Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Sabtu, 23 Januari 2010

Islam dan Pluralisme

Oleh Budi Wibowo
                                                                                                                                          
Wahai manusia sesungguhnya kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.“ (Al Hujurat[49]:13)


Pengertian Pluralisme

Konsep pluralisme mengemuka menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme. Pluralisme terbentuk dari kata plural (bhs Inggris : banyak) dan isme (bhs Belanda :aliran / paham; gerakan), dari kata tersebut maka pluralisme dapat kita artikan sebagai aliran atau paham atau gerakan yang menerima/menolerir paham beberbagai golongan. (penulis).
Ada yang mengartikan pluralisma adalah paham yang mentolerir kemajemukan.



Ketika hendak menentukan dasar negara Republik Indonesia, para pendiri Republik ini dihadapkan berbagai macam alternatip untuk menentukan dasar negara RI. Mereka dihadapkan pada dua golongan yaitu mereka yang memiliki paham kebangsaan dan golongan Islam. Akhirnya pada tgl 22 Juni 1945 terbentuklah konsesus antara dua golongan tersebut dengan melahirkan „Piagam Jakarta“ yang kemudian menjadi dasar negara kita yang disebut Panca Sila.

Sebelum disahkan sebagai dasar negara RI, sila pertama dari Pancasila dalam Piagam Jakarta itu berbunyi sbb:
„Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.“
Drs Moh Hatta, mengadakan pertemuan dengan empat anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yakni KH Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadi Kusumo, Mr.Kasman Singodimejo, dan MR M Hasan, semuanya adalah tokoh-tokoh yang beragama Islam. Kemudian dirubahlah kalimat tersebut menjadi, „Ketuhanan Yang Maha Esa“


Pluralisme yang Dikembangkan di Indonesia

Dalam kenyataan sosial , karakter manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kerjasama antara satu dengan lainnya dan hidup berkelompok. Setiap kelompok dapat dibedakan dari segi keyakinan dan agama yang mereka anut, dari segi etnis dan geografis mereka, dari segi prinsip politik mereka dari segi kepentingan ekonomi mereka, dari segi berpikir dan pandangan hidup (ideologi) mereka, adat istidat mereka dan sebagainya.
Keadaan demikian tidak dapat dipungkiri karena memang sudah menjadi ketetapan Allah (sunnatullah). Sebagaimana firman Allah sbb:

ۚ يَآٰيُّهَا ألنَّاسُ إنَّا خَلَقْنَٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُۆاْ

Wahai manusia sesungguhnya kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.“ (Al Hujurat[49]:13)

Kata lita’aarafuu, yang berarti supaya saling mengenal mengandung makna kontekstual bahwa manusia dianjurkan untuk memahami bahwa mereka secara sosiologis (secara berkelompok) memilliki perbedaan , namun dalam keberbedaan itu manusia adalah satu dalam artian antar golongan itu diikat oleh suatu ikatan sosial yang membuat mereka bersatu, sehingga fungsi manusia sebagai kolifah di muka bumi ini dapat terlaksanan, sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah [2]:213;

كَانَ ألنَّاسُ أُمَّةً وَٰ حِدَة ً
“Manusia itu adalah umat yang satu.”( Al Baqarah [2]:213 )

Oleh karena itu setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisnya, di situlah antar lintas agama bertemu (Hasyim Muzadi). Pertemuan itu untuk menghindarkan perselisihan antar kelompok. Allah berfirman dalam Surat Al Maidah [5] :2;

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى لألبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى ألإِثْمِ وَلْعُدْوَ ٰ نِ

”Dan tolong menolonglah kamu dalam(mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan, dan jangan saling menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan (Al Maidah [5]:2);


Sebab itu diperlukan perjanjian antar manusia, sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Imran [3] : 112;

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّ لّةُ أيْنَ مَا ثُقِفُوٓاْ إٍلاَّ بِحَبْلٍ مِّنَ أللهِ وَحَبْلٍ مِّنَ ألنَّاسِ
”Mereka itu diliputi kehinaan dimanapun mereka berada, kecuali mereka berpegang pada tali(agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.”( Al Imran [3] : 112

dan sebab itu juga diperlukan jalinan silaturahmi, sebagaimana Allah berfirman dalam surat An Nisa’ [4] :1
وَلأَرْحَامَۚ إِنَّ أللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

dan (peliharalah) hubungan silaturahmi,sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (An Nisa’ [4] :1 )

Berdasarkan alasan inilah maka pluralisme yang dikembangkan di negeri ini adalah pluralisme sosiologis sebagaimana yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia, bukan plurarisme teologis (NU on line).

Para tokoh pendiri Republik ini tentu telah mempertimbangkan masak-masak, bagaimana meracik bahan yang penuh kemajemukan (pluralitas), atau bagaimana meracik kondisi yang beragam dalam kebersamaan semacam ini, sehingga bayi yang akan lahir dengan nama Republik Indonesia memiliki Ideologi yang dapat mengayomi semua penghuninya, mengingat mereka semua dalam keberagamannya telah berjuang dengan penuh pengorbanan yang berupa harta benda , jiwa dan raga yang tidak ternilai harganya.

Kondisi demikian ini juga telah dialami di masa-masa awal perkembangan Islam, yakni tatkala Rasulullah SAW dan para sahabat serta pengikutnya (kaum Muhajirin) hijrah ke Madinah. Pra kondisi sebelum terbentuk negara Madinah yang berdaulat waktu itu, masyarakatnya terdiri dari berbagai macam golongan, pendek kata seperti halnya yang dihadapi bangsa kita waktu itu, bahkan kehidupan penduduknya lebih keras dan sering terjadi peperangan antar kabilah (suku) di antara mereka,. Setelah ditetapkan Piagam Madinah oleh Rasul SAW, mereka hidup berdampingan bersatu dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Sebagaimana tersebut dalam pasal 1 (satu) dalam Piagam Madinah sbb:

اِنَّهُم اُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُوْنِ النّاسِ
Sesungguhnya mereka termasuk umat yang satu tidak termasuk golongan lain

Selanjutnya dalam Pasal 25, disebutkan :

Dan bahwasannya Yahudi Bani Auf satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang Muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau khianat, karena orang yang demikian hanya mecelakakan diri dan keluarganya.

Kata umat pada pasal-pasal tsb. mengandung 2 (dua) pengertian, menurut versi pertama bahwa kaum Yahudi dan orang-orang mukmin adalah umat yang satu sekalipun mereka berbeda agama, sedangkan versi ke dua mengandung maksud bahwa masing-masing adalah satu umat walaupun berbeda akidah. Tapi keduanya mempunyai kedudukan yang paralel dalam kehidupan sosial dengan memperoleh hak dan kewjiban yang sama dalam berbagai aspek kehidupan seperti hak kebebasan beragama, hak keamanan jiwa, bekerja sama dalam kebaikan dan memelihara keamanan kota Madinah.

Ketetapan pasal 25 dalam Piagam Madina ini juga berlaku untuk golongan yang lain yang disebutkan dalam pasal-pasal berikutnya.. Demikian prinsip-prinsip dasar yang disebutkan dalam Negara Madinah dengan ideologi Piagam Madinahnya.

Merlihat kondisi yang di contohkan oleh Nabi ternyata, eksistensi hak-hak sosial penduduk Madinah dijamin termasuk di dalamnya melaksanakan perintah agama. Maka tidaklah keliru bila para tokoh pendiri Republik ini mencanangkan semboyan : ”Bhineka Tunggal Ika, “, serta “peri kemanusiaan” dalam sila ke dua Panca Sila, dengan kata lain bahwa toleransi sosial adalah pemahaman yang sesuai dikembangkan di negeri ini, yakni dijaminnya hak-hak mereka sebagai makhluk sosial, seperti yang dicontohkan oleh Rasul SAW.

Sehubungan dengan paparan ini maka istilah pluralisme yang sekarang sedang menggejolak mengandung dua pengertian yakni pluralisme sosiologis dan pluralime teologis. Pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan "umat" beragama dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika ( unity and diversity) , selanjutnya dikatakan bahwa ;
“Keimanan 'tahu campur' pasti ditolak semua agama karena hal tersebut bagian dari sekularisasi dan liberalisasi agama”. (Hasyim Muzadi), Inilah yang dimaksud dengan pluralisme teologis, yang menganggap bahwa semua agama itu baik dan benar sehingga konsekwensinya orang boleh memilih dan mengamalkan agama apa saja.

Menurut Hasyim, masalah teologi dan ritual (transenden) adalah hak original agama masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar, sehingga doa bersama lintas agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan waktu yang bersamaan.

Demikian paparan ini saya sampaikan mengingat sekarang banyak beredar selebaran yang menyatakan seakan-akan pluralisme yang dinisbatkan pada seorang putra terbaik bangsa ini (Alm. KH Abdurrahman Wahid) menyimpang dari kaidah agama Islam. Selebaran-selebaran semacam itu sangat membahyakan persatuan dan kesatuan bangsa, bila diterima oleh mereka yang masih kurang pemahaman agamanya khususnya para generasi muda.

Semoga uraian ini bermanfaat pada diri saya dan jamaah sekalian. Amiin.
وصلّ الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم

Bdl, 22 Jan 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar