by
Budi Wibowo
بسم الله الرّحمان الرّحيم
Dimanakah
bahagia? Bila aib diri selalu menghantu, bila bunga malu selalu merekah di taman hati, bila dunia tampak di bawah dan kekasih-Nya selalu
dirindu, di situlah bahagia bersemayam.
***
Orang
acap kali mengukur kesuksesan seseorang
berdasar pada kekayaan atau kedudukan
yang telah mereka peroleh, pada hal di hadapan Allah SWT belum tentu hal
demikian benar adanya.
Tidak ada jaminan pemilik kekayaan dan kedudukan itu bahagia adanya, mungkin kebahagiaan mereka hanya sebatas
selubung atau sebatas gincau belaka, karena
ukuran kebahagian itu bukan berdasar pada kepemilikan, tetapi ukuran kebahagian
itu berdasar pada sikap mental yang mereka miliki kesehariannya. Menurut
Rasul Saw . ada 4 (empat) tanda orang yang celaka 1;
1.
Sabda Beliau:
نِسْيَانُ
الذُنُوْبِ المَاضِيَةِ وَهِيَ عِنْدَ اللهِ مَحْفُوظَةٌ
“Suka
melupakan dosa-dosa yang telah lalu, padahal dosa-dosa itu tersimpan di sisi
Allah”
Allah
SWT menempelkan pada diri manusia sifat
lupa, selain itu Ia juga melekatkan sifat ingat. Banyak
sekali manfaat dua sifat tersebut sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk
yang sangat istimewa di muka bumi ini.
Kalau boleh saya katakan;
-
Seandainya aku tidak dilupakan maka aku tidak
akan ingat selamanya –
Allah
SWT menciptakan sifat lupa karena Ia hendak membimbing hamba-Nya, di antaranya agar manusia tidak melakukan kesalahan pada kesempatan berikutnya. Lupa bukan kehendak pemilik lupa, para filsuf
ketika tidak ingat terhadap sesuatu yang
telah dipahami atau dihafal mengatakan “kami dilupakan atau saya
dilupakan”. Mengapa, karena sifat lupa merupakan kejadian di luar
kemampuan manusia alias ada kekuatan lain yang membuat mereka lupa.
Karena
lupa itu bukan kehendak pemilik lupa maka menjadi keniscayaan jika ada sesuatu
yang tidak dapat dilupakan. Artinya ada
sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh pemilik lupa, sehingga wajar jika pemilik
lupa dituntut mengelola secara baik masalah lupa. Kalimat “melupakan” menujukkan adanya kesengajaan dari pemilik lupa
untuk menghindar dari sesuatu yang tidak dapat ia hindari. Dalam
suatu hadist disebutkan bahwa bila Allah SWT menghendaki kebaikan pada hambaNya
maka Ia selalu mengingatkan tentang aib
(cacat) hamba tersebut dalam hidupnya;
اِذَا أَرَدَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْراً فَقَّهَهُ فىِ الدِّيْنِ وَ
زَهَّدَهُ فِى الدُّنْيَا وَ بَصَّرَهُ بِعُيُوبِ
Jika Allah SWT menghendaki kebaikan bagi seorang hamba-Nya, maka
Dia akan memberi kepandaian dalam agama, menjandikan zuhud di dunia dan memperlihatkan
aib-aib (cacat) dirinya. (HR.Abu Na’im ) 2
Hadist
tersebut menggambarkan bahwa tidak mungkin Allah menghendaki hamba melupakan
aib atau cacatnya karena hal tersebut bertentangan dengan misi-Nya, tetapi
hambalah yang sengaja melupakannya. Tidak adanya penyesalan dalam berbuat maksiat
merupakan salah satu bentuk kesengajaan melupakan dosa-dosa yang telah
dilakukan. Orang yang sengaja melupakan
cacat atau aib yang lalu padahal aib tersebut tidak akan pernah dapat ia
lupakan dapat dipastikan akan mengalami kecelakaan dalam hidupnya. Maka Allah SWT berfirman;
مَا أَصَابَكَ
مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa
saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja bencana yang
menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS An Nisa [4]:79)
2.
Sabda Beliau:
وَذِكْرُالحَسَنَاتِ
المَاضِيَةِ وَلاَ يَدْرِئ اَقُبِلَتْ اَمْ رُدَّتْ
“Suka
membangga-banggakan kebaikan yang telah lalu, padahal ia tidak tahu apakah
kebaikannya itu diterima atau tidak”.
Kita
mengenal istilah bangga diri (ujub) dan syukur.
Ada kesamaan pada keduannya dalam diri pemiliknya, yaitu rasa gembira atau rasa puas yang mengiringi
pemiliknya, namun ada perbedaan antara keduanya, yakni penempatan “kesuperioritasan”
dalam diri pemiliknya. Orang yang
membanggakan diri merasa bahwa prestasi yang ia capai adalah sebagai kemampuan
diri, seolah tidak ada dzat lain yang menjadi sebab keberhasilannya. Lain
halnya dengan orang yang pandai bersyukur, ia tidak pernah merasa bahwa
prestasi yang ia capai adalah mutlak kemampuan diri, ia tidak lupa bahwa sebenarnya
ada dzat yang lain yang ikut berperan menentukan keberhasilannya. Maka
dari itu syukur juga dapat kita artikan sebagai ungkapan terima kasih kepada
Allah SWT baik dalam bentuk ucapan maupun
tindakan.
Orang
yang suka membanggakan diri merasa bahwa prestasi yang ia capai adalah sebagai
kemampuan diri, ia mengabaikan adanya dzat lain yang menjadi sebab
keberhasilnya. Pertanyaannya, di manakah
ia meletakkan posisi Tuhannya? Inilahi yang
menjadi persoalan bahwa orang yang suka membanggakan diri sebenarnya suka menginjak-injak hak Tuhannya, oleh karena itu celakalah orang
yang memiliki sikap demikian.
3.
Sabda Beliau:
وَنَظَرُهُ اِلَى مَنْ
فوْقَهُ فِى الدُّنْيَا
“Dalam
urusan dunia ia suka melihat kepada orang yang lebih tinggi.”
Ini
adalah sebuah ciri sebagai orang ingkar atau orang yang akan mendapat murka
dari Allah sebab mereka suka menafikan syukur kepada Allah SWT. Mari kita layangkan angan
kita pada seekor kucing yang berada di hadapan kita kemudian sengaja kita gantungkan ikan asin di hadapannya, selanjutnya
tali yang digantungi ikan asin tersebut kita mainkan maka mata dan kepala
kucing tersebut akan bergerak-gerak mengikuti gerakan ikan asin yang kita gerakkan, bahkan
ketika tali tersebut kita geser ke tempat lain spontan kucing ikut bergerak
mengikuti kemana gantungan ikan tersebut berpindah. Itulah seekor kucing, bukan pemilik akal, ia pengikut hawa nafsu.
Dewasa
ini banyak orang mengiming-iming kehidupan mewah/glamor, seakan
dengan sebab jalan yang mereka tawarkan, diperoleh penghasilan ratusan juta perbulan,
ditawarkan dengan berbagai argumen. Kalau boleh saya katakan inilah “pengucingan”.
Orang selalu dihembus dengan
impian-impian muluk agar selalu melihat ke atas padahal hembusan tesebut
hanyalah pepesan kosong belaka.
Orang
yang menyukai kehidupan dunia akan mudah terjebak ke dalam kondisi demikian, maka
kecelakaanlah yang akan mereka peroleh,
sebagaimana Allah bersabda:
وَوَيْلٌ
لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ (2) الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ
“Dan
kecelakaanlah bagi orang kafir, (Yaitu) orang yang lebih menyukai kehidupan
dunia dari kehidupan akhirat” (Ibrahim,14:2-3)
Dalam
surat Yasin ayat 8 Allah SWT berfirman;
اِنَا جَعَلْنَا
فىِ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلَلاً فَهِىَ اِلَى اَلآذْقَا نِ فَهُمْ مُقْمَحُوْنَ
“Sesungguhnya
Kami memasang belenggu pada leher mereka sampai ke dagu, maka merekapun
tertengadah.”
Ayat tersebut menggambarkan
keambisiusan seseorang pada kehidupan
dunia. Bila seseorang berjalan tertengadah niscaya ia tidak akan dapat melihat batas-batas jalan yang ada di
hadapannya. Itulah isyarat bagi hamba dunia mereka
golongan orang yang tidak peduli batasan
mana halal dan haram. Oleh
Rasul dikatakan mereka termasuk golongan orang-orang yang akan mengalami kecelakaan
baik di dunia maupun di akhirat kelak.
4.
Rasul bersabda:
وَنَظَرُهُ
اِلىَ مَن دُوْنَهُ فِى الدِّيْنِ
“Dalam urusan agama ia suka melihat
kepada orang yang lebih
rendah.”
“Berlomba-lombalah
dalam kebaikan”. “Dan barang
siapa terjaga dari sifat kikir maka beruntunglah dia” Demikian perintah Allah yang termaktub dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 148 dan Al-Hasyr ayat 9.
Sebagian
tanda orang yang celaka akan tergambar dari dua hal tersebut, yakni tidak ada
gairah melakukan kebaikan (amal sholih) keadaan ini nampak dari sifat kikir
yang melekat pada mereka. Dalam bersedekah selalu membandingkan dengan orang lain yang
sebenarnya secara finansial berada di bawah mereka. Mereka merasa bahwa dengan sedikit berinfak
di atas pembandingnya itu sudah merasa berinfak besar. Allah SWT tidak akan menerima
amal demikian karena amal yang demikian lebih banyak didasasri oleh rasa tidak
iklas. Na’uzubillahi min zalik.
Demikian
tanda-tanda golongan orang yang celaka,
oleh karena itu mari kita jauhkan pandangan demikian,
jadikanlah dosa-dosa yang telah
kita lakukan di masa lampau sebagai peringatan, mari kita lupakan kebaikan-kebaikan yang telah kita perbuat dan
seharusnya dalam urusan dunia selalu melihat
ke bawah bahwa masih banyak orang yang lebih berat ujiannya dibanding kita dan
mari kita mencontoh mereka yang lebih mulia dalam urusan agama. Amiin.
***
Dimanakah
bahagia? Bila aib diri selalu menghantu, bila bunga malu selalu merekah di taman hati, bila dunia tampak di bawah dan kekasih-Nya selalu
dirindu, di situlah bahagia bersemayam.
وصلّ
الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم
Wallahu ‘alamu bishawab.
PUSTAKA
Alaqur’an
Karim.
1 Nawawi bin Umar, Muhammad.______. Nashaihul Ibad. Maktab Dar
Ihya Arabiyah. Indonesia Hal. 24.
2 Imam Suyuti. _______. Al Jaami’ush Shogir. Juz
I. Maktab
Dar Ihya Alkitab Arabiyah. Indonesia. Hal. 17.
Mohon ijin copy paste makalah di atas...semoga membawa berkah. matur suwun.
BalasHapusMonggo
BalasHapusAssalamu alaikum
BalasHapusIjin copy, ilmu yang disajikan. Kalo tdk salah ada 4 tanda orang yg beruntung mohon info-nya.
Haditsnya riwayat siapa ya ?
BalasHapusDisadur dari kitab nashohul ibad yg di tulis Syeh Nawawi Al Bantani. Imam haramain. Perawi tdk disebutkan.
HapusTrims.
apa makna celaka tersebut
BalasHapusOrang yg mengalami kesusahan atau merasa sempit hidup, sebab jauh dari rasa syukur.
HapusTolong yg tahu perawi hadistnya dishare
BalasHapus