Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Selasa, 29 Desember 2009

Hijrah dalam Konteks Kekinian

Oleh Budi Wibowo

Pada saat kita berfikir tetang dunia tidak mungkin berfikir tentang penciptanya, sebaliknya pada saat kita berpikir tentang sang Pencipta tidak mungkin berpikir tentang dunia. Namun setiap saat kita dituntut untuk memikirkan keduanya, secara seimbang.

Allah berfirman;

وَابْتَغِ فِيْمَا ءَاتَكَ اللهُ الدَّارَ الأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ امِنَ الدُّنْيَ

"Dan carilah pada apa yang telah di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi." (Al Qashash [28]:77)

Demikianlah Allah merintah manusai agar setiap saat secara seimbang selalu berpikir untuk kebahagiaan kampung akhiratnya kelak dan kebahagiaan hidup di dunia saat ini. Dari ayat tersebut sebenarnya tersirat petunjuk pada manusia bahwa motivasi (dorongan) pertama mencari kebahagiaan adalah adalah untuk kebahagiaan akhirat kemudian dengan bekal itu manusia didorong untuk mencari rezaki sebanyak-banyaknya di dunia sesuai kemampuan yang mereka miliki, maka dari itu Rasul bersabda:


الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الاخِرَةِ فَمَنْ زَوَعَ خَيْرًا حَصَدَ غِبْطَةً وَمَنْ زَرَعَ شَرّاً حَصَدَ نَدَامَةً

"Dunia adalah tempat bercocok tanam untuk kehidupan akhirat, maka barang siapa yang menanam kebaikan niscaya memetik kebahagiaan, dan barang siapa menanam keburukan niscaya memetik penyesalan." (Al Hadis)

Namun manusia banyak yang tidak mampu menjaga kesetimbangan tersebut, mereka banyak yang tertipu dalam menjalani kehidupan ini. Ternyata manusia lebih banyak yang memberati/condong pada kehidupan dunia daripada akhirat, sebagaimana Allah berfirman dalam QS : Al A'laa [87] : 16-17,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الحَيَوَاةَ الدُّنْياَ وَالاَخِرَةُ خَيْرُ وَ أبْْقَىَ


"Tetapi manusia banyak yang mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal." (Al A'laa [87]:16-17)
Mengapa bisa terjadi hal yang demikian ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita harus berpedoman pada firman Allah swt. yang berbunyi sbb;

مَا أصَبَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أصَبَكَ مِنْ سَيْئَةِ فَمِنْ نَفْسِكَ

"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, sedangkan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri." (An Nisaa' [4]:77).

bahwa Allah itu ghoib, neraka itu ghoib, malaikat itu ghoib, jin dan syetan itu ghoib dan yang ghoib itu tidak dapat dijangkau oleh panca indera tetapi ia dapat dijangkau dengan menggunakan akal. Dengan keghoiban ini manusia diuji keteguhan imannya dan supaya tidak tersesat Allah memberi petunjuk melalui kitab-Nya dan sunah Rasul-Nya. Jadi karena keghoiban inilah terjadi keadaan manusia bahwa mereka ada yang lebih condong/ memberati pada kehidupan dunia daripada akhirat.

Kembali pada QS Al A'laa ayat 16-17, ternyata obsesi manusia dalam menapaki hidup ini banyak yang terbalik yakni mereka lebih banyak yang mendahulukan kehidupan dunia daripada akhirat. Bila manusia dalam obsesi hidupnya lebih condong pada keduniaan maka sifat tamak, serakah tanpa memikir kemaslahatan orang banyak yang akan terlihat. Bila itu dilakukan oleh manusia yang berambisi untuk menduduki suatu jabatan maka ia tidak akan mengemban amanat tetapi jabatan itu untuk mendapatkan kekayaan pribadi atau kelompoknya saja.

Bila ini dilakukan oleh orang yang bergerak dalam bidang usaha maka yang timbul adalah usaha yang bersifat monopoli, adalah suatu usaha yang lebih condong pada pengekploitasian tenaga manusia atau kalau boleh saya katakan cenderung melakukan penindasan terhadap sesama manusia. Kondisi ini sangat berbahaya karena akan menimbulkan perbedaan yang menyolok antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin. Lebih berbahaya lagi jika jumlah kaum miskin semakin bertambah. Artinya keadaan demikian akan mengarah pada kondisi kehidupan yang semakin sulit. Yang lebih fatal lagi merubah kondisi masyarakat yang seharusnya berpandangan religius menjadi materialistis.

Bila orang telah berpandangan materialistis, mereka lebih mengutamakan materi , atau boleh dikata lebih menuhankan dunia atau boleh dikata menjunjung tinggi makhluk daripada Penciptanya, maka dalil pegangan hidup yang mereka gunakan adalah kebenaran menurut kebutuhan hawa nafsu mereka, bila terjadi keadaan demikian maka tunggulah kehancuran hidup ini.

وَلَوِ أتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ ألْسَمَآوَاتُ وَالاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّ


"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya." (Al Mukminun [23]:71).

Hijrah dalam konteks kekinian lebih tepat digambarkan sebagai "perubahan paradigma", sebagaimana halnya umat islam waktu jaman rasul yang hidup di tengah tekanan kaum jahiliyah, bahwa meninggalkan tempat yang sumpek (lingkungan yang menekan) lebih baik daripada tetap menetap di tempat tersebut. Maka dalam kontek kekinian setiap muslim harus memiliki motivasi untuk merubah paradigma hidup keduniawian ke dalam hidup keukhrawian, dengan cara menghindar dari arus kebusukan keluar dari lingkungan bubrah (lingkugan yang penuh kepura-puraan) ke tempat yang penuh kecerdikan dan kedamaian. Jika seorang muslim tidak memiliki keberanian melakukan demikian paling tidak harus berani mengungkapkan bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah itu adalah salah. Ketika seorang muslim tidak memiliki keberanian melaksanakan semua itu, ia seperti halnya orang yang tidak mau berhijrah mengikuti anjuran rasulnya. Orang-orang yang tidak memiliki paradigma demikian tempatnya neraka, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur'an sbb;


إنَّ الَّذِيْنَ تَوَفَهُمُ المَلآءِكَةُ ظَالِمِىً أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيْمَا كُنْتُمْ ‘ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيْهَا فَأُوْلَآءِكَ مَاْوَهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيْرًَا 0 إلاَّ ألمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْرِّجَاَلِ وَلنِّسَآءِ وَالوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيْعُونَ حِيْلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيْل
اً

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?", Mereka menjawab "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri kami (Mekah)." Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang lemah dari laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijarah)." (An Nisaa [4] : 97-98)

Demikian bagi orang beriman yang telah benar keimanannya dalam memaknai hijrah dalam kontek kekinian,
Allah berfirman;

إنَّمَا المُؤْمِنُونَ ألَّذِيْنَ ءَامَنُواْ بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُواْ وَجَاهَدُواْ بِاأَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِى سَبِيْلِ اللهِ , أُولآءِكَ هُمُا الصَّادِقُونَ

"Sesungguhnya orang yang beriman itu hanyalah orang yang percaya kepada Allah dan Rasulnya kemudian tidak ragu-ragu. Dan mereka telah berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Mereka itulah orang yang benar." (Al Hujurat [49] :15).

Inilah sekapur sirih semoga bermanfaat bagi diri saya dan pembaca sekalian. Amiin.
وَصَلَّ الله على سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه و سلّم


Tidak ada komentar:

Posting Komentar