Mengapa Mental Bangsa Ini Rusak ?!
by
Budi Wibowo
بسم الله الرّمان الرّحيم
Kita harus sadar bahwa senjata pengetahuan melalui discoursus pertanian benar-benar lebih berbahaya dari senjata apapun , mereka yang terkena senjata tersebut langsung berubah menjadi alien-alien Liberalisme, mereka telah berhasil merusak budaya bangsa ini. Oleh karena itu dihimbau kepada penentu kebijakan politik khususnya bidang pertanian (agropolitic) dalam pengambilan kebijakan harus mengacu pada pelestarian budaya bangsa dan menjaga kekayaan hayati jangan sampai punah.
Pendahuluan
Kita adalah produk yang dihasilkan oleh lingkungan kita. Saya katakan demikian karena yang membentuk kepribadian kita adalah tempat di mana kita hidup yang di dalamnya terdiri dari manusia , makhluk hidup lain serta daerah dengan topografi yang berbeda dengan kelompok makhluk lain di muka bumi ini, setiap saat kita berinteraksi dengan mereka hingga akhir hayat.
Bila kita melihat tanaman padi , jika mereka tumbuh di daerah tropis yang kaya akan sinar matahari kemudian didukung dengan pengairan yang baik disertai dengan pengolahan tanah dan pupuk yang tepat maka padi akan tumbuh bagus sehingga hasil panennya akan melimpah yang sangat menggembirakan.
Andaikata kita umpamakan bahwa hasil itu adalah kepribadian , maka pemimpin adalah petaninya/pengelola dan pupuk adalah pendidikan yang kita tanamkan kepada generasi penerus di masa depan.
Tapi mengapa kepribadian bangsa yang kita dapat tidak tumbuh sebagaimana padi yang kita gambarkan tadi, tidak bernas ( tidak memilik bobot kepribadian yang handal)?
.
Berarti ada yang salah dalam mengelola ladang yang bernama Indonesia ini. Pengelola itu adalah para kepala rumah tangga hingga kepala Negara di Republik ini.
ألآ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ingatlah kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan bertanggung jawab terhadap apa yang kamu pimpin”. (HR Bukhori :1084)
Kita telah dikenal sebagai bangsa yang religius dan kita bangga, tapi mengapa rligiusitas yang kita banggakan itu tidak menyentuh bagian asasi dari kehidupan ini. Bila demikian sebutan tersebut hanyalah sebagai pepesan kosong belaka. Masjid-masjid banyak dibangun, gereja berjamuran di mana-mana demikian juga puri dan kelenteng hampir di setiap sudut kota kita temukan sehingga nampak memang bangsa ini seakan gemar malakukan kegiatan supra natural, semua itu hanyalah simbul belaka,. Akankah demikian? Seharusnya tidak, karena pesan yang dititipkan oleh para founding fathers adalah ” negeri ini bukan negara agama, tetapi negara ideal menurut Soekarno adalah negara yang ”api” dan ”semangat” Islamnya terwujud dalam kerbijaksanaan dan tercermin dalam kehidupan rakyatnya. (Pagar,2004)
Dekadensi moral seperti korupsi, kolusi, nepotisme, hedonisme dan dekadensi moral yang lain jelas bukan citra dari hasil refleksivitas agama manapun, karena dekadensi itu tidak lain adalah pendustaan terhadap ajaran agama. Islam juga mengajarkan bahwa pendusta adalah orang yang menganggap remeh eksistensi Tuhan sebagai pemilik kekuatan supra natural.
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
.
“Sesungghuhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta” (QS An-Nahl:105)
Jadi, Islam menetapkan bahwa pendusta adalah orang tidak beriman, maka koruptor adalah orang yang tidak beriman, karena secara integral koruptor adalah pendusta.
***
Berangkat dari rumah, seorang bayi negri ini lahir dan tumbuh, mendapat bimbingan dari keluarga, kemudian setelah usia +- 7 tahun mulailah ia mendapat pendidikan formal dan mulailah ia berinteraksi dengan masyarakat hingga sampai dengan perguruan tinggi. Kemudian setelah selesai mengenyam pendidikan formal, mereka terjun ke masyarakat sebagai pelaku ekonomi, politisi dan birokrasi. Ternyata para pelaku ekonomi, politik dan birokrasi yang kita panen tidak merefleksikan semangat religiusitas yang tinggi, terbukti bahwa negeri ini mendapat label sebagai negeri terkorup, ditandai sering timbulnya berbagai macam peristiwa seperti bentrok antar warga, bentrok antar suporter olah raga, pembunuhan di mana-mana, pelecehan supremasi hukum, pembunuhan dengan mengatasnamakan agama dan yang mengherankan seorang kepala negara dengan seenaknya dijadikan bulan-bulanan ejekan dan berbagai macam sarkasme oleh sebagian rakyatnya.
Berarti pengelola negeri ini telah gagal melakukan pembangunan mental terhadap anak-anak bangsa. Inilah pekerjaan rumah yang harus segera kita bergegas menyelasaikannya. Maka menjadi kebutuhan mendesak membangun bengkel-bengkel pembangunan moral dengan memberikan prioritas pada institusi- institusi pendidikan berbasis keagamaan, memelihara lembaga non formal yang mengobarkan nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat dan dalam suatu intitusi, mempercepat intrusi syari’at Islam ke dalam aturan hukum dalam rangka menggantikan aturan yang tidak seirama (out of date) dengan tututan masyarakat yang mayoritas muslim, mengganti pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki religiusitas tinggi dan tidak memahami potensi agraris yang dimiliki bangsa ini.
Pendidikan Berbasis Keagamaan
Ada istilah watak, tabiat, kepribadian, budi pekerti, akhlak adalah kata-kata yang memiliki arti yang sama (sinonim) yakni sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku serta perbuatannya. (Nur Azaman, dkk., 2001)
Sikap batin ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan sehari-hari sesuai dengan lingkungan di mana individu berada. Lingkungan masyarakat yang patuh hukum akan menghasilkan generasi yang patuh hukum. Sebaliknya lingkungan yang biasa melanggar norma hukum akan mengahasilkan keturunan yang demikian juga meskipun pelanggaran norma itu sebenarnya bukan fitrah manusia.
الْخَيْرُ عاَدَةٌ وَالشَّرُّ لُجَاجَةٌ وَمَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ
فِى الدِّيْنِ
فِى الدِّيْنِ
“Kebaikan itu dari kebiasaan, keburukan itu dari pemaksaan, dan barang siapa dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Dia akan menjadikannya paham tentang agama” (H.R Ath-Thabrani )
Mendidik generasi yang patuh hukum diperlukan keteladanan pada setiap individu yang akan menghasilkan generasi penerusnya. Keteladanan ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama yang terus menerus diterima dan diaplikasikan sehingga menjadi suatu kebiasaan. Maka menjadi keniscayaan negeri ini untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada sekolah-sekolah yang berbasis agama dan secara bertahap mereduksi sekolah-sekolah yang berbau sekular yang telah terbukt gagal membangun mental bangsa. Tidak dapat kita pungkiri bahwa telah banyak masyarakat yang sadar dan haus dengan model pendidikan semacam ini, tinggal kepekaan pemerintah dan para wakil rakyat saja sebagai pengambil kebijaksanaan bahwa mereka mampu melihat fenomena demikian atau tidak.
Dalam kerangka negara yang telah teruji dengan slogan Bhineka Tunggal Ika selama 65 tahun, kita tidak perlu risau dengan mengubah system pendidikan berbasis keagamaan, tidak perlu khawatir dengan isu dikotomi. Justru dengan model demikian akan terlihat persaingan sehat bahwa pendidikan mana yang menghasilkan anak-anak bangsa yang berakhlakul karimah yang menjunjung tinggi budaya dan agamanya, kondisi demikian justru akan mempertajam nilai kebhinekaan yang tetap menjunjung tinggi kesatuan. Bukankah sebuah perhiasan dengan berbagai macam mutu manikam yang menempel pamornya hilang karena debu dan percikan lumpur yang melekat, maka agar pamor itu terlihat tegas harus dicuci bersih sehinggga keindahannya akan tampak kembali?
Memelihara Lembaga Non Formal yang Mengobarkan Nilai-nilai Agama dalam Masyarakat dan dalam Institusi
Kesalehan sosial adalah ending point yang menjadi tujuan akhir dari bangsa ini. Ini harus dibangun selain melalui pendidikan formal juga dibangun melalui pendidikan non formal mulai dari institusi terkecil yaitu keluarga, organisasi kemasyarakatan, instititusi pemerintah hingga kelembagaan tinggi negara. Kepala keluarga, tokoh masyarakat, jajaran pemimpin instansi, para wakil rakyat hingga kepala negara harus mejadi pelopor-pelopor perubahan sosial (change agent) dalam hal ini ( perubahan kepribadian menuju kesalehan sosial). Gerakan moral melalui kepeloporan ini diperlukan karena manusia pada fitrahnya dalam bersikap adalah mencontoh, ketika berada dalam lingkungan keluarga maka ia akan mencontoh kepala rumah tangganya, ketika berada dalam masyarakat ia akan mencotoh tokoh masyarakat yang berada si sekitarnya, ketika ia berada pada lingkungan tempat kerja ia akan mencotoh atasannya dan puncaknya adalah dia akan mencontoh kepala negaranya. Mengikuti keteladanan atau mencontoh itu sebenarnya merupakan salah satu proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi oleh penglihatan (visual), bahkan pengetahuan yang diperoleh melalui penglihatan atau visual memiliki kefektifan paling besar dibandingkan melalui pendengaran atau yang lain. Pengaruh yang diserap melalui penglihatan (mata) 84 % akan mengubah perilaku, malalui pendengaran 11 % dan yang lain hanya 5% (Sanusi,2006).
Inilah sebuah contoh keteladanan gerakan moraldari negeri seberang. Zhu Rongji adalah Perdana Menteri China (1997-2002) dikenal sebagai orang yang sangat keras menyuarakan pemberantasan korupsi. Lewat mulutnya dikenal ucapan yang melegenda:
”Beri saya 100 peti mati,” katanya:”sembilan puluh sembilan akan saya gunakan untuk mengubur para karuptor, dan satu untuk mengubur saya, kalau saya melakukan tindakan korupsi”. (Santosa,2006 )
Melalui keteladanan ini pembanguan ekonomi negeri China mengalami kemajuan yang dahsyat dan mengejutkan, ibarat raksasa yang sedang menggeliat, China diprediksi sanggup mengejar dan mendahului Amerika Serikat dalam kurun waktu tidak lebih dari setengah abad mendatang (Kompas, 2006).
Seorang kepala negara yang menampakkan religiusitas tinggi akan ditiru oleh rakyatnya Bukan bermaksud mengkultuskan, kita ingat ketika Abdurahman Wahid menjabat sebagai kepala negara ketika itu gema sholawatan, puji-pujian membahana di seantero negri, menandakan bahwa semangat religiusitas pada saat itu bangkit. Ini menunjukkan bahwa gerakan moral sangat efektif bila dicontohkan oleh kepala pemerintahan. Sinyalemen semacam ini menunjukkan bahwa pada masa mendatang negeri ini memerlukan kepala negara yang memiliki kemampuan pengetahuan agama yang kuat dan mampu mengaktualisasikannya, bukan pemimpin yang abu-abu, mengingat pembangunan negeri ini tidak akan pernah berhasil tanpa didahului dan diiringi oleh pembangunan mental.
لَنْ تَهْلِكَ الرّعِيَّةُ وأِنْ كاَنَتْ ظَالِمَِةً مُسِيئَةً أِذاَ كَانَتِ الوُلاَةُ هاَدِيَةً مَهْدِيَّةً وَلَكِنْ
تَهْلِكُ الرَّعِيَّةُ واِنْ كَانَتْ هَا دِيَةً أِذاَ كَانَتِ الوُلاَةُ ظَالِمَةً مُسِيْئَةً
تَهْلِكُ الرَّعِيَّةُ واِنْ كَانَتْ هَا دِيَةً أِذاَ كَانَتِ الوُلاَةُ ظَالِمَةً مُسِيْئَةً
” Rakyat tidak akan mengalami kehancuran sekalipun mereka sesat dan jelek, apabila keadaan pemimpin/pemerintahannya suka menunjukkan ke jalan yang benar dan suka ditunjukkan ke jalan yang benar. Akan tetapi rakyat akan hancur sekalipun mereka suka menunjukkan ke jalan yang benar dan suka diberi petunjuk , apabila keadaan pemerintahannya sesat dan jelek.” (HR Abu Nu’aim).
Selanjutnya setiap kepala institusi baik formal maupun non formal harus memiliki komitmen kesadaran bahwa dia adalah sebagai agen-agen perubahan. Terlebih kepada mereka yang memiliki otoritas lembaga yang menangani bidang oudio visual (media elektronik). Dalam Islam diajarkan bahwa setiap menusia itu adalah da’i (penyeru) dalam hal kebaikan. ”Sampaikanlah walaupun satu ayat !” demikian rasul bersabda. Penyampaian itu tidak hanya dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tindakan dan tindakan itulah sebenarnya wujud dari penguasaan nyata ilmu yang dimiliki seseorang , karena ilmu menunjukkan ketinggian derajat (harga diri) seseorang , maka hakekat ilmu adalah pengamalannya, sebagaimana Saidina Ali KWH, mengungkapkan:
”Harga diri individu tergantung pada perbuatan baik yang telah dilakukannya”
Selanjutnya ketika dalam diri seseorang telah memancar keteladanan moral maka ia telah mencapai sesuatu yang diharapkan oleh masyarakat . Nabi bersabda:
خِِيَارُكُمْ مَنْ ذَكَرَكُمْ بِاللهِ رُؤْيَتُهُ, وَزَادَفِيْ عِلْمِكُمْ مَنْطِقُهُ , وَرَغَبَكُمْ فِيْ الآخِِرَةِ عَمَلَهُ
Selanjutnya selain melalui keteladanan dilanjutkan dengan membentuk dan menggiatkan madrasah-madrasah non formal, seperti menggiatkan kelompok-kelompok pengajian, majelis dzkir seperti yasinan , manaqiban, perayakan peringatan hari-hari besar agama dlsb. Konteks ini bukan hanya dianjurkan pada kalangan muslim tetapi juga pada kalangan lain sebagai non muslim. Islam mengajarkan untuk hidup berdampingan secara damai dengan mereka yang non muslim dan melarang pemaksaan dalam agama.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kamu untuk kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu saling menolong untuk perbuatan dosa dan permusuhan. (QS Al Maidah :5:2).
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (QS Al Baqarah :2:256).
Salah satu contoh bentuk ritual yang syarat dengan pendidikan moral adalah kewajiban sholat jum’at. Alangkah eloknya bila seorang kepala Negara sering manjadi khotib dan imam di masjid-masjid, tentu akan menghasilkan pengaruh yang besar dalam percepatan perubahan moral.
Kegiatan yasinan merupakan hasil rekayasa yang dilakukan para ulama terdahulu dalam menyebarkan pesan-pesan moral, karena di dalamnya syarat dengan pendidikan moral. Biasanya setelah selesai pembacaan surat yasin dilanjutkan dengan do’a bersama kemudian diselingi jeda untuk memakan hidangan ala kadar. Kemudian dilanjutkan pemberian tausiah (nasehat keagamaan ) oleh orang yang ditokohkan di antara mereka. Kegiatan ini telah menjadi tradisi sebagian besar anak bangsa di negeri ini. Maka alangkah naifnya bila kegiatan semacam ini dianggap sebagai penodaan agama. Tidak sepatutnya mereka mecela kegiatan tersebut, kelompok demikian bagaikan orang yang melempari bangunan sekolah (tempat belajar) yang telah susah payah dibangun oleh para ulama terdahulu. Saudaraku, marilah kita ciptakan bengkel-bengkel perbaikan moral yang lain, karena bangsa ini sangat mendesak memerlukannya. Minimal pada kelurga kita, mari kita luangkan waktu sejenak untuk mengkaji agama yang kita miliki masing-masing, ingat rumah kita adalah madrasah pertama yang kita hampiri tiap saat.
Nurani bangsa ini telah mengalami pembelokan dari fitrah yang sebenarnya, maka stop saling menghujat, mari kita bersatu mendobrak dekadensi moral di segala lini kehidupan anak negeri ini.
Mempercepat Intrusi Syariat Islam ke Dalam Aturan Hukum Dalam Rangka Menggantikan Aturan yang Tidak Seirama (out of date) dengan Tuntutan Masyarakat yang Mayoritas Muslim
Ketika sebuah gunung akan meletus tidak serta merta gunung itu meletus begitu saja, tetapi sebelum mencapai titik puncak perbuatannya ia memberikan tanda-tanda, atau peringatan, sehingga manusia diberi kesempatan untuk menyelamatkan diri sebelum gunung itu meletus benar-benar atau boleh jadi gunung itu tidak jadi meletus. Ini sebenarnya merupakan Firman Allah SWT dalam mengajarkan kepada hambanya dalam bentuk ayat kauniah agar mereka pandai menangkap sinyal-sinyal hidayah-Nya, firman-Nya.
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا
يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS Al Baqarah :2:269).
Gelombang demonstrasi menuntut keadilan, tidak akan pernah berhenti dari negeri ini bila putusan pengadilan dirasakan oleh masyarakat tidak sesuai dengan nilai keadilan atau kearifan yang melekat dari masyarakat. Hampir tidak bisa dibedakan antara karifan dengan keadilan. Gelombang protes ini menunjukkan bahwa pengambil kerputusan tidak mewakili kearifan masyarakat atau mungkin aturan hukum (produk hukum) yang diterapkan sudah tidak seirama (out of date) dengan tuntutan masyarakat. Barangkali karena yang diterapkan adalah produk hukum dari barat atau produk hukum kolonial yang syarat dengan kepentingan kolonial.
Kebijakan atau kearifan seseorang akan diterima bila sesuai dengan pedoman hidup mereka. Pedoman hidup inilah sebenarnya yang mengatur dan mengarahkan mereka dalam melaksanakan interaksi sosial, mereka akan diam bila putusan itu sesuai dengan aturan yang mereka pedomani.
Hukum lahir di mana ada masyarakat. Pemimpin lahir di mana ada masyarakat Hukum bak penguasa imaginer yang diakui, karena dialah sebenar-benarnya penguasa. Maka cukuplah penyelenggara pemerintahan menjalankan hukum sesuai dengan nilai-nilai yang dipedomani oleh masyarakat. Bila masyarakat itu mayoritas muslim maka cukuplah kebijaksanaan hukum diambil dari nilai-nilai yang dipedomani oleh kaum muslim. Dengan demikian terpenuhilah kebutuhan-kebutuhan manusia dari aspek material maupun aspek spiritual.
Perubahan hukum yang baik adalah perubahan yang mengarah kepada wujud realitas masyarakat tempat hukum itu diberlakukan (El-Muhtaj,2004). Hukum Islam dan masyarakat Indonesia , jika hendak jujur, pada hakekatnya merupakan bagian inheren dalam kehidupan berbangsa, karena ruh Islam telah melekat pada masyarakat Indonesia selama berabad-abad hingga sekarang. Maka sudah sepatutnya bila segera menginterusikan (menyerapkan) ke dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah terutama kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan pengadilan.
Penyerapan hukum Islam dalam rangka menciptakan produk hukum kontemporer, sangat bergantung pada kebijaksanaan politik partai-partai berkuasa terutama partai-partai besar yang berkuasa. karena produk hukum itu adalah produk kebijaksanaan politik. Ini adalah sebuah peringatan, bila kebijaksanaan politik dalam pembangunan hukum tidak mengimbangi tuntutan realitas masyarakat maka gelombang penisbatan lembaga legislatif sebagai thoghut akan semakin mendapat legitimasi, dan negeri ini akan mengalamai instabilitas dalam jangka yang lama. Demikian permasalahannya.
Bukankah gelombang protes dan keributan di seantero negeri ini sebagai ekses tersumbatnya nilai-nilai yang tidak tersalurkan bak gemuruhnya gunung yang hendak meletus? Marilah para pemimpin dan wakil rakyat bangunlah dari tidurmu, lihat dan pandai-pandailah menangkap sinyal-sinyal hidayah dari TuhanMu bila kalian ingin diakui sebagai orang yang mau berpikir (ulil albab).
Mengganti Pemimpin-pemimpin yang Tidak Memiliki Religiusitas Tinggi dan Tidak Memahami Potensi Agraris yang Dimiliki Bangsa ini
Rezim orde baru tidak sepenuhnya salah, ada kebijakan yang patut kita teruskan, yakni pembangunan pertanian yang berkelanjutan-, hingga puncaknya adalah pembangunan industri yang canggih dengan didukung oleh pertanian yang tangguh. Menunjukkan bahwa rezim Soeharto sangat memperhatikan terhadap dunia pertanian. Salah satu tahapan yang direncanakan rezim orde baru adalah menciptakan industri yang mendukung pertanian.
Meskipun dengan cara dipaksakan pada zaman rezim orde baru pernah tercapai swasembada beras. Tapi mengapa swasembada beras itu tidak berkelanjutan ? bahkan tidak diikuti dengan kesejahteraan petani ? bahkan petani menjadi ikon (dentik) kemiskinan ? Rezim orde baru tidak berhasil membagi kueh pembangunan merata pada anak bangsa ini sehingga kesenjangan sosial semakin jauh, puncaknya adalah gelombang tuntutan masyarakat untuk menggulingkan reziim tersebut. Tentu ada yang kurang tepat dan tidak disadari dalam program pembangunan khusunya di bidang pertanian yang dilaksanakan orba.
Meskipun demikiam tidak serta-merta orde reformasi dan pasca reformasi merubah nasib petani, alih-alih merubah bahkan menurut Serikat Petani Indonesia (SPI) pengasilan petani hanya Rp 5000/hari, padahal dalam catatan Kementerian Pertanian 25 juta rumah tangga petani di Indonesia memproduksi pangan seperti padi, jagung, kedelai dan ubi-ubian sekitar 258 trilyun rupiah.(Voanews, 2010) angka yang fantastis tetapi petani tidak pernah menikmatinya, sangat ironis. Bila kementerian Pertanian menyebutkan 25 juta dalam satuan rumah tangga, alangkah miskinnya rakyat ini. Mari berhitung matematis, bila dalam satu rumah tangga petani terdiri dari rata-rata 4 jiwa maka jumlah penduduk miskin di negeri ini adalah 100 juta jiwa (4 x 25 juta).
Pertanian merupakan persoalan nasional yang benar-benar harus mendapat perhatian yang lebih oleh pengelola negeri ini. Selain berkaitan dengan masalah ketahanan pangan kegagalan pembangunan di bidang ini mengakibatkan multi efek, bahkan bisa mengubah edeologi, budaya dan bahkan dapat berakibat pada disintegrasi bangsa. Kegagalan pembangunan di bidang ini siapa yang paling bertanggung jawab ? Menurut saya adalah pemerintah dan maaf bila saya katakan juga tanggung jawab perguruan tinggi pertanian sebagai lembaga riset di negeri ini. Maka dari itu memilih pemimpin negeri ini adalah orang yang memiliki religiusitas tinggi dan memahami potensi agraris yang dimiliki oleh bangsa pada hirarki manapun, baik dari presiden sampai dengan bupati.
Banyak sekali putra bangsa ini sekolah ke Amerika, Jepang dan Eropa, untuk memajukan perguruan tinggi yang diharapkan menelorkan hasil riset yang diharapkan oleh masyarakat. Hanya satu tolok ukur keberhasilan mereka yang dilihat oleh anak bangsa ini yaitu peningkatan pendapatan dan industri pertanian yang berkelanjutan tanpa merusak ekologi. Mohon maaf , sampai hari ini harapan masyarakat pada lembaga ini belum membuahkan hasil, bahkan malah mengubah pola hidup, budaya, dan ideologi masyarakat kita.
***
Sebelum hadir revolusi hijau (green revolution), kehidupan masyarakat petani di negeri ini sangat syarat dengan budaya gotong royong. Mereka bergotong-royong saat menanam, memanen , mengolah tanah dan bahkan dalam bersikap untuk mengantisipasi musim paceklik yakni mereka membangun lumbung-lumbung padi. Petani waktu itu telah mampu mengukur berapa hasil panen untuk mencukupi stok pangan rumah tangga hingga musim berikutnya dan mereka telah mampu menentukan berapa padi-padi yang di setor ke lumbung bersama untuk cadangan rawan pangan. Kemudian secara alami pemilihan bibit unggul dilakukan dengan memilih buah-buah yang bernas, dipetik disisihkan dan digunakan untuk pembibitan. Selain itu mereka memelihara ternak kerbau atau sapi. Sering terlihat tumpukan jerami yang meninggi di tengah sawah di samping kandang ternaknya. Selanjutnya sawah itu dipupuk dengan menggunakan kotoran ternak tersebut ditambah dengan sampah tumbunan-tumbuhan (kompos). Demikianlah budaya petani dahulu dan ini merupakan warisan yang telah diikuti selama ribuan tahun. Kehidupan yang indah yang seharusnya kita pelihara karena Tuhan sangat mencintai keindahan.
إنَّ الله جَمِيْلٌ يُحْبُّ الجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah itu indah lagi menyukai keindahan. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad)
Semangat gotong royong, pola pemupukan dan pola seleksi bibit yang di nugerahkan Tuhan kepada mereka seharusnya dilestarikan dan dicatat sebagai aset bangsa atau kalau kita analogan dengan tanaman adalah kekayaan hayati yang harus kita lestarikan. Inilah potensi hayati yang sangat berharga yang kita miliki dan tidak dimiliki oleh bangsa lain. Merubah satu pola saja dari sifat agraris tersebut berarti akan beresiko terhadap perubahan yang lain. Mari kita buktikan :
Dalam dunia pertanian kita kenal dengan ilmu pemuliaan tanaman yang pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari aspek pewarisan keturunan /sifat bawaan/ kebakaan (genetic). Penampilan (performance) tanaman sangat ditentukan oleh susunan genetic ( sifat bawaan ) dan lingkungan. Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mendapatkan performance yang diinginkan. Praktek mendapatkan performan itu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan melakukan seleksi masa (mass selection) dan perkawinan silang (cross breeding), kemajuan teknolgi telah menemukan performance tanaman melalui teknik kultur jaringan dan rekayasa genetik (transgenik) yang pada dasarnya mengacu pada dua system tersebut.
Bila kita perhatikan pola pemilihan bibit unggul yang diwariskan oleh nenek moyang kita adalah melalui mass selection. Cara ini memiliki kelebihan bahwa petani lama kelamaan akan mendapatkan bibit yang memiliki daya penurunan sifat yang tinggi (heritabilitas) atau nila h2 yang sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan yang ada secara alami. Cara demikian lebih bersifat natural.
Petani waktu itu tidak mengetahui system kawin silang (cross breeding), pengetahuan ini hanya diketahui oleh para ilmuwan yang notabene adalah perguruan tinggi. Pada prinsipnya perkawinan silang ini dilakukan dengan mengawinkan jenis tanaman satu dan jenis tanaman lainnya semisal padi A dan padi B dari perkawinan ini dihasilkan keturunan hybred , yakni padi yang memiliki produksi di atas (melebihi) kedua induknya. Padi dan jagung yang ditanam petani sekarang ini adalah hasil dari seleksi kawin silang tersebut. Tetapi hasil panen jagung atau padi yang didapat itu jika ditanam kembali tidak mengahasilkan panen yang lebih baik dibandingkan bibit hasil hibrid tadi, Inilah bedanya dua perlakuan system pemuliaan yang kita jelaskan tadi, selain itu system kawin silang sering tidak memenuhi/memperhatikan kebutuhan dari aspek lain, misalnya ketahanan terhadap hama tertentu atau kepekaan terhadap hara tanah, sehingga untuk mendapatkan efek hybred diperlukan tambahan pemupukan kimia maupun obat-obatan yang lebih banyak yang tentu memakan biaya lebih banyak pula. Tanpa perlakuan itu hasil produk persilangan itu tidak akan memberikan hasil yang maksimal.
