by
Budi Wibowo
بسم الله الرمن الرحيم
Manusia cerdas adalah mereka yang selalu berpikir dan berusaha menegakkan kalimat Allah dipermukaan bumi ini, mereka adalah pemberi bukan tukang minta-minta.
***
Ada sesuatu tetapi kita tidak bisa menyatakan dalam bentuk
ukuran, karena sesuatu tersebut
menempati dan sekaligus tidak menempati ruang. Pernyataan
“satu kebaikan” akan dibalas dengan
“sepuluh kebaikan”. Merupakan
salah satu contoh yang sering kita dengar.
Bila kita telusuri sebenarnya ungkapan tersebut menggambarkan perasaan
senang dari pencipta kebaikan itu kepada pelaku kebaikan. Tentu yang bisa mengetahui atau mengukur
adalah si pencipta kebaikan itu sendiri. Kita tidak
dapat mengukur rasa baik atau rasa senang seseorang, karena rasa
tersebut berada dalam jiwa.
Kita kadang sering terjebak ke dalam kubangan
nafsu belaka, meski Tuhan telah
menjajikan akan membalas dengan melipatgandakan
kebaikan, tetapi kita tidak mampu menangkap yang asasi dari pernyataan
tersebut. Ketika kita membantu seseorang
dengan sepuluh ribu kita mengharap dan menunggu balasan yang lebih besar datang, menjadi seratus atau kelipatan yang lebih dari itu. Sehingga kelipatan atau balasan itulah yang
menjadi pengharapan dan sekaligus menjadi motivasi kita melakukan kebajikan. Sikap demikian justru menjadikan hamba terhijab dari
Tuhannya. Kita
dapat membuat gambaran seperti ketika datang
seorang pengamen atau pengemis kepada kita, kemudian kita segera memberi uang supaya mereka lekas menyingkir
dari hadapan kita.
اَ ناَ عٍندَ ظَنِّ عَبْدِى بىِ وَأنَا مَعَهُ حَيْنَ يَذْكُرُنِى
“Aku menurut prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama
dengannya ketika ia ingat kepada-Ku (HR Syaikhani dan Turmudzi) 1
Jadi sebenarnya kelipatan atau angka-angka itu
hanyalah penggambaran rasa senang Allah SWT sebagai sebab rasa senang yang kita rasakan
ketika melaksanakan suatu kebajikan, bahkan mungkin sama sekali tidak ada
ekspresi rasa senang dari Allah SWT meski amal itu kita pandang baik.
Ekspresi rasa senang dari Allah SWT yang
dinyatakan dalam bentuk kelipatan itu juga mengandung pesan bahwa seharusnya seorang hamba meneladani apa
yang telah dilakukan Allah SWT ketika seseorang berbuat baik kepada kita. Pesan
itu menyatakan bahwa bila ada seseorang berbuat kebajikan kepada kita
seharusnya kita membalas dengan kebajikan lebih besar dari yang telah ia
lakukan. Pernahkah istri/suami Anda
begitu sibuk mencari-cari apa yang pantas ia masukkan pada baskom wadah makanan yang hendak kita kembalikan
kepada tetangga yang tiba-tiba berbagi makanan kepada kita dengan benda lain yang membuat tetangga itu
menyambut gembira atas imbalan yang kita lakukan ? Inilah sebuah sikap mengambil teladan dari sikap Allah SWT pada
hambanya. Jadi seharusnya kita membalas dengan
balasan imbalan yang lebih besar dari apa yang kita terima dari sesama hamba
yang telah berbuat kebajikan kepada kita.
Yang harus selalu kita ingat adalah Tuhan melarang mencari pamrih dari orang yang
kita bagi itu meski kita telah berbagi padanya.
Sebagaimana Ia berfirman dalam QS Al Mudatsir [74]:6, sbb;
وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ
“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)
mendapat balasan yang lebih banyak. (QS Al Mudatsir [74]:5-6).
Ekspresi rasa senang dari Allah SWT yang
dinyatakan dalam bentuk kelipatan itu juga mengandung pesan bahwa seharusnya seorang hamba meski dia
faqir di hadapan-Nya harus selalu berusaha mengambil posisi sebagai
pemberi diantara sesama hamba.
Dalam sebuah hadist Rasul bersabda;
اَلْيَدُ
العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِالسُّفلىَ , فَاليَدُ العُلْياَ هِىَ الْمُنْفِقَةُ
وَاليَدُ السُّفْلَى هِىَ السَّائِلَةُ
“Tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah, tangan di atas adalah orang yang
memberi, sedangkan tangan di bawah adalah orang yang meminta. (HR. Ibnu Umar
ra).2
Begitulah hendaknya mengambil sikap
dari apa yang telah diperbuat Tuhan kepada kita. Meski kita faqir namun dibalik sikap Allah
tersebut kita dituntut untuk selalu mengasah kecerdasan yang telah
dianugerahkan-Nya kepada kita sehingga kita menjadi orang yang cerdas di
hadapan-Nya. Manusia cerdas adalah mereka yang selalu berpikir dan
berusaha menegakkan kalimat Allah SWT di permukaan bumi ini, mereka adalah
pemberi bukan tukang meminta-minta, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat
Al-Baqarah ayat 273;
لِلْفُقَرَاءِ
الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ
مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ
لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang
terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka
bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena mereka memelihara diri dari
meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan
melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada seseorang secara mendesak.
(QS Al Baqarah [2]:273).
وصلّ
الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم
Wallahu
‘alamu bishawab.
Pustaka
Al Qur’an Karim
1Usman, Ali,M.
Dahlan,H,A,A. Dahlan,H,M,D. 2006.Hadiits Qudsi.
CV Penerbit Diponegoro. Bandung. Hal. 87.
2Hasyimi, Sayid Ahmad. 1995. Mukhtarul Ahadist
An- Nabawiyah.
(Diterjemah: Mahmud Zaini). Pustaka Amani. Jakarta . Hal. 517.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar