Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Sabtu, 27 Februari 2010

Pro dan Kontra Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Oleh Budi Wibowo

Latar Belakang Diadakan Peringatan Maulid

Manusia adalah makhluk yang bertanya. Tidak lepas dari kodrat tersebut , seorang Sultan (setingkat Gubernur) yang bernama Sholahuddin Al Ayubi pada masa Dinasti Bani Ayub memerintah (1174-1193 M), berkedudukan di Kairo, dengan daerah kekuasaan mebentang dari Mesir , Syuriah hingga semenanjung Jazirah Arab, mengusulkan kepada khlifah yang berkedudukan di Bagdad yakni An-Nashir, agar setiap tanggal 12 Rabiul Awal dilaksanakan peringatan kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad SAW. Kolifah menyetujuinya, maka mulai tahun 580 H (1184M) setiap tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan peringatan Maulid Nabi SAW. (NU-On Line)





Sultan berpikir bahwa mungkin kekalahan umat Islam dalam perang salib karena semangat juang para pejuang Islam mengendur, karena mereka telah hidup jauh dari masa kehidupan Rasulullah SAW, menurutnya perlu diadakan penyegaran untuk menggertak semangat juang kaum muslimin kembali. Akhirnya ide tersebut membuahkan hasil, Palestina yang semula diduduki oleh kaum Nasrani berhasil direbut kembali (1187 M). Masjidil Aqso yang dulu dibangun orang Islam dapat dikuasai kembali, yang mana pada saat dikuasai oleh orang Nasrani sempat dijadikan gereja. Ewo semono (Meskipun demikian) masih banyak sesama kaum muslim yang masih menentang terhadap kebijaksanaan Sultan tersebut. Pro kontra perayaan Maulid Nabi masih terjadi hingga sekarang.


Mereka yang menentang perayaan Maulid berpendapat bahwa


1. Perayaan itu seperti budaya kaum Nasrani, sepertihalnya peringatan hari Natal, dengan dalih bahwa Rasul pernah bersabda,


Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum itu.“ (HR Abu Daud)


Sesungguhnya kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian, sedikit demi sampai seandainya mereka masuk ke lubang biawak kalian juga akan mengikuti mereka..“ (HR Bukhori dan Muslim)


2. Selanjutnya mereka yang menentang juga mengatakan bahwa perayaan Maulid merupakan bid’ah, dan bid’ah itu dilarang agama, sebagaimana sabda Rasul SAW


عن عائشة رضي الله عنها قالت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد.
رواه مسلم



“Dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak” (HR. Muslim).


Hadits lain yang sering dijadikan dalil atas sesatnya semua perbuatan yang tidak dikenal pada masa Rasulluah SAW adalah:

عن عبد الله ابن مسعود, أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ألا وإياكم ومحدثات الأمور فإن شر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة.
رواه ابن ماجه


“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” (HR. Ibnu Majah.)


Selanjutnya bagi mereka yang melaksanakan Maulid , beralasan bahwa


1. Maulid adalah perbuatan baik dalam agama, sebagaimana sabda Rasul sbb;

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءً


“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR Muslim)


2. Maulid merupakan bid’ah, tetapi bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)




Pembahasan


Perbedaan mendasar dari dua golongan tersebut, adalah golongan pertama (yang menetang Maulid) mereka lebih menekankan dalil naqli secara tekstual (dogmatis), yakni memahami hadist seperti apa adanya yang tertulis. Sedangkan golongan ke dua yang permisif dengan perayaan Maulid mereka lebih menekankan makna kontekstual (anlistis) dari hadist, mereka lebih berpikir bagaimana memaknai sebuah teks dengan pertanyaan apakah ada makna lain di balik ungkapan sebuah teks.


1. Makna Kesempurnaan Islam


Mari kita perhatikan Firman Allah SWT Al-Maidah [5]:3;

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا


Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu dan Aku ridhai Islam (sebagai) agamamu.“ (Al Maidah [5]:3).


Dalam ayat tersebut Allah SWT berbicara mengenai kesempurnaan agama Islam. Artinya Islam adalah agama langit yang memiliki keakuratan hingga akhir zaman atau dengan kata lain Islam adalah agama yang dapat menembus dimensi ruang dan waktu. Bila demikian maka Islam adalah luwes atau enak bagi setiap pemeluknya dan lingkungan yang menyertainya, meskipun pemeluk itu berada dalam rentang yang jauh dengan masa hidup Rasul baik dalam ukuran tempat maupun waktu.


Adalah suatu kewajaran bila terjadi keberagaman dalam penalaran atau penafsiran ayat dan hadist yang bersifat dhoni (multi tafsir). Karena, di situlah ruang bagi umat Islam untuk berolah pikir dalam menghadapi tantangan perubahan zaman. Bagi saudara kita yang masih terkooptasi (terpaku pada pilihan) kehidupan Islam hingga abad ke III Hijriyah silahkan untuk tidak melakukakan perayaan Maulid. Pertanyaannya apakah dimensi ruang dan waktu pada masa tersebut masih relevan dengan kondisi sekarang?


Tidak menutup kemungkinan terjadi kegerahan (kegelisahaan) pada suatu masa, akibat adanya sebuah kekosongan. Adanya kekosongan inilah mungkin yang telah dirasakan oleh seorang Shalahuddin Al Ayubi. Ia merasakan semangat juang kaum muslim mulai meredup sehingga terjadi kekalahan dalam perang Salib. Dengan tetap berpegang pada tali Agama ia membaranikan diri untuk merubah paradigma lama dengan tujuan mengobarkan kembali api Islam, yakni dengan menyulut simpul-simpul agama. Akhirnya berkobarlah semangat juang kaum Muslimin, Palestina dengan Masjidil Aqsonya dapat direbut kembali. Inilah dampak positip perayaan Maulid Nabi setelah dibudayakan waktu itu oleh Shalahuddin Al Ayubi.




2. Tentang Bid’ah


Bid’ah merupakan sebuah kata benda dalam bahasa Arab berarti perkara baru (Munawir) selanjutnya kami menggunakan istilah pembaharuan, dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Telah terjadi perbedaan (pro dan kontra) dalam menyikapi perayaan Maulid Nabi SAW. Mereka yang kontra perayaan Maulid menyatakan bahwa kegiatan tersebut adalah bid’ah dan semua bid’ah itu sesat, sedangkan mereka yang pro menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan bid’ah yang baik (hasanah).


Kalau kita pernah belajar ilmu statistik marilah kita buktikan dua pendapat tersebut dengan meletakan dua hipotesis. Taruhlah sebagai misal hipotesis pertama kita beri inisial H0 adalah pendapat yang kontra Maulid, dan hipotesis ke dua kita beri inisial H1 adalah pendapat yang pro Maulid. Dalam rumus Statistik dapat kita tulis sbb;


H0 = Semua Bid’ah itu sesat;
H1 = Tidak semua Bid’ah itu sesat;


Obyek yang kita amati adalah hadist Nabi yang menyatakan bahwa وكل بدعة ضلالة
yang artinya „dan semua bid’ah itu sesat.“


Sekali lagi saya katakan bahwa bid’ah itu kata benda, sebagai benda tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak memiliki sifat, mungkin saja bid’ah itu bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Jika kita lakukan simulasi terjadi dua kemungkinan;


Pertama berbunyi:
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik itu sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.


Ke dua berbunyi :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.


Dari hasil simulasi tersebut dapat kita lihat bahwa yang pertama; Apakah sesuatu yang baik dalam agama itu sesat ? Postulat demikian ini tidak mungkin. Selanjutnya mari kita lihat postulat yang ke dua ; Apakah sesuatu yang jelek menurut agama itu sesat. Jawabnya adalah “Ya“, maka simulasi ke dualah yang dapat kita terima.


Maka dari itu dapat kita simpulkan bahwa konteks pembicaraan yang disampaikan Rasulullah tersebut bermakna bahwa semua pembaharuan (bid’ah) yang jelek adalah sesat.


Inilah sebenarnya yang ditangkap oleh para ulama pro peringatan Maulid, mereka senafas dengan pendapat Imam Syafi’i r.a:

اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ


“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.

Kembali dalam ungkapan menurut bahasa statistik, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam kajian tersebut di peroleh jawaban bahwa kita menolak hipotesis pertama (tolak Ho) dan menerima hipotesis kedua (terima H1), dengan kata lain dikatakan bahwa tidak semua peringatan Maulid itu sesat.


Demikian apresiasi yang dapat saya ungkapkan, saya adalah pengikut sekte Ahlussunnah Wal Jamaah, menyambut gembira peryaan Maulid yang subtansinya adalah syiar Islam dan tidak setuju dengan perayaan yang menyimpang dari subtansi tersebut. Dan saya menghormati saudara seiman yang tidak melaksanakan peringatan Maulid karena alasan kehati-hatian atau takut terjerumus ke jurang bid’ah yang menyesatkan. Namun saya menhimbau kepada mereka yang mengarahkan telunjuk kepada saudaranya yang melaksanakan peringatan Maulid; “Tekuklah telunjuk kalian dan turunkan tangan kalian, hentikan ucapan kalian untuk mengucapkan kalimat bahwa“ semua bid’ah itu sesat.“
Ingatlah menjastise saudara seiman dengan ungkapan bid’ah atau kafir itu sangat menyakitkan dan ungkapan demikian dibenci oleh Allah, perhatikan Firman Allah SWT berikut:

أدعوا إلي سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم باللتي هي أحسن

“Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan berbantahlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.”(QS An-Nahl:126)



Dan sabda Rasul SAW berikut:

مَنْ دَعَارَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ الله وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa memanggil seseorang dengan kata:”Kafir”, atau dengan kata :”Musuh Allah”, padahal (yang dipanggil) tidak seperti itu, maka (panggilan itu) terpulang kepada dirinya sendiri.”(HR Bukhari dan Muslim)


Semoga uraian singkat ini bermanfaat bagi diri saya dan pembaca sekalian. Amiin.
وصلّ الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم

4 komentar:

  1. Saya setuju dengan pendapat Bapa, tapi bagaiman dgn pelaksanaan perayaan Maulid yg menggunakan tetabuhan dan petasan dan hal-hal lain yang berlebihan

    BalasHapus
  2. Dengan sebuah selingan acara dalam peringatan dapat menghadirkan 2000 orang, tetapi tanpa selingan tersebut hanya mampu menghadirkan 100 orang. Mana yang Anda pilih ? Kecuali kalau selingan tersebut bersifat maksiat jelas itu haram hukumnya. Allahu jamiilun yuhibbul jamalan.

    BalasHapus
  3. bapak ,, kemudian saya ingin bertanya , ketika maulid di laksanakan , salah satunya ada acara marhabanan , dan ketika seruan sholawat kepada Rasullullah ,, semua berdiri ,,,
    apakah ada hadits yang memerintahkan untuk berdiri ,,, ?? dan sebenarnya apa tujuannya ?? mhon jwaban dari bapak ,, terimakasih .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Assalamu'alaikum, Mas Amin yth. Untuk menganalisa kegiatan dalam dunia yang terus berkembang, pertanyaan yang benar adalah "Apakah ada larangan menurut sari'ah mengadakan kegiatan tersebut ?" Bukan apakah ada hadist yg memerintahkan, sehingga kita tidak terjebak ke dalam kekakuan, sehingga Islam tetap luwes di setiap ruang dan waktu yang berbeda. Tujuan jamaah berdiri dalam mengucap sholawat hanyalah salah satu bentuk umat Nabi SAW, mengekspresikan penghormatan kepadanya, yang dalam syariah tidak dtemukan larangannya. Trims

      Hapus