Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Selasa, 25 Februari 2014

Hikmah di Balik Tuhan Melipatgandakan Kebaikan

                                   b

Budi Wibowo 
بسم الله الرمن الرحيم

Manusia cerdas adalah mereka yang selalu berpikir dan berusaha menegakkan kalimat Allah dipermukaan bumi ini, mereka adalah pemberi bukan tukang minta-minta.

***
Ada sesuatu  tetapi kita tidak bisa menyatakan dalam bentuk ukuran, karena sesuatu tersebut  menempati dan sekaligus tidak menempati ruang.   Pernyataan  “satu kebaikan”  akan dibalas  dengan  “sepuluh kebaikan”.   Merupakan salah satu contoh yang sering kita dengar.    Bila kita telusuri  sebenarnya  ungkapan tersebut menggambarkan perasaan senang dari pencipta kebaikan itu kepada pelaku kebaikan.  Tentu yang bisa mengetahui atau mengukur adalah si pencipta kebaikan itu sendiri.  Kita tidak  dapat mengukur rasa baik atau rasa senang seseorang, karena rasa tersebut berada dalam jiwa.

Kita kadang sering terjebak ke dalam kubangan nafsu belaka,  meski Tuhan telah menjajikan akan membalas  dengan melipatgandakan kebaikan, tetapi kita tidak mampu menangkap yang asasi dari pernyataan tersebut.  Ketika kita membantu seseorang dengan sepuluh ribu kita mengharap dan menunggu balasan yang lebih besar  datang,  menjadi  seratus atau kelipatan yang lebih dari itu.  Sehingga kelipatan atau balasan itulah yang menjadi pengharapan dan sekaligus menjadi motivasi kita melakukan kebajikan.   Sikap demikian  justru menjadikan hamba terhijab dari Tuhannya.  Kita dapat membuat gambaran  seperti ketika datang seorang pengamen atau pengemis kepada kita, kemudian  kita segera memberi uang supaya mereka lekas menyingkir dari hadapan kita.   

اَ ناَ عٍندَ ظَنِّ عَبْدِى بىِ وَأنَا مَعَهُ حَيْنَ يَذْكُرُنِى

“Aku menurut prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama dengannya ketika ia ingat kepada-Ku (HR Syaikhani dan Turmudzi) 1 

Jadi sebenarnya kelipatan atau angka-angka itu hanyalah penggambaran rasa senang Allah SWT sebagai sebab rasa senang yang kita rasakan ketika melaksanakan suatu kebajikan, bahkan mungkin sama sekali tidak ada ekspresi rasa senang dari Allah SWT meski amal itu kita pandang baik.

Ekspresi rasa senang dari Allah SWT yang dinyatakan dalam bentuk kelipatan itu juga mengandung pesan  bahwa seharusnya seorang hamba meneladani apa yang telah dilakukan Allah SWT ketika seseorang berbuat baik kepada kita.   Pesan itu menyatakan bahwa bila ada seseorang berbuat kebajikan kepada kita seharusnya kita membalas dengan kebajikan lebih besar dari yang telah ia lakukan.  Pernahkah istri/suami Anda begitu sibuk mencari-cari apa yang pantas ia masukkan  pada baskom wadah makanan yang hendak kita kembalikan kepada tetangga yang tiba-tiba berbagi makanan kepada kita dengan  benda lain yang membuat tetangga itu menyambut gembira atas imbalan yang kita lakukan ?  Inilah sebuah sikap  mengambil teladan dari sikap Allah SWT pada hambanya.  Jadi seharusnya kita membalas dengan balasan imbalan yang lebih besar dari apa yang kita terima dari sesama hamba yang telah berbuat kebajikan kepada kita.

Yang harus selalu kita ingat adalah  Tuhan melarang mencari pamrih dari orang yang kita bagi itu meski kita telah berbagi padanya.  Sebagaimana Ia berfirman dalam QS Al Mudatsir [74]:6, sbb;
وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ

“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) mendapat balasan yang lebih banyak. (QS Al Mudatsir [74]:5-6).

Ekspresi rasa senang dari Allah SWT yang dinyatakan dalam bentuk kelipatan itu juga mengandung pesan  bahwa seharusnya seorang hamba meski dia faqir di hadapan-Nya harus  selalu berusaha mengambil posisi sebagai pemberi diantara sesama hamba.
Dalam sebuah hadist Rasul bersabda;

اَلْيَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِالسُّفلىَ , فَاليَدُ العُلْياَ هِىَ الْمُنْفِقَةُ وَاليَدُ السُّفْلَى هِىَ السَّائِلَةُ

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, tangan di atas adalah orang yang memberi, sedangkan tangan di bawah adalah orang yang meminta. (HR. Ibnu Umar ra).2

Begitulah hendaknya mengambil sikap dari  apa yang telah diperbuat  Tuhan kepada kita.  Meski kita faqir namun dibalik sikap Allah tersebut kita dituntut untuk selalu mengasah kecerdasan yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita sehingga kita menjadi orang yang cerdas di hadapan-Nya. Manusia cerdas adalah mereka yang selalu berpikir dan berusaha menegakkan kalimat Allah SWT di permukaan bumi ini, mereka adalah pemberi bukan tukang meminta-minta,  sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 273;

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ 

مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا

 (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang  kaya karena mereka memelihara diri dari meminta-minta.  Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada seseorang secara mendesak. (QS Al Baqarah [2]:273).
وصلّ الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم
 Wallahu ‘alamu bishawab. 

Pustaka

Al Qur’an Karim
1Usman, Ali,M.  Dahlan,H,A,A.  Dahlan,H,M,D.  2006.Hadiits Qudsi.
          CV Penerbit Diponegoro.  Bandung. Hal. 87.
2Hasyimi, Sayid Ahmad.  1995.   Mukhtarul Ahadist   An- Nabawiyah.      
          (Diterjemah: Mahmud  Zaini). Pustaka Amani.  Jakarta.  Hal.   517.        


  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar