Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Minggu, 06 April 2014

Empat Tanda Orang yang Celaka

by
Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّحيم

Dimanakah bahagia?  Bila  aib diri selalu menghantu,  bila bunga malu selalu merekah di taman hati,  bila dunia  tampak di bawah dan kekasih-Nya selalu dirindu, di situlah bahagia  bersemayam.
***
Orang acap kali  mengukur kesuksesan seseorang berdasar pada kekayaan  atau kedudukan yang telah mereka peroleh, pada hal di hadapan Allah SWT belum tentu hal
demikian   benar adanya.  Tidak ada jaminan pemilik kekayaan dan kedudukan  itu bahagia adanya,  mungkin kebahagiaan mereka hanya sebatas selubung  atau sebatas gincau belaka, karena ukuran kebahagian itu bukan berdasar pada kepemilikan, tetapi ukuran kebahagian itu berdasar pada sikap mental yang mereka miliki  kesehariannya.  Menurut  Rasul Saw .   ada 4 (empat) tanda orang yang celaka 1;

1.         Sabda Beliau:

نِسْيَانُ الذُنُوْبِ المَاضِيَةِ وَهِيَ عِنْدَ اللهِ مَحْفُوظَةٌ

Suka melupakan dosa-dosa yang telah lalu, padahal dosa-dosa itu tersimpan di sisi Allah”

Allah SWT menempelkan pada diri manusia  sifat lupa, selain itu Ia juga melekatkan sifat ingat.   Banyak sekali manfaat dua sifat tersebut sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk yang sangat istimewa di muka bumi ini.  Kalau boleh  saya katakan;

-          Seandainya aku tidak dilupakan maka aku tidak akan ingat selamanya

Allah SWT menciptakan sifat lupa karena Ia hendak  membimbing hamba-Nya, di antaranya  agar manusia tidak melakukan kesalahan  pada kesempatan berikutnya.  Lupa bukan kehendak pemilik lupa, para filsuf  ketika tidak ingat terhadap sesuatu yang telah  dipahami atau dihafal  mengatakan “kami dilupakan atau saya dilupakan”.   Mengapa,  karena sifat lupa merupakan kejadian di luar kemampuan manusia alias ada kekuatan lain yang membuat mereka lupa.    

Karena lupa itu bukan kehendak pemilik lupa maka menjadi keniscayaan jika ada sesuatu yang tidak dapat dilupakan.  Artinya ada sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh pemilik lupa, sehingga wajar jika pemilik lupa  dituntut  mengelola secara baik masalah lupa.   Kalimat “melupakan”  menujukkan adanya kesengajaan dari pemilik lupa untuk menghindar dari sesuatu yang tidak  dapat ia hindari.     Dalam suatu hadist disebutkan bahwa bila Allah SWT menghendaki kebaikan pada hambaNya maka Ia  selalu mengingatkan tentang aib (cacat) hamba tersebut dalam hidupnya;

اِذَا أَرَدَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْراً فَقَّهَهُ فىِ الدِّيْنِ وَ زَهَّدَهُ فِى الدُّنْيَا وَ بَصَّرَهُ بِعُيُوبِ

Jika Allah SWT menghendaki kebaikan bagi seorang hamba-Nya, maka Dia akan memberi kepandaian dalam agama, menjandikan zuhud di dunia dan memperlihatkan aib-aib (cacat) dirinya. (HR.Abu Na’im ) 2

Hadist tersebut menggambarkan bahwa tidak mungkin Allah menghendaki hamba melupakan aib atau cacatnya karena hal tersebut bertentangan dengan misi-Nya, tetapi hambalah yang sengaja melupakannya.  Tidak adanya penyesalan dalam berbuat maksiat merupakan salah satu bentuk kesengajaan melupakan dosa-dosa yang telah dilakukan.  Orang yang sengaja melupakan cacat atau aib yang lalu padahal aib tersebut tidak akan pernah dapat ia lupakan dapat dipastikan akan mengalami kecelakaan dalam hidupnya.  Maka Allah SWT berfirman;

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS An Nisa [4]:79)

2.         Sabda Beliau:

وَذِكْرُالحَسَنَاتِ المَاضِيَةِ وَلاَ يَدْرِئ اَقُبِلَتْ اَمْ رُدَّتْ

“Suka membangga-banggakan kebaikan yang telah lalu, padahal ia tidak tahu apakah kebaikannya itu diterima atau tidak”.

Kita mengenal istilah bangga diri (ujub) dan syukur.  Ada kesamaan pada keduannya dalam diri pemiliknya, yaitu  rasa gembira atau rasa puas yang mengiringi pemiliknya, namun ada perbedaan antara keduanya, yakni penempatan “kesuperioritasan” dalam diri pemiliknya.  Orang yang membanggakan diri merasa bahwa prestasi yang ia capai adalah sebagai kemampuan diri, seolah tidak ada dzat lain yang menjadi sebab keberhasilannya.   Lain halnya dengan orang yang pandai bersyukur, ia tidak pernah merasa bahwa prestasi yang ia capai adalah mutlak kemampuan diri, ia tidak lupa bahwa sebenarnya ada dzat yang lain yang ikut berperan menentukan keberhasilannya.    Maka dari itu syukur juga dapat kita artikan sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah SWT baik  dalam bentuk ucapan maupun  tindakan.

Orang yang suka membanggakan diri merasa bahwa prestasi yang ia capai adalah sebagai kemampuan diri, ia mengabaikan adanya dzat lain yang menjadi sebab keberhasilnya.  Pertanyaannya, di manakah ia meletakkan posisi Tuhannya?  Inilahi yang menjadi persoalan bahwa orang yang suka membanggakan diri sebenarnya  suka menginjak-injak  hak Tuhannya, oleh karena itu celakalah orang yang memiliki sikap demikian.

3.         Sabda Beliau:

  وَنَظَرُهُ اِلَى مَنْ فوْقَهُ فِى الدُّنْيَا

“Dalam urusan dunia ia suka melihat kepada orang yang lebih tinggi.”

Ini adalah sebuah ciri sebagai orang ingkar atau orang yang akan mendapat murka dari Allah sebab mereka suka menafikan syukur kepada Allah SWT.   Mari kita layangkan angan kita pada seekor kucing yang berada di hadapan kita kemudian sengaja kita  gantungkan ikan asin di hadapannya, selanjutnya tali yang digantungi ikan asin tersebut kita mainkan maka mata dan kepala kucing tersebut akan bergerak-gerak mengikuti  gerakan ikan asin yang kita gerakkan, bahkan ketika tali tersebut kita geser ke tempat lain spontan kucing ikut bergerak mengikuti kemana gantungan ikan tersebut berpindah.  Itulah seekor kucing, bukan pemilik akal,  ia pengikut hawa nafsu.

Dewasa ini  banyak  orang mengiming-iming kehidupan mewah/glamor, seakan dengan sebab jalan yang mereka tawarkan,  diperoleh penghasilan ratusan juta perbulan, ditawarkan dengan berbagai argumen.   Kalau boleh saya katakan inilah “pengucingan”.   Orang selalu dihembus dengan impian-impian muluk agar selalu melihat ke atas padahal hembusan tesebut hanyalah pepesan kosong belaka.

Orang yang menyukai kehidupan dunia akan mudah terjebak ke dalam kondisi demikian, maka kecelakaanlah yang  akan mereka peroleh, sebagaimana Allah bersabda:

وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ (2) الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ

“Dan kecelakaanlah bagi orang kafir, (Yaitu) orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari kehidupan akhirat” (Ibrahim,14:2-3)

Dalam surat Yasin ayat 8 Allah SWT berfirman;

 اِنَا جَعَلْنَا فىِ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلَلاً فَهِىَ اِلَى اَلآذْقَا نِ فَهُمْ مُقْمَحُوْنَ

“Sesungguhnya Kami memasang belenggu pada leher mereka sampai ke dagu, maka merekapun tertengadah.”
     
Ayat tersebut menggambarkan  keambisiusan seseorang pada kehidupan dunia.   Bila seseorang berjalan  tertengadah niscaya ia tidak   akan dapat  melihat batas-batas jalan yang ada di hadapannya.   Itulah isyarat bagi hamba dunia mereka golongan orang yang tidak peduli batasan  mana  halal dan haram.   Oleh Rasul dikatakan mereka termasuk golongan orang-orang yang akan mengalami kecelakaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

4.         Rasul bersabda:

وَنَظَرُهُ اِلىَ مَن دُوْنَهُ فِى الدِّيْنِ

      “Dalam urusan agama ia suka melihat kepada orang yang lebih
       rendah.”

Berlomba-lombalah dalam kebaikan”.  “Dan barang siapa terjaga dari sifat kikir maka beruntunglah dia”   Demikian perintah Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 148 dan Al-Hasyr ayat 9. 

Sebagian tanda orang yang celaka akan tergambar dari dua hal tersebut, yakni tidak ada gairah melakukan kebaikan (amal sholih) keadaan ini nampak dari sifat kikir yang melekat pada mereka.   Dalam bersedekah  selalu  membandingkan dengan orang lain yang sebenarnya secara finansial berada di bawah mereka.  Mereka merasa bahwa dengan sedikit berinfak di atas pembandingnya itu sudah merasa berinfak besar. Allah SWT tidak akan menerima amal  demikian karena amal yang demikian  lebih banyak didasasri oleh rasa tidak iklas.  Na’uzubillahi min zalik.

Demikian tanda-tanda  golongan orang yang celaka, oleh karena itu mari kita jauhkan pandangan  demikian,  jadikanlah dosa-dosa  yang telah kita lakukan di masa lampau sebagai peringatan, mari kita lupakan  kebaikan-kebaikan yang telah kita perbuat dan seharusnya dalam urusan dunia  selalu melihat ke bawah bahwa masih banyak orang yang lebih berat ujiannya dibanding  kita  dan mari kita mencontoh   mereka yang lebih mulia dalam urusan agama.  Amiin.

***
Dimanakah bahagia?  Bila  aib diri selalu menghantu,  bila bunga malu selalu merekah di taman hati,  bila dunia  tampak di bawah dan kekasih-Nya selalu dirindu, di situlah bahagia  bersemayam.

وصلّ الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم

 Wallahu ‘alamu bishawab. 


PUSTAKA
Alaqur’an Karim.
1 Nawawi bin Umar, Muhammad.______. Nashaihul Ibad. Maktab Dar
            Ihya Arabiyah. Indonesia   Hal. 24.         
2 Imam Suyuti. _______. Al Jaami’ush Shogir. Juz I.    Maktab
              Dar  Ihya Alkitab  Arabiyah. Indonesia. Hal. 17.

8 komentar:

  1. Mohon ijin copy paste makalah di atas...semoga membawa berkah. matur suwun.

    BalasHapus
  2. Assalamu alaikum
    Ijin copy, ilmu yang disajikan. Kalo tdk salah ada 4 tanda orang yg beruntung mohon info-nya.

    BalasHapus
  3. Haditsnya riwayat siapa ya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Disadur dari kitab nashohul ibad yg di tulis Syeh Nawawi Al Bantani. Imam haramain. Perawi tdk disebutkan.
      Trims.

      Hapus
  4. Balasan
    1. Orang yg mengalami kesusahan atau merasa sempit hidup, sebab jauh dari rasa syukur.

      Hapus
  5. Tolong yg tahu perawi hadistnya dishare

    BalasHapus