-ancaman bila meninggalkannya.  Begitu pula bahwa setelah amal-amal itu  dikerjakan hati terasa lega.  Namun banyak sekali hamba yang memanipulasi rasa takut itu dengan melaksanakan amal secara serampangan atau hanya sekedar memenuhi kewajiban. 

***
Situasi pertama (amal spesial) menggambarkan bahwa  amal itu dilakukan secara refleks atau  secara naluriah.  Inilah amal yang dilaksanakan dengan ikhlas, sedang pada situasi kedua dan ketiga nilai keikhlasan amal itu masih mudah tercampur.    Refleksivitas beramal bergantung pada tinggi rendahnya frekwensi amal itu dilakukan, dikatakan bergantung  pada kekuatan memegang hidayah yang telah diperoleh.  Untuk mendapatkan kekuatan dalam memegang hidayah diperlukan latihan terus-menerus.
Latihan terus menerus dalam pelaksanaan perintah agama  disebut “riyadhah”.   Jadi riyadhah dapat kita katakan sebagai upaya menjemput dan mempertahankan bola, bola dalam konteks ini adalah hidayah.  Ketika hidayah itu telah terengkuh maka pelaku menjadi lupa akan nilai-nilai, mereka tenggelam dalam kepuasan, dalam bahasa jawa disebut “plong”.
Dari sabda Rasul tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa;
1.     Kebaikan  itu adalah kebaikan yang memiliki dasar argumen agama yang kuat.
2.     Seseorang dikatakan baik bila telah melakukan kebaikan secara berulang sehingga membentuk tabiat yang melekat pada dirinya.  
3.     Keikhlasan dalam beramal  mungkin  ditempuh melalui tangga-tangga ketidak-ikhlasan atau keterpaksaan, namun ketika amal tersebut telah menjadi kebiasaan, pelaku menjadi lupa akan keterpaksaan  atau ketidak-ikhlasan,   dikatakan  pelaku telah lupa akan nilai-nilai.
4.     Ketika suatu amal ibadah itu sudah menjadi kebiasaan atau adat, maka kondisi yang menyimpang dari kebiasaan  akan terasa sebagai suatu  keburukan, membuat  hati  sumpek (tersiksa).  Maka dari itu Rasul bersabda   “keburukan itu berasal dari keterpaksaan”.
Wallahu ‘alamu bishawabi.
***
Sebenarnya kilatan lembut itu sering melintas di depan kita,  hanya saja kita tidak pandai menangkapnya, seharusnya kita tangkap, seandainya  kita mampu menangkap  banyak-banyak  lalu memeliharanya niscaya kita akan menjadi hamba spesial di hadapanNya. 
و صلّ الله على سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم

Pustaka
 AlQur’an Karim
 1  Imam Suyuti. _______. Al Jaamingush Shogir. Juz II  Maktab  Dar  Ihya Alkitab   Arabiyah. Indonesia. Hal. 13.
»»  LANJUT...

Senin, 20 Januari 2014

MUHASABAH

 by
Budi Wibowo

بسم الله الرّمان الرّحيم

Arti Muhasabah
Kita sering mendengar istilah muhasabah, dalam bahasa Arab ditulis dengan مُحَاسَبَةَ    (muhaasabatan) yang berarti perhitungan, merupakan bentuk masdar dari wazan ( حاسب)  يُحَاسِبُ)) (مُحَاسَبَةَ ).  Makna yang popular adalah mengevaluasi diri atau interospeksi.
  
Tujuan Muhasabah
Tujuan muhasabah adalah untuk perbaikan diri agar keburukan di masa lalu tidak terulang kembali pada masa mendatang.    Allah SWT telah memerintahkan kegiatan demikian  sebagaimana  tersirat dalam QS Surat Al Hasyr [59]:18;

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

“Wahai orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah SWT,  hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS Al Hasyr [59]:18 )


Kisah Muhasabah

  1. Sesungguhnya Nabi Daud AS sering menyamar menanyakan pendapat mereka tentang perilaku dirinya.   Datanglah malaikat Jibril  AS. dalam bentuk seorang manusia.  Maka Nabi Daud AS bertanya padanya: “Wahai pemuda, apa komentarmu tentang nabi Daud ?” Dia berkata :”Daud adalah manusia yang paling baik, hanya saja dia mempunyai satu kelemahan. “Beliau bertanya “Apa itu?” Dia berkata:” Dia makan dari kas negara.”  Nabi Daud kemudian segera kembali ke mihrabnya menangis dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, dia berkata :”Wahai Tuhanku, beritahukanlah kepadaku suatu pekerjaan yang dapat  kulakukan dengan tanganku, selanjutnya dapat menjadikanku terlepas dari kas negara.”  Maka Allah SWT memberitahu kepadanya untuk memproduksi baju besi.  

وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ

“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk memelihara kamu dalam peperanganmu (QS Al Anbiya [21]:80)

Begitulah Nabi Daud AS setiap kali  selesai mengurusi urusan rakyat /pemerintahan, beliau membuat baju besi kemudian dijualnya untuk menghidupi diri dan keluarganya.1

  1. Nabi SAW pernah mengumpulkan para sahabat lalu menyatakan bahwa siapa yang pernah disakitinya maka pada hari itu dia siap menerima balasan dari mereka yang pernah disakitinya itu.2

  1. Umar bin Khotob RA.  Sering bertanya kepada para sahabatnya tentang kelamahan atau kekurangan dirinya.  Umar berdo’a : “Mudah-mudahan Allah SWT memberi rahmat pada orang yang mau menunjukkan kepadaku mengenai kelemahan-kelemahanku”.3

Pembahasan
Dari keterangan dan kisah yang telah dipaparkan tersebut di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa

1.      Allah SWT memerintahkan agar setiap diri selalu sibuk metani (mencari-cari) kelemahan atau kekurangan diri masing-masing, bukannya sibuk mencari-cari kekurangan orang lain.

2.     Kita kadang sulit menemukan kelemahan yang melekat pada diri kita, tetapi dengan bertanya kepada orang lain tentang kelemahan diri kita merupakan tindakan yang mulia.

3.      Kritikan atau ungkapan mengenai kelemahan kita dari orang lain sebenarnya merupakan sebuah rahmat Allah SWT pada kita, oleh karena itu keadaan ini   harus kita terima dengan senang dan penuh kesabaran.  Allah SWT selalu bersama orang yang sabar dan adanya kritik akan memperbaiki kita.  Rasul bersabda;

اِذَا أَرَدَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْراً فَقَّهَهُ فىِ الدِّيْنِ وَ زَهَّدَهُ فِى الدُّنْيَا وَ بَصَّرَهُ بِعُيُوبِ

Jika Allah SWT menghendaki kebaikan bagi seorang hamba-Nya, maka Dia akan memberi kepandaian dalam agama, menjandikan zuhud di dunia dan memperlihatkan aib (cacat) dirinya. (HR.Abu Na’im) 4.

Faqih = Pandai menangkap dan mengaplikasikan perintah agama;  Zuhud =  Sikap hidup yang tidak ngeboti  (memberati) materi keduniaan, tidak mengharamkan dan menyia-nyiakan yang halal, selalu berorientasi mancari pahala dan menjauhi maksiat.

Kesimpulan
Mudah menerima kritik tentang kelemahan diri menunjukkan tingginya derajat keimanan seseorang, sebaliknya orang yang mudah tersinggung atau tidak mau merima kritik dari orang lain menunjukkan rendahnya keimanan seseorang.   Wallahu ‘alamu bishawabi.

بَارَكَ اللهُ لِئ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْ اَنِ الْعَظِمَ
وَنَفَعَنِئ وَ أِيَكُم بِا لاَيَاتِ وَالْذِّكْرِ الْحَكِيْمَ
وَ قُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَ اَنْتَ خَيْرٌ الَّراحِمِيْنَ

Pustaka
Al Qur’an Karim
1  Nashr Al Faqih.  1995.  Tanbihul Ghofilin.  Diterjemah
            oleh Achmad Sunarto.  Balai Buku.  Surabaya.
            Juz II. Hal 245 -250
2    Usman bin Hasan bin Syakir Al Khaubawi.  1987.  Duratun-
             nashihin.  Penerjemah : Abu H.F  Ramadlan.  Mahkota.
             Surabaya.  Hal. 216-218.
3   Al Gozali, Muhammad Abu Hamid.____. Mukasafatu
              Al-Qulub.  Al Haramain Indonesia. Hal 249.
4    Imam Suyuti. _______. Al Jaami’ush Shogir. Juz I.    Maktab
              Dar  Ihya Alkitab  Arabiyah. Indonesia. Hal. 17.
_________
* Telah disampaikan penulis dalam khutbah Jum’at menyambut   tahun baru 2014 M, di salah satu Masjid di Bandarlampung .

»»  LANJUT...