by
Budi
Wibowo
بسم الله الرّحمان الرّحي
Hakekat kemiskinan atau kekayaan itu sebenarnya
kadar spiritualitas yang melekat pada
seseorang. Maka akan kita dapati secara
spiritualitas orang kaya yang miskin dan orang miskin yang kaya.
**
Sikap dermawan sebenarnya bukan bagi orang yang
memiliki harta banyak saja tetapi sikap ini sebenarnya merupakan ciri bagi orang beriman, sebab Allah SWT
selalu melekatkan kata iman dengan amal sholeh, di dalam amal sholeh itulah terkandung sikap
dermawan. Oleh karena itu semakin
tinggi keimanan seseorang seharusnya semakin dermawan pula. Dalam kaidah ilmu statistik dikatakan sikap
dermawan itu linier dengan keimanan. Abu Bakar Ashiddiq ketika ditanya dalam hal
bersedekah menjawab bahwa semua hartanya
telah ia sedekahkan yang tertinggal hanya Allah SWT dan Rasulnya. Ungkapan sahabat Rasul tersebut menunjukkan betapa
tingginya keimanan yang ia miliki.
Meski nilai keikhlasan seseorang itu tidak dapat
diukur dengan besaran menurut ukuran
manusia, namun kedermawan dapat mengindikasi keiklasan seseorang. Bila seseorang memiliki penghasilan 10 juta dibanding dengan seseorang yang memiliki penghasilan 1
juta dengan tanggungan sama, sama-sama
menyumbang pembangunan masjid, yang
berpenghasilan 10 juta menyumbang 750 ribu, sedang yang berpenghasilan 1 juta menyumbang 150 ribu.
Secara nominal terjadi perbedaan
nilai sumbangan dari keduanya, tetapi seberapa besar nilai keikhlasan
masing-masing hanya Allahlah yang tahu, namun sebagai hamba yang dikaruniai
akal hendaknya kita berpikir.
Dari dua perbandingan tersebut mungkin kita
menduga bahwa tekanan pembebanan bagi orang yang berpenghasilan 1 juta lebih berat dibanding
dengan yang berpenghasilan 10 juta, ternyata yang berpenghasilan 10 juta hanya menyumbang
7.5 % dari pengasilannya sedang yang berpenghasilan 1 juta menyumbang 15
%. Kini terlihat bahwa meski Si Penghasilan 1
juta secara nominal menyumbang lebih
sedikit tetapi nilai bagian yang ia sumbangkan jauh lebih besar, ini menggambarkan bahwa yang
berpenghasilan 1 juta lebih lapang dalam menerima pembebanan. Inspirasi kejadian ini penulis temukan saat menjadi panitia pembangunan masjid
di tempat penulis berada. Hikmah apakah yang dapat kita petik di balik
fenomena ini ?
(Hikmah 1). Meski keduanya menyatakan iklas dalam
beramal, dari fenomena tersebut kita dapat melihat bahwa ternyata secara
psikologis nilai rasa tertekan Si
penghasilan besar lebih besar dibanding dengan
Si berpenghasilan kecil ketika
pembebanan itu datang, yang dalam hal ini membangun masjid. Rasul bersabda :
إنّ اللهَ تَعالَى لاَ ينْظُرُ
إليَ صَوارِكُمْ و أمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ إنَّما َيَنْظُرُ إلَي قُلُوْبِكُمْ وَ
أعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuhmu dan pula harta-hartamu, tetapi Allah melihat pada hatimu dan amal-amal perbuatanmu.” (HR. Muslim dan Ibn Majah).1
(Hikmah 2).
Fenomena di atas menggambarkan bahwa orang yang telah terbiasa mengalami
tekanan hidup lebih berat ternyata menghasilkan kekuatan yang lebih sempurna
dalam menerima pembebanan. Mereka lebih
ringan memikul pembebanan, terlihat nilai bagian penghasilan yang ia berikan
lebih besar. Dalam suatu hadist
disebutkan bahwa,
إ ذا قَالَ الفَقِيْرُ سُبْحَنَ اللهِ والحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَإلَهَ
اللهُ واللهُ أكْبَرُ مُحْلِصاً وَيَقولُ الغَنِيىُّ مِثْلَ ذَلِكَ
مُحْلِصاً لَمْ
يَلْحَقِ الغَنِىُّ مَعَهَا عَشْرَةَ اَلافِ دِرْهَمٍ وَكَذَلِكَ اَعْمَالُ
البِرِّ كُلِّهِ
”Jika orang miskin (yang
sabar) mengucapkan ‘subhanallah-wal hamdulillah wal laa ilaha ilallah wallahu
akbar dengan ikhlas, maka orang kaya tidak dapat mengejar orang miskin
meskipun beserta ucapan itu menafkahkan sepuluh ribu dirham.
Demikian juga untuk setiap amal-amal kebaikan (yang dilakukan orang
miskin).” (HR Abu Laits) 2
(Hikmah 3). Ujian berupa kenikmatan itu sebenarnya lebih berat dibanding dengan ujian
berupa keburukan. Yang dimaksud buruk disini adalah lepasnya sesuatu dari
tangan seorang hamba, yang menurut hamba hal tersebut baik. Padahal Allah SWT
meperingatkan.
وَعَسَى
أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ
شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal dia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah
[2]:216).
(Hikmah 4).
Hakekat kemiskinan atau kekayaan itu sebenarnya kadar spiritualitas yang melekat pada seseorang. Maka akan kita dapati secara spiritualitas orang
kaya yang miskin dan ada orang miskin yang kaya. Allah SWT berfirman;
لِكَيْ
لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا
يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ
“(Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Al Hadid
[57]: 23).
وصلّ الله على
سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم
Wallahu
‘alamu bishawab.
PUSTAKA
Al Qur’an Karim
1 Imam Suyuti. _______.
Al Jaamingush Shogir. Juz I.
Maktab Dar Ihya Alkitab Arabiyah. Indonesia. Hal. 74
2 Nashr Al Faqih. 1995. Tanbihul
Ghofilin. Diterjemah
oleh Achmad Sunarto. Balai Buku. Surabaya. Juz 1.
Hal. 415-417
Tidak ada komentar:
Posting Komentar