Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Rabu, 09 September 2015

Pikir itu Pelita Hati

by
Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّ حيم


Seiring dengan berjalannya waktu manusia dituntut agar terus meningkatkan ketaqwaannya (kita dapat merenungkan kembali mengapa perintah puasa selalu diulang setiap tahunnya),  pernyataan ini berkaitan dengan tuntutan keharusan semakin tingginya keyakinan (iman) dengan berjalannya waktu.   Dengan kata lain Allah SWT menghendaki hamba-Nya agar tetap memelihara semangat  pencarian cahaya pada posisi puncak pencariannya
***
Pikir itu pelita hati, artinya pikiran itu yang menerangi hati, ketika seseorang dikatakan buta hati atau gelap hati, dapat bermakna bahwa  pikiran tidak mampu memancarkan cahaya untuk menerangi hati.  Di sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kata kunci dari fenomena pelita yang dimaksud  adalah kata “cahaya”.

Cahaya dalam Al Qur’an berarti petunjuk, seluruh isi Al Qur’an adalah petunjuk, oleh karena itu Al Qur’an bisa kita katakan adalah cahaya.  Allah SWt mengajari kita demikian;

مَا كُنْتَ تَدْرِى مَاالكِتَابُ وَلاَ الإمَانُ وَ لَكِنْ جَعَلنَا هُ نُوْرَاً نَهْدِى بِهِ مَنْ نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِيَا

"Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak mengetahui apakah iman itu tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya.   Kami tunjuki siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami." (Asy Syura [42] : 52)

Bagi orang yang mau berpikir akan mengatakan bahwa seluruh jagat raya ini menunjukkan kebesaran Allah SWT, maka dapat kita katakan bahwa setiap fenomena jagat raya ini sebenarnya adalah cahaya.  Dengan pikiran, cahaya  ditangkap,  kemudian diteruskan ke dalam hati sehingga timbulah sebuah keyakinan, semakin besar cahaya itu menerangi hati semakin kuat pula keyakinan yang diperoleh hamba tersebut.  Dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya alam ini begitu kuat dan besar memancarkan cahaya  Ilahi.
    
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pikiran itu selalu digunakan untuk memikirkan kebesaran Allah SWT  atau tidak?  Oleh karena itu membaca Al Qur’an yang benar, bukan sekedar membaca atau membunyikan saja tetapi membaca Al Qur’an harus diikuti dengan  mengerahkan seluruh potensi pikir untuk menemukan cahaya di dalamnya.  Secara tersirat  Allah SWT telah mengajari kita hal demikian, seperti tertulis dalam firman-Nya berikut; 

وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْءَانِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya telah kami buatlah bagi manusia dalam Al Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka pelajari” (QS Az-Zumar [39 ]:27).

Ayat tersebut menyatakan bahwa Allah SWT mengajari kita agar mengerahkan seluruh potensi pikir itu untuk menggali Firman-firman-Nya. 
Sebagai  contoh mari kita perhatikan Firman Allah SWT sbb:

يس  وَالْقُرْءَانِ الْحَكِيمِ إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ

Yaa Sin, Demi Alqur’an yang penuh hikmah.  Sesungguhnya, engkau (Muhammad) adalah salah satu dari rasul-rasul (QS Yasin [36]: 1-3) .

Kata   الْحَكِيمِ dalam kamus Al Munawir  berarti arif atau bijaksana, sedangkan   dalam tafsir Jalalain disebutkan dengan makna المحكم بعجيب النظم  (dikerjakan dengan teliti, dengan rangkaian (kata-kata) yang mengagumkan)1.   Para ulama mengganti makna kata tersebut  dengan kata hikmah, yang mengandung makna kebijaksanaan, ilmu, filsafat, peribahasa atau pepatah.  Maka ayat 1 dan 2 surat Yasin  dapat kita ucapkan;
Wahai Manusia, demi  Al-Qur’an  yang  penuh hikmah. (  disusun penuh  ketelitian  yang di dalamnya banyak mengandung  kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, filsafat, peribahasa atau pepatah.)

Jika Allah telah bersumpah bahwa “Demi Al Qur’an yang penuh Hikmah”, maka barang siapa  selalu mempelajari Al Qur’an (bila Allah SWT  menghendaki ) niscaya dia akan mendapatkan ilmu, pelajaran atau petunjuk, sehingga dalam setiap gerak dan langkahnya menggambarkan isi Al Qur’an.   Dikatakan dia adalah ahli hikmah.

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal." (Al Baqarah [2]:269)

Artinya yang dapat mengambi pelajaran dari Al Qur’an itu hanyalah orang-orang yang mau mengerahkan potensi  pikirnya.  Jika pikiran itu  selalu digunakan untuk memikirkan kebesaran Allah SWT melalui tanda-tanda kekuasaannya maka hati akan menjadi terang, sehingga akan jelas baginya mana yang hak dan mana yang batil.

Seiring dengan berjalannya waktu manusia dituntut agar terus meningkatkan ketaqwaannya (kita dapat merenungkan kembali mengapa perintah puasa selalu diulang setiap tahunnya),  pernyataan ini berkaitan dengan tuntutan keharusan semakin tingginya keyakinan (iman) dengan berjalannya waktu.   Dengan kata lain Allah SWT menghendaki hamba-Nya agar tetap memelihara semangat  pencarian cahaya pada posisi puncak pencariannya.

Demikian renungan ini, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Aaamiin.  

و صلّ الله على سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم
WaAllahu ‘alamu bishawabi
PUSTAKA
Al Qur’an Karim,
 Muhamad, Jalaluddin dan Abdurahman, Jalaluddin.    ____.  Tafsir Al Qur’anu
                    Adzim.   Jilid  2.  Maktab Imam.  Surabaya. Hal.  122


»»  LANJUT...

Sabtu, 29 Agustus 2015

Orang Ketiga

By

Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّحية

Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa  Allah SWt melarang hamba-Nya bergurau dengan menjadikan  kekurangan orang lain sebagai bahan gurauan.  Allah SWt melarang perbuatan demikian, ketika seseorang tidak menghiraukan perintah-Nya sepadan dengan melecehkan Allah SWt.  Jadi siapa saja yang menertawakan kekurangan hamba Allah di muka bumi ini sepadan dengan mengejek Penciptanya,  sangat rendahlah martabat hamba-hamba demikian. 

***

Setiap langkah dan tindakan yang kita lakukan pasti ada saksi atau yang menyaksikan.  Penyaksi itu  bisa jadi selain manusia, dalam al Qur’an disebutkan bahwa saksi itu bisa berujud tangan kita, kaki kita,  mulut kita atau mungkin makhluk lain di luar tubuh kita.   Selain yang kasat mata ternyata ada saksi yang tidak kasat oleh indera kita, yakni makhluk-makhluk Allah SWt yang berada di alam ghoib.  Dan yang tidak bisa kita  pungkiri adalah Allah SWt selalu menyaksikan dan sekaligus sebagai hakim dari semua perbuatan kita.

Bunga Lily
Bila tangan kita atau anggota badan kita menjadi saksi  kita, lantas siapakah sebenarnya  kita itu ?  Bila demikian dapat kita simpulkan bahwa  sebenarnya kita bukanlah ujud material, kita adalah menejer yang menggerakan ujud material itu dengan segala atribut yang disandangnya.  Maka mengatakan seseorang tampan atau cantik, bukanlah karna matanya, bukan warna kulitnya singkatnya bukan ujud materialnya, tetapi keindahan seseorang itu adalah produk yang dihasilkan manajer tadi, yakni kwalitas akhlak yang dihasilkannya. 
  
Analisis demikian telah diajarkan Allah SWt dengan mengabadikan nama seseorang sebagai sebuah nama  surat dalam Al Qur’an, Al Luqman.   Hamba Allah yang bernama Luqman adalah seorang hamba yang dalam pandangan kita bukanlah orang yang dikaruniai keindahan fisik seperti hamba yang lain, tetapi keindahan budi perketinya menjadikan dia menyandang gelar orang yang bijak, sehingga ia mendapat sebutan Luqmanul Hakim (Luqman yang bijaksan).  Nasehat-nasehatnya kepada putranya diabadikan dalam Al Qur’an.  Jadi nilai kebajikan seseorang itulah sejatinya  yang menentukan keindahan diri orang tersebut.

Sekelompok manusia yang telah diberi kesempurnaan fisik berkumpul dan bergurau dengan senangnya menjadikan kecacatan fisik dan mental orang ketiga sebagai bahan gurauan.   Mereka lupa bahwa ada orang ketiga lain sebagai saksi dan hakim bijaksana yang selalu memperthatikannya.   Bagaimana jika kecacatan fisik dan mental itu ditimpakan kepada mereka, kepada anak mereka atau kepada kerabat mereka?   Masih sanggupkah mereka tertawa ?   Bagaimana jika hamba yang teraniaya itu mengetahui kemudian memohon kepada Allah SWt agar ujian itu  dipindahkan kepada mereka ?  Bagaimana jika para malaikat mengaminkan do’a si cacat tersebut ?  Inilah yang seharusnya menjadi renungan bagi mereka yang bergurau dengan menjadikan kecacatfisik dan mental seseorang sebagai bahan guarauannya.

Rasulullah SAW berkata kepada Muadz ra, sbb;

الاَ اُخْبِرُ كَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ قُلْتُ : بَلى يا رسول الله فاخذ بلسانه فقال: كُفَّ عليك هذا , قُلتُ: يا رسول الله وأِنّا لَمُؤَاخذونّ بما تتكلَّمُ به؟  فقال ثكِلَتْكَ اُمُّكَ, و هل يَكُبُّ النَّاس فى النّار عَلى وُجُوههم الاّ حَصَائِدُ اَلسِنَتِهِمْ

“Maukah kamu aku beritahu tentang kuncinya semua perkara?” lalu beliau memegang lidahnya dan bersabda:”jagalah ini”.  Lalu saya berkata:” Wahai Rasulullah, apakah kami akan dituntut (disiksa) karena apa yang saya katakan?” Maka beliau bersabda: “Celaka kamu dan bukankah manusia dimasukkan ke dalam neraka atas murkanya, kecuali karena ulah lidahnya (ucapannya).(HR Turmudzi)1

Mereka akan mengatakan “Ini hanya sebatas bergurau belaka”, bila demikian maka menejer itu sengaja melakukan kedustaan.  Apakah agama membenarkan tindakan demikian ?  Jawabnya adalah tidak, mari kita perhatikan nasehat Rasul SAW berikut;

لاَ يُؤْمِنُ العَبْدُ الاِيْمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الكَذِبَ مِنَ المُزَاحَةِ وَ يَتْرُكَ المِرَاءَ وَ اِنْكَانَ صَادِقًا

Belum sempurna iman seorang hamba hingga ia meninggalkan dusta sekalipun dalam gurau dan meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar. (HR. Ahmad)2

Itulah yang harus selalu  menjadi renungan bagi setiap hamba  yang  berimanan.  Allah SWt berfirman;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ

Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka  (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) (QS Al Hujurat [49]:11)

Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa  Allah SWt melarang hamba-Nya bergurau dengan menjadikan  kekurangan orang lain sebagai bahan gurauan.  Allah SWt melarang perbuatan demikian, ketika seseorang tidak menghiraukan perintah-Nya sepadan dengan melecehkan Allah SWt.  Jadi siapa saja yang menertawakan kekurangan hamba Allah di muka bumi ini sepadan dengan mengejek Penciptanya,  sangat rendahlah martabat hamba-hamba demikian.

و صلّ الله على سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم
WaAllahu ‘alamu bishawabi


Pustaka

Al Qur’an Karim
1Imam Nawawi.  2004 M/1425H.  Riyadush Shaalihin.
         Dar Al-Kotob Al-Ilmiah.  Beyrouth.  Lebanon.  Cet. VI.
2Al Hasyimi, Sayid Ahmad. 1995. Mukhtarul
          Ahadist. Trj. Mahmud Zaini.
          Pustaka Amani.    Jakarta. Hal. 378
»»  LANJUT...

Sabtu, 22 Agustus 2015

Ujian itu Terjadi di Setiap Hembusan Nafas


by
Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّ حيم

Ujian itu bukan terletak pada  kegagalan kita mencapai sesuatu, tetapi ujian itu terletak pada kuatnya penjagaan kita untuk selalu berprasangka baik pada Allah SWt dalam setiap hembusan nafas yang kita lakukan.

***

Keberhasilan itu seperti lomba panjat pinang, ada yang hanya mampu memanjat semperempat perjalanan, separo atau bahkan ada yang berhasil hingga puncak.  Pada sisi lain ternyata si ahli panjat pinang  tidak mampu menempuh jarak tempuh dalam lomba berenang tetapi keberhasilan itu dicapai orang lain yang kalah dalam lomba panjat pinang.   Jadi kegagalan  seseorang pada suatu bidang tidak  bisa  menjadi tolok ukur dalam kegagalan  bidang lainnya.   Demikian dunia ini dibangun, maka setiap manusia akan menempati kedudukan  tertentu dalam hidupnya. 

Tercapainya keinginan itu karena adanya kesesuian keinginan hamba dan Robnya.  Kesadaran demikian memiliki nilai yang sangat besar di hadapan Allah Swt.  Ketika seorang hamba telah mampu memegang kuat prinsip demikian, ketenangan dan keceriaan akan selalu meronainya, bagaikan bayi yang menetek dalam dekab dan buaian ibunya.    Rasul menggambarkan bahwa ahli syurga bukanlah  mereka yang rajin bangun malam, tetapi ahli syurga  adalah orang yang telah mampu memegang prinsip bahwa Allah Swt telah memberikan yang terbaik kepada mereka, artinya mereka tidak pernah merasa iri dan dengki  terhadap kepemilikan orang lain. Dalam suatu hadis diterangkan bahwa Rasul memberi nasehat sbb;

ياَ اَنَسُ لاَتَبِيْتَنَّ لَيْلَةً وَلاتُصِبْحَنَّ يَوْمًا وَفِى قَلْبِكَ غِشٌّ لِاَحَدٍ مِنْ اَهْلِ الاِسلاَمِ فَاِنَّ هَذاَ مِنْ سُنَّتِى فَقَدْ اَحَبَّنِى فَهُوَ مَعِىْ فِى الجَنَّةِ

Hai Anas, jangan sampai kamu berada di malam maupun siang hari, sedangkan dalam hatimu ada dengki terhadap seseorang dari ahli Islam karena ini termasuk sunnahku.  Barang siapa memegang sunnahku, maka dia benar-benar menyukaiku, maka dia bersamaku di syurga. (Al Hadist diriwayatkan dari Anas Bin Malik)1


Apakah Anda menyesal dengan apa yang anda peroleh sekarang ini ?  Apakah Anda menyesal menjadi tukang beca, penjual bakso, petani, tukang batu, guru dsb.  Apakah Anda mengira bahwa kedudukan seperti pejabat atau atasan Anda, dokter, dosen, Insinyur yang sukses dalam usahanya merupakan kedudukan yang terhormat ?  Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini laksana fatamorgana ketika anda kejar ternyata air itu tidak kita temukan, jadi dimana air itu dapat kita temukan ?  Atinya dimana kebahagiaan itu kita dapatkan ?  Jawabnya adalah kebahagiaan itu akan  kita temukan di saat kita selalu mampu memegang erat prasangka baik pada Allah SWt.  Jadi ujian itu bukan terletak pada  kegagalan kita mencapai sesuatu, tetapi ujian itu terletak pada kuatnya penjagaan kita untuk selalu berprasangka baik pada Allah SWt dalam setiap hembusan nafas yang kita lakukan. 


وصلّ الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم

Allahu ‘alamu bishawabi

Semoga tulisan pendek bermanfaat pada diri penulis dan pembaca sekalian.  Aamiin.


Pustaka
Al Qur’an Karim
1Nashr, Al Faqih.______.Tanbiihul Ghafilin. Diterjemah : Sunarto,A.
        1995. Balai Buku.  Surabaya. Juz I. Hal. 333.
»»  LANJUT...

Senin, 10 Agustus 2015

Yang Hilang

by
Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّ حيم

Pernahkah Anda merasakan kehilangan sesuatu ? Sesuatu itu bukan benda,bukan jabatan dan bukan harga diri.  Sesuatu itu adalah kondisi segenap jiwa raga kita yang pernah merasakan total  menghadap Allah SWT saat sholat, kadang hingga  menitikkan air mata.  Apakah keadaan yang pernah kita alami tersebut sering terulang dan terulang kembali ?  Mungkin saat bulan Romadhon kemarin hal demikian itu terulang atau bahkan mungkin sama sekali tidak pernah terulang hingga kini atau bahkan Anda tidak pernah mengalami hal seperti itu.

Kondisi yang hilang tersebut menandakan sempurnanya kita berkomunikasi dengan Allah SWT dan hilangnya kondisi tersebut menandakan tidak sempurnanya komunikasi kita dengan Allah SWt.  Mengapa bisa terjadi demikian ?   Hilangnya kondisi itu disebabkan adanya hijab, kabut atau penghalang yang menghalangi mata hati kita kepada Allah SWt. 

Hijab  sebenarnya adalah sesuatu (makhluk), bisa jadi dia adalah  wujud  materiil dan bisa jadi wujud non material.  Ketertarikan akan hijab itu menghilangkan kesadaran kita akan Allah SWt.   Semakin kita tertarik semakin kuat hijab itu melenakan kita sehingga terasa sangat berat menghadirkan jiwa raga bertemu dengan-Nya laksana bungkus yang menyekap seluruh raga.

Dalam wujud memang kita sedang melaksanakan ibadah sholat tetapi dalam kenyataan kita tidak pernah hadir di hadapan-Nya.  Kondisi inilah yang menentukan kwalitas manusia di hadapan-Nya, maka tidak heran jika yang pertama dihisab pada yaumul akhir nanti adalah kwalitas sholat kita di hadapan-Nya.

أوّل ما يحاسب به العبد يوم القيامة صلاته فان كان أتمها كتبت له تامة

Yang pertama dihisab (dilihat) pada seorang hamba di hari kiyamat adalah sholatnya, jika sempurna sholatnya maka ditetapkan baginya  sempurna (amal yang lainnya). (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Al Hakim dengan sanad shohih)1    
 
Kwalitas sholat menunjukkan seberapa pandai seseorang menangkap cahaya hidayah, cahaya akan terpancar di lingkungan seseorang.  Bila sholatnya sempurna maka pancaran yang keluar adalah baik,  sinyalemen demikian dapat kita tangkap dari Firman Allah Swt berikut;  

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Sholat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS Al Ankaabut [29]:45)

Maka tingkah laku seseorang menggambarkan kwalitas sholatnya.   Jadi, sholat sebenarnya perintah melatih seorang hamba berkomunikasi sempurna dengan Robnya,  ketika seseorang telah melaksanakan sholat tetapi dalam realita masih melakukan pengingkaran  perintah-Nya, menggambarkan ada suatu yang hilang dalam dirinya.
وصلّ الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم
WaAllahu ‘alamu bishawabi.

Pustaka
Al Qur’an Karim
1  Suyuti. _______. Al Jaami’ush Shogir.  Maktab
            Dar Ihya AlKitab Arabiyah.  Juz 1.   Indonesia.  Hal. 113
»»  LANJUT...

Selasa, 04 Agustus 2015

Tiada Sesuatu yang Bermanfaat Kecuali Menambah Kedekatan Kita Kepada Allah SWT

by

Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّ حيم


Tiada sesuatu yang bermanfaat kecuali sesuatu itu menambah kedekatan kita kepada Allah SWT.  Allah SWt menciptakan kata “sesuatu” untuk menyatakan ciptaan-Nya (makhluk) yang dalam nalar orang yang berpikir adalah bumi langit dan seisinya yang terhampar di hadapan kita.   Yang terhampar itu bukan sekedar materiil belaka tetapi juga hal yang bersifat immateriil.   Jadi sesuatu  itu bisa benda, pengetahuan, jabatan,  keburukan atau kebaikan yang kita lakukan dan sebagainya, semua terwakili dengan kata “sesuatu”.  

Allah SWt mengajari kita;

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ       

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (QS Asy Syuura [42]:11)

Sesuatu itu tidak mirip dengan Penciptanya karena itu tidak mungkin Pencipta dikalahkan makhluknya, artinya tidak mungkin Tuhan memiliki kelemahan di hadapan makhluknya.
Para filsuf  menggambarkan bahwa sesuatu itu adalah jejak-jejak Tuhan yang membuktikan bahwa Tuhan itu ada. 

Tuhan mengajari kita bahwa sesuatu itu tidak boleh melenakan kita dari pada-Nya.  Meski perintah ini tidak secara jelas disebutkan, cukuplah statement (Firman) Allah SWt di bawah ini dirasa sangat keras bagi orang yang mau berpikir.

وَمَاالحَيَوَاةُالدُّنْيَاإلاَّ مَتَاعُ الغُرُورِ


”Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (Al Hadid [57]:20)

Di balik pernyataan tersebut ada perintah tegas menyatakan bahwa manusia jangan tertipu oleh sesuatu, karena  Allah SWt tahu bahwa manusia banyak yang tidak menuruti perintah-Nya (banyak yang tertipu). 

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ   وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ    وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar (tidak bersyukur) kepada Tuhannya, dan sesungguhnya dia (manusia) menyaksikan (mengakui) keingkarannya, dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan (QS Al ‘Adiyat [100]:6-8).

Ketika kita sadar bahwa ada kehadiran Tuhan dalam sesuatu kita termasuk orang yang tidak tertipu. Maka ketika kita mendapat suatu kemudian lebih memperhatiakan kepada pemberi sesuatu (Allah Swt) manggambarkan kita adalah hamba yang telah mampu membaca keberadaan Allah SWt.  Adalah suatu kebodohan jika kita semakin banyak tahu sesuatu tidak menambah   kedekatan kita kepada Allah SWt.

Waallahu ’alamu bishawabi

Medio, 4 Agt '15

»»  LANJUT...

Kamis, 25 Juni 2015

Esensi Taqwa

by
Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّحية

Setiap manusia adalah pengukir sejarah bagi dirinya sendiri.  Secara tidak kita sadari mesin perekam sejarah itu berjalan terus pada diri kita.   Pernahkah kita berpikir bahwa betapa banyak catatan buruk yang  terus terukir dalam lembaran hidup kita yang nanti akan dibacakan di hadapan Allah SWT ?  Pada hari itu dibuka lembaran hidup kita  selama  hidup di dunia.
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ

Pada hari itu ditampakkan segala rahasia. (QS Ath Thoriq [86]:9)

Pernahkah kita sadari bahwa segala yang  tidak tertangkap oleh mata manusia dan malaikat, bukan menjadi rahasia bagi Tuhan ?  Padahal hari itu ditampakkan segala rahasia.  Sangat mengerikan bagi penyandang dosa-dosa besar yang masih dalam penangguhan pengampunannya.   Kalau dosa itu timbul karena melukai Allah SWT masih mudah diharap pengampunannya, tetapi bagaimana bila dosa itu sebab melukai sesama manusia ?   Pengahapusan itu baru tunai jika orang yang kita lukai  telah memaafkan, kemudian penghapusan itu baru terjadi bila kita benar-benar tidak akan mengulang perbuatan keji itu di masa mendatang.

فاِنَّ هَؤُلاَءِ لا يُغْفَرُ لَهُمْ حَتَّى يَتُبُوا وَيُتْرَكُوا

Mereka  tidak diampuni hingga bertaubat dan suka meninggalkan.”  (Al Hadist dari Abu Hurairah dalam Duratun-nashihin). 

Allah Swt menyebutkan ciri orang yang bertaqwa dalam surat Al Imron ayat 135 sbb;

وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya, sedang mereka mengetahui.  (QS Al Imran [3] : 134-135 ) 


 
Jadi dalam kata taqwa terkandung makna penjagaan atau pemeliharaan, begitulah ulama menyimpulkan.

Tolok ukur kecerdikan seseorang di hadapan Allah SWT adalah seberapa kuat seseorang mampu melakukan penjagaan nilai ketaqwaan tersebut dalam dirinya.  Puasa Romadhan merupakan salah satu therapy atau riyadhah saja yang diwajibkan  untuk  melakukan penjagaan tersebut, kemudian  sikap itu dilanjutkan di luar bulan puasa.

Ada makna tersirat dari firman-Nya yang termaktub dalam surat Al Baqarah 183, bahwa ending point dari hamba yang melakukan puasa adalah “Agar hamba menjadi manusia yang bertaqwa” artinya  menyikapi berbagai suport atau rangsangan yang di “blow up” Allah SWt di bulan tersebut harus dimaknai sebagai ibadah yang  bukan bersifat temporer belaka, meskipun perintah itu diberikan setiap tahun sekali.   Kita tidak boleh berfikir matematis bahwa   tidak masalah mengulangi perbuatan keji yang sama di luar bulan Ramadhan toh nanti akan datang lagi bulan pengampunan itu.  Pernyataan demikian mengandung makna tipu daya hamba pada Tuhannya.   Bila kita berpikir demikian,  menjadi tidak bersambung pernyataan bulan puasa sebagai bulan yang penuh rahmat, pengampunan dan pembebasan dari api neraka.    Allah SWT  berfirman;

يَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu.  Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.”(QS Al Anfaal [8]:30).

Ayat tersebut menggambarkan betapa manusia ada yang  hendak melakukan makar (tipu daya)  kepada Allah SWT, mereka lupa bahwa Allah SWt  di atas segala-galanya. 

***
Jadi esensi dari taqwa sebagai ending point ibadah puasa adalah  penjagaan agar selalu terhindar dari perbuatan keji  yang sama di masa mendatang.  Kuatnya seseorang  melakukan penjagaan inilah menunjukkan tingkat kecerdikan seorang hamba di hadapan Allah SWT.  Maka ibadah puasa yang dialakukan setiap tahun sekali tidak benar jika kita  sikapi sebagai ibadah yang bersifat temporer.   Semoga semakin bertambahnya usia semakin meningkat kwalitas hidup kita di hadapan-Nya.  Amiin.

Wallahi ‘alamu bishawabi

و صلّ الله على سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم


Pustaka
Alqur’an karim
1   _____1987.   Duratun-nashihin.  Penerjemah : Abu        H.FRamadlan Mahkota.  Surabaya.  Hal.                 822.
»»  LANJUT...

Selasa, 23 Juni 2015

Adab Bergurau Rasulullah

by
Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّحيةI

Bergurau merupakan hiburan yang dapat berguna untuk menghilangkan stress (cekaman) pada diri  manusia, namun  dapat juga merendahkan martabat pelakunya bila tidak dikontrol oleh norma-norma kepatutan yg berlaku,  sebab bergurau menggambarkan kepribadian pelakunya.    Bila seseorang gemar menggunakan kata-kata kotor, menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak memperhatikan  larangan berkata kotor.  Jika seseorang suka mengejek kekurangan saudaranya maka dia sama saja suka mengejek penciptanya.   Bila seseorang dalam bercanda mampu menggiring lawan bicara pada logika yang benar, maka dia seorang yang berkepribadian tinggi atau  berilmu, sebaliknya jika seseorang dalam bergurau tidak menggunakan logika yang benar (asal bicara atau abal-abal) menunjukkan yang bersangkutan tidak berilmu.  Allah SWT berfirman;

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling dari padanya, mereka berkata bagi kami amal kami dan bagimu amalmu, kesejahteraan atas diri kamu, kami tdak ingin bergaul dengan orang-orang jahil (bodoh) (Al Qashash [28]:55)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, bahwa orang muslim yang benar adalah orang selalu menjaga perkataannya;

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (QS Al Mu’minun [40]:3)



لا تُكثِرُوا الكَلَمَ بِغَيْرِ ذِكرِاللهِ, فَاِنَّ كَثْرَةَ الكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكرِاللهِ تَعالى قَسْوَةٌ لِلقَلْبِ , وَ اِنَّ اَبْعَدَ النَّاسِ من اللهِ القَلْبُ القَاسِى

“Janganlah kalian banyak bicara selain berzikir kepada Allah SWt, maka (banyak bicara) akan membuat kerasnya hati, dan sesungguhnya manusia yang paling jauh dari Allah Ta’ala adalah orang yang berhati keras.” (HR Turmudzi)2

Jadi akhlak atau kepribadian seseorang dapat  ditemukan di dalam berguaraunya.

Rasul bersabada;
مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَ اليَومِ الاخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً اَوْ لِيَصْمُتْ

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia selalu berkata baik atau diam. (HR Bukhori ).1

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban (Al Israa [17]:36).

Isteri Rasulullah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah  menjawab “adalah al Qur’an”, ucapan ini bukan sekedar ucapan kosong  belaka sebab Allah SWT berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى      إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu  menurut kemauan hawa nafsunya . Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan  (kepadanya)”. (QS An-Najm [53]:3-4)

سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى  إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى

“Kami akan membacakan  (Al Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa, kecuali Allah menghendaki.  Sungguh Dia mengetahui yang terang dan tersembunyi.” (QS Al A’laa [87]: 6-7).

Sebagai manusia biasa tentu kita bertanya, kalau demikian bagaimana cara berguarau Rasulullah ?   Tentu gurauannyapun tetap dalam bimbingan Allah SWt.

Tentang hal bergurau ini Allah SWT memberi tuntunan , seperti berikut;

  1. Tidak mengolok-olok

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka  (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokan) perempuan lain, (karena ) boleh jadi perempuan yang diperolok-olokkan lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok.   Jangan kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.  Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk  (fasik) setelah beriman.  Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS Al Hujurat [49]:11)

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya  tinggalkanlah, bertaqwalah kepada Allah SWT sesungguhnya siksa Allah itu sangat pedih (QS. Al-Hasyr[59]:7)


  1.  Tidak mengandung kedustaan.

عن ابى هريرة رضىالله عنه انّ النّبىّ ص.م قال: كفى باَلمرء كذِباً ان يُحَدِّ ثَ بِكُلِّ مَا سَمِعُ  

Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi saw. Bersabda:”Cukuplah seseorang disebut pendusta, jika ia menceritakan segala sesuatu apa yang tidak ia dengar.” (HR Muslim)3.


لاَ يُؤْمِنُ العَبْدُ الاِيْمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الكَذِبَ مِنَ المُزَاحَةِ وَ يَتْرُكَ المِرَاءَ وَ اِنْكَانَ صَادِقًا


Belum sempurna iman seorang hamba hingga ia meninggalkan dusta sekalipun dalam gurau, dan meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar. (HR. Ahmad)3a


  1. Mengandung  nilai educative (pendidikan)

Suatu saat Rasulullah dalam perjalanan bertemulah seseorang yang menanyakan terhadap beliau “Dari kabilah mana Anda”, Rasul menjawab dari kabilah “Air”.  Rasul tidak menyebutkan kabilah yang melekat pada dirinya karena secara logika semua manusia itu diciptakan dari bahan yang sama di hadapan Allah SWT dan semua manusia itu diciptakan  dari air.

Adalagi saat seorang nenek berkata apakah dia nanti bisa masuk syurga, beliau menjawab di syurga tidak ada nenek2.   Gurauan Rasululllah ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS:
فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا عُرُبًا أَتْرَابًا

Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan,penuh cinta lagi sebaya umurnya (QS Al Waqi’ah [56]:36-37)


  1. Tidak menggunakan kata- kata kotor.

Rasulullah SAW berkata kepada Muadz ra, sbb;

اَلاَ اُخْبِرُ كَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ ؟ قُلْتُ : بَلى يا رسول الله فاخذ بلسانه فقال: كُفَّ عليك هذا , قُلتُ: يا رسول الله وأِنّا لَمُؤَاخذونّ بما تتكلَّمُ به؟  فقال ثكِلَتْكَ اُمُّكَ, و هل يَكُبُّ النَّاس فى النّار عَلى وُجُوههم الاّ حَصَائِدُ اَلسِنَتِهِمْ

“Maukah kamu aku beritahu tentang kuncinya semua perkara?” lalu beliau memegang lidahnya dan bersabda:”jagalah ini”.  Lalu saya berkata:” Wahai Rasulullah, apakah kami akan dituntut (disiksa) karena apa yang saya katakan?” Maka beliau bersabda: “Celaka kamu dan bukankah manusia dimasukkan ke dalam neraka atas murkanya, kecuali karena ulah lidahnya (ucapannya).(HR Turmudzi)4

Kata-kata  yang tidak edukatif dan dusta bukan merupakan sikap ahli syurga, sebagai mana Allah SWT berfirman dalam surat An Naba’ ayat 35:

لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا

Mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia atau perkataan dusta.

  1. Tidak menakutkan orang lain

المسلم من سلم المسلمون من لسانه و يده و المهاجر من هجر ما نهى الله عنه

Muslim adalah orang yang selamat kaum muslim dari lisan dan tangannya sedangkan Muhajirun adalah orang yang hijrah (meninggalkan) dari apa yang dilarang Allah SWt. (HR Buchori, Abu Dud dan Ansai dari Ibn Umar sanad sahih)5


Demikian memedomani Rasulullah Saw di dalam bergurau semoga risalah pendek ini bermanfaat bagi pembaca.  Amiin.

Wallahi ‘alamu bishawabi

و صلّ الله على سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم


                                  Pustaka

        Al Qur’an Karim
1,2,3,4Imam Nawawi.  2004 M/1425H.  Riyadush Shaalihin.
         Dar Al-Kotob Al-Ilmiah.  Beyrouth.  Lebanon.  Cet. VI.

3aAl Hasyimi, Sayid Ahmad. 1995. Mukhtarul

          Ahadist. Trj. Mahmud Zaini.
          Pustaka Amani.    Jakarta. Hal. 378
5 Imam Suyuti. _______. Al Jaami’ush Shogir.  Maktab
            Dar Ihya AlKitab Arabiyah.  Juz 2.   Indonesia.


»»  LANJUT...