***
Perombakan besar-besaran terjadi di bidang pertanian setelah negara maju menemukan padi atau jagung hybrid, seakan memang benar penemuan ini sesuai dengan tuntutan akan pemenuhan kebutuhan pangan dengan semakin bertambahnya penduduk. Revolusi hijau (green revolution) demikianlah eufora dunia saat itu.
Negara-negara berkembang terkena iming iming penggunaan hasil teknik ini, tanpa berpikir panjang dirombaklah pola bertani anak bangsa ini. Rezim orde baru dan perguruan tinggi waktu itu memperkenalkan system panca usaha di bidang pertanian salah satu elemen panca usaha adalah memilih bibit unggul. Petani didorong oleh ahli-ahli pertanian untuk menerapkan metode ini salah satunya adalah memakai bibit hybred tadi. Karena tanaman itu adalah hasil research dari tempat lain, maka petani terpaksa direpotkan harus menggunakan banyak pupuk kimia, selain itu mereka banyak menggunakan obat-obatan dan bahkan bibit pun harus beli. Kreditpun dikucurkan untuk permodalan. Karena penerapan bibit unggul itu tidak berwawasan lingkungan (ekologi ), petani sering gagal panen karena hama tertentu densitasnya meningkat sehingga daya rusaknya semakin kuat menyerang, akibatnya produksi rendah sampai dengan gagal panen. Lama kelamaan secara ekonomis hasil penen mengecil, hingga terciptalah citra bahwa sekarang nasib petani sangat mengenaskan. Sekarang orang menyebut petani identik dengan kemiskinan. Bahkan menjadi masyarakat miskin permanen, karena harga panen tinggipun dia tetap terpukul sebab pendapatan dari panen itu tidak cukup untuk makan, bayangkan sekarang penghasilan petani hanya 5000 rupiah per hari.
Dari revolusi ini siapa yang beruntung atau siapa yang diuntungkan ? yang beruntung adalah mereka yang membuat bibit, kemudian obat-obatan pertanian, kemudian pemilik modal. Akhirnya petani sangat tergantung pada pemilik modal. Tidak terasa bahwa ideologi yang tumbuh berubah menjadi system kapitilsme. Keadaan ini dapat anda rasakan pada tanaman jagung misal, petani sangat tergantung pada bibit jagung tetapi antara harga hasil panen jagung dan bibit bedanya seperti langit dan bumi. Bayangkan panen jagung petani dihargai berkisar Rp. 2000,-/kg sedang bibit Rp 50 000,-/kg. Irama harga itu akan terus berubah dengan tidak adil, bila harga jagung penen petani musim ini naik maka pada musim tanam berikutnya harga bibit juga naik. Tetapi ketika harga hasil panen menurun harga bibit tidak mau/enggan turun. Seperti halnya dalam bidang peternakan bila pendapatan peternak naik maka harga pakan dan doc juga naik. Bila demikian pertanyaannya kapan petani akan memperoleh kelebihan , kalau kelebihan panen yang lalu selalu dipungut kembali oleh mereka pemilik bibit atau pemodal dengan cara menaikan harga-harga sarana produksi ? Demikian juga dengan nasib petani singkong. Itulah yang dirasakan oleh petani di negeri kita selama ini.
***
Rendahnya penghasilan petani mengakibatkan anak keturunan mereka enggan bertani, mereka lebih memilih hijrah ke kota untuk menjadi buruh atau mengadu nasib di bidang lain. Kemiskinan di kalangan mereka mengakibatkan mereka memilih bekerja ke luar negeri. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh. Anehnya mereka malah dipuji sebagai pahlawan devisa. Padahal tidak jarang anak negeri ini mendapat siksaan di negeri orang.
Demikian juga sarjana-sarjana pertanian tidak mau terjun ke ladang, mereka lebih banyak menjalani profesi lain, menjadi pegawai bank, wartawan, atau penyiar TV dlsb.. Petani yang umumnya pemilikan tanahnya kurang dari 0.5 ha, beralih profesi menjadi tukang ojek tanah mereka dijual sebagian , dan mereka yang memiliki tanah lebih kecil dari itu mereka jual semuanya dan lebih memilih menjadi buruh tani bayaran, mereka menjual tanah miliknya karena kebutuhan lain yang mendesak.
Lama kelamaan siapakah di negeri ini yang menguasai pertanian tentu mereka yang memiliki modal. Padahal pangan itu merupakan masalah nasional. Apakah akan kita biarkan pangan negeri ini hanya dikuasai oleh beberapa glintir orang ? Bila terjadi demikian. bisa jadi negeri ini akan berobah ideologi menjadi negeri kapitalisme yang syarat dengan leberalisme dan bernarlah pendapat yang mengatakan bahwa green revolution sebenarnya adalah senjata perusak melalui pengetahuan ( knowledge) dari negara maju untuk menguasai negara-negara dunia ke tiga.
Inilah pemilihan bibit unggul yang tidak berwawasan ekologi, sehingga berikibat fatal terhadap moral bangsa. Penyesalan selalu timbul di belakang. Seandainya kita sadar bahwa pembuatan bibit unggul melalui penerapan ilmu pemuliaan yang selalu berorientasi pada penjagaan hayati, budaya dan ekologi., mungkin tidak berakibat pada perubahan moral bangsa ini.
***
Para pemimpin dan lembaga-lembaga riset pada umumnya dan khususnya bidang pertanian seharusnya malu kepada Bapak pendiri bangsa yang dimotori oleh Dr Moh Hatta 65 tahun yang lalu. Mereka telah mampu membaca karakteristik budaya bangsa ini, kemudian mereka mencanangkan perekonomian koperasi, dan seharusnya generasi penerus bangsa ini tidak terlena dengan nikmatnya kemerdekaan, tugas panjang selanjutnya adalah mempertahankan warisan budaya nenek moyang.
Kita harus sadar bahwa senjata pengetahuan melalui discoursus pertanian benar-benar lebih bahaya dari senjata apapun , mereka yang terkena senjata tersebut langsung berubah menjadi alien-alien Liberalisme, mereka telah berhasil merusak budaya bangsa ini. Oleh karena itu dihimbau kepada penentu kebijakan politik khususnya bidang pertanian (agropolitic) bahwa pengambilan kebijakan harus mengacu pada pelestarian budaya bangsa dan menjaga kekayaan hayati jangan sampai punah.
Penutup
Tidak terlalu berlebihan bila kawanku mengatakan bahwa “Kita (Generasi Sekarang) Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno dan Hatta” (Tono, 2008)
Nasi telah menjadi bubur,
masih ada sisa padi di lumbung, mari kita tanam bersama
agar kita dapat memetik buah-buah yang bernas, untuk hari esuk.
Kita cuci kembali titipan manik manikam yang suram,
agar sang pemiliki merasa puas akan tanggung jawab kita,
tentu perhiasan itu kita letakkan kembali pada tempat semula.
وصلّ الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم
Wallahu a’lamu bishawab
Bandar Lampung, 12 Februari 2011
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an Karim
Azman, Nur. dkk. 2001. Kamus standar Bahasa Indonesia. Penerbit Ilmu.
Bandung
El-Muhtaj, Madja. 2004. Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum: Perspektif
Teoritis Mengenai Huklum Islam di Indonesia. In Syariat Islam di Indonesia
Aktualisasi Ajaran dalam Dimensi Ekonomi, Politik, dan Hukum
Editor: Iqbal, M. CV Misaka Galiza. Jakarta. Hal. 338
Imam Suyuti. _______. Al Jaamingush Shogir. Juz II. Maktab Dar Ihya Alkitab
Arabiyah. Indonesia. Hal. 8,13,95
Kopmpas. 2006. Memukau Tetapi Tidak Perlu Ditakuti. In Cermin dari China Geliat
Sang Raksasa di Era Globalisasi. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Hal x
Lasley, John F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd Edition. Printece
Hall of India Private Limited. New Delhi-110001
Mawardi. 1992. Adabud Dunya wad Diin. Darul Fikri. Hal. 23.
Nawawi bin Umar, Muhammad.______. Nashaihul ’Ibad. Maktab Dar Ihya
Arabiyah. Indonesia. Hal. 47.
Pagar. 2004. Islam dan Negara di Indonesia (Kajian Historis atas Munculnya In-
telektualisme dan Aktivisme Muslim Indonesia). In Syariat Islam di Indone-
sia. Aktualisasi Ajaran dalam Dimensi Ekonomi, Politik, dan Hukum .
Editor: Iqbal, M. CV Misaka Galiza. Jakarta. Hal 225.
Santosa, F, H. .2006. Tidak ada Ampun Buat koruptor. In Cermin dari China Geliat
Sang Raksasa di Era Globalisasi. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Hal 18.
Sanusi, Anwar. 2006. Jalan Kebahagiaan. Gema Insani. Jakarta. Hal.225
Tono, Swidi. 2008. Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta. Vision03.
PT Perspektif Media Komunika. Jakarta. Hal. sampul
Voa News, 2010. Petani Tetap Miskin Walaupun Produksi Pangan Naik.
Http://www.voanews.com/indonesia/news/Petani -Tetap-Miskin-walaupun
-Produksi-Pangan-Naik-92354979.html
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar