Oleh Budi Wibowo
Wahai Pahlawan. Ibumu sedang menangis merindukan putra terbaiknya, yang telah pergi jauh untuk kembali. Soekarno kembalilah, suaramu lantang keras menggetarkan imperalis, menggoyahkan dunia, dipahami bangsamu hingga relung hati yang paling dalam. Telunjukmu bercahaya menghepnotis bangsamu serempak menuju satu tujuan. Penglihatanmu dan pendengaranmu tajam sangat peka terhadap penderitaan saudaramu ”Kapan kau kembali ?” ”Ibu sangat merindukanmu. !”
Ketika tahun 60-an, waktu itu usiaku masih belum genap 6 tahun. Saya telah paham bahwa presiden yang mengepalai Negara kita waktu itu bernama Soekarno. Ayahku seorang pegawai negeri rendahan, setiap hari pergi ke kantor menggunakan sepeda jantan yang terkenal dengan nama sepeda torpedo. Entah bagaimana dan mengapa orang waktu itu memberi nama sepeda angin tersebut dengan nama torpedo. Yang jelas sepeda tersebut menggunakan rem yang berbeda dengan sepeda yang lain. Sepeda ini menggunakan remnya cukup dengan mengayuh kearah berlawanan dengan kayuhan ke depan maka sepeda akan berkurang kecepatannya. Setiap berangkat kerja ayahku membencengkan aku di belakang yang waktu itu aku masih TK, karena tempat sekolahku berada dalam jalur keseharian ayahku berangkat bekerja.
Ayahku pulang kerja jam 14.00 (atau jam dua siang). Setiap pulang kerja ia gunakan waktu untuk istirahat sejenak sekedar tidur siang. Kemudian sekitar jam empat sore biasa keluar ke halaman rumah dengan memakai kaos oblong berwarna putih dan mengenakan sarung goyor berwarna merah hati, melihat-lihat keadaan di sekitar rumah. Sesekali tetangga yang lain juga keluar dan mereka saling bertegur sapa.
Aku masih kecil waktu itu tapi kehidupan ayahku itu masih terekam kuat dalam ingatanku hingga sekarang, meskipun ia telah meninggalkanku utk. selama-lamanya sejak tahun 1970. . Tak lama kemudian datang pengantar koran , aku masih ingat nama koran itu, waktu itu aku belum bisa membaca tetapi lambang-lambang huruf yang tercetak sebagai nama koran itu masih kuat dalam ingatanku bahwa koran itu bernama Suara Rakyat.
Seperti sudah menjadi sebuah kebiasaan di sore hari, koran itu kemudian dibaca bersama oleh ayahku dan para bapak-bapak tetangga kiri-kanan rumahku. Ayah bersama-sama bapak-bapak itu membaca berita hari ini sambil duduk di “buk” ( yaitu tempat duduk dari semen yang dibuat di sisi kiri dan kanan pintu gerbang sebelum masuk halaman depan rumahku
Seperti biasa bila ayahku sedang duduk sambil membaca koran aku lendotan (dipangkuannya) sambil ikut melihat gambar-gambar pada koran tersebut. Aku belum bisa membaca waktu itu.
Masih terekam dalam ingatanku, setiap kali koran itu datang aku melihat gambar Bapak Presiden Soekarno yang berpeci kopyah ditampilkan dari posisi samping sambil mengayunkan tangan mengacungkan telunjuk kemudian di dekat gambar tersebut ada tulisan Bapak Revolusi Kita.
Biasanya setelah usai membaca Ayahku dan satu dua orang tetanggaku itu ngobrol ngalor ngidul (berbicara dengan topik tak tentu) mungkin mereka membicarakan tentang topik yang ada dalam berita hari ini sampai masalah pekerjaan, masalah rumah tangga dan lain-lain. Itulah sebagian hasil rekaman ingatanku sewaktu aku masih kecil.
Masih terlintas dalam ingatanku waktu itu, ada sebuah lagu dalam bahasa jawa yang konon lagu itu syairnya dirubah (masih dlm bhs Jawa) oleh Bapak Almarhum Presiden Soekarno. Kalau tidak salah judul lagu itu adalah “Lesung Jumengglung”,. Nada lagu itu sebenarnya adalah langgam lagu jawa, setelah dirubah syair lagu itu berbunyi sebagai berikut;
Indonesia dudu bongso tempe
Indonesia bisa madeg dewe
Ra usah bantuanne
Kang soko PBB
Iku mung alate
Imperalis wae.
Dalam Bahasa Melayu sbb;
Indonesia bukan bangsa yang bermental tempe
Indonesia bisa berdiri sendiri
Tidak perlu bantuan
Dari PBB
Itu hanyalah
Alat penjajah saja.
Terlintas dalam ingatanku seandainya lagu itu masih berdengung sampai sekarang (dalam konteks kekinian) mungkin bangsa ini tidak begini jadinya. Walaupun dengan syair yang sederhana ternyata kalau kita renungkan syair lagu itu memilki makna yang dalam.
Entah waktu itu ada persoalan apa yang jelas aku ingat bangsa kita njegot (tidak setuju ) dengan sebuah resolusi PBB sehingga Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Ya begitulah samar-samar aku pahami setelah bebebarapa tahun kemudian (dengan keterbatasan pengetahuanku) sewaktu aku sudah bisa membaca dan duduk di bangku sekolah menengah.
Di balik makna yang tersirat pada syair lagu itu, ternyata Soekarno mengajarkan kepada bangsanya untuk dibawa kepada imajinasi dan pemahaman tentang kesadaran berpolitik yang sangat jitu, mulai dari tukang ngarit sampai pejabat yang paling atas di negeri ini, terbangun semangat untuk berani dan bersemangat menunjukkan jati diri dalam percaturan dunia.
Indonesia dudu bongso tempe (Indonesia bukan bangsa tempe); inilah sebuah slogan yang sebenarnya sudah jitu; Bila slogan itu terus berdengung sampai sekarang; selalu dilagukan oleh para tukang ngarit (pencari rumput), bapak RT , Bp. Lurah, camat, bupati, guru-guru TK, guru SD, dosen dan para professor bahkan menteri anggota DPR, sampai Presiden, terlebih para guru-guru ngaji sampai dengan para da’i yang kondang. Niscaya Indonesai akan menjadi Negara yang memiliki rakyat yang mungkin tidak bermental seperti tempe Saya yakin Indonesia akan menjadi negara yang jauh lebih maju ketimbang (dari pada) Malaysia; sehingga sangat diperhitungkan dalam percaturan global.
Apakah di antara saudara-saudaraku ada yang masih belum paham tentang apakah itu tempe? Tempe adalah makanan pokok orang Jawa tetapi saya yakin saudara-suadarku yang lain di luar Jawa juga tidak asing lagi, karena ia adalah makanan bergizi; bahkan sebuah makanan yang paling bergizi di jajaran makanan yang berasal dari nabati. Mengapa, karena ia terbuat dari kedelai yang kandungan protein dan kalorinya sangat tinggi di antara berbagai makanan dari tumbuh-tumbuhan. Bahkan makanan tersebut sekarang telah diproduksi di manca negara konon sudah menjadi hak paten mereka, demikian kabarnya. Priye to iki (bagaimana ini)!
Lantas bagaimana memaknai bangsa yang bermental tempe? Lihatlah tempe itu enak dimakan, jika bangsa ini tidak memiliki jati diri ya gampang betul bangsa lain ngapeki (membohongi tetapi yang dibohongi tidak terasa) dengan tujuan untuk mengekploitasi potensi/sumber daya yang ada. Apakah bangsa kita sudah memenuhi kritaria tempe dalam arti hakekat. Saya tidak berani menjawab pertanyaan ini; sebab kalau saya jawab ”Ya”, tentu banyak orang tersinggung, syukur kalau malah tertawa. Tetapi kalau saya jawab ”Tidak” saya mesti mengungkapkan argument yang rumit. Terus terang saja yang lebih tepat menjawab ya atau tidak adalah Anda sekalian, saya hanya mau menjelaskan ciri-ciri tempe itu sendiri dalam arti hakekat.
Selanjutnya, selain enak dimakan tempe dalam arti tempe itu sendiri ia tidak mampu berbuat apa-apa. Bayangkan ada anak bangsa yang mampu membikin sekrup dan sebangsanya atau pakaian jas perlente dan sebangsanya supaya laku terjual di negeri sendiri barang tersebut mesti dibawa keluar negeri dulu untuk diberi stempel made in luar negeri , baru kemudian diboyong lagi ke Negerinya. Ini pekerjaan konyol. Kalau tidak demikian barang-barang itu tidak laku dijual di negeri sendiri.
Ada sebuah cerita ; Seorang sahabat bercerita bahwa kawannya baru berkunjung di negara maju kawasan Eropa. Ia bangga dengan oleh-oleh jas yang bagus, selang beberapa tahun kemudian selidik-punya selidik ternyata jas tersebut adalah bikinan anak bangsa sendiri yakni made in Bantul, kepriye to iki (bagaimana ini). Bayangkan bangsa sendiri tidak memiliki kepercayaan/ kebanggan diri. Coba serentak Anda jawab mental macam apa bangsa yang demikian ini!!
Tempe memiliki sifat mudah busuk bila sudah mulai membusuk menimbulkan aroma yang mengundang lalat . Bau busuk dalam bahasa Jawa memiliki sinonim kata apek. Ya begitulah tempe, bila sudah tersentuh bakteri pembusuk akan mudah bereaksi saling mendukung antara unsur di dalamnya maka dari itu ia cepat membusuk, menimbulkan bau tak sedap (apek). Bau apek itu dalam dialog jawa dapat kita bilang ngapeki. Dalam bahasa jawa orang yang melakukan kebohongan itu disebut “ngapeki” kalau saling membohongi dikatakan podo-podo ngapeki., Bagaimana dalam suatu masyarakat jika antar warganya budaya saling membohongi ini sudah terbentuk. Kebohongan itu bukan saja dalam bentuk nyata, tetapi ada yang terselubung artinya pengaruhnya baru diketahui setelah selang bebarapa lama kemudian. Rusak dan sangat memalukan !! Ya dalam sekup yang lebih luas saya katakan korupsi telah meraja lela, begitulah. Mungkin bagi Anda yang rajin membaca koran akan tahu pada ranking ke berapa negeri kita menduduki Negara terkorup di dunia ini? Fantastis!!
Selanjutnya bau busuk itu mendatangkan lalat dan ia bertelor di situ, kemudian berkembanglah anak-anak lalat yang berupa belatung yang menjijikkan. Ya, itulah belatung yang menjijikkan. “Jijik” adalah ungkapan yang di dalamnya terkandung makna takut, anti pati dan sangat tidak disukai. Perbuatan kontra produktif dari yang kecil hingga besar adalah sebuah penempatan yang tepat untuk menjabarkan sebagai perbuatan yang menjijikkan Pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, pengebirian hak sampai pergerakan masal yang kontra produktif merupakan sebuah gambaran mental bangsa yang tidak terarah lagi. Apakah bangsa ini telah memasuki era demikian, bila benar demikian maka tunggulah kehancurannya. Demikianlah tempe apabila telah melewati fase pembusukan unjung-ujungnya tempe itu hilang tidak berbekas termakan belatung-belatung yang menjijikkan, alias bila demikian eksistensi Republik ini akan hilang ke mana nanti anak cucu kita hendak bernaung?!
Pekerjaan yang Mestinya Sudah Tidak Perlu Diulang Kembali;
Ada pekerjaan besar yang harus dipikul oleh setiap warga Indonesia yaitu membentuk jatidiri bangsa agar setiap jiwa yang duduk di atas bumi pertiwi ini memiliki rasa percaya diri yang
tinggi dalam kerangka membangun eksistensi bangsa (building character) agar tidak tergilas oleh bangsa lain. Paling tidak harus sadar bahwa bangsa ini sebenarnya telah menjadi budak di negeri sendiri. Ironis !!!
Oleh karena itu diperlukan formula yang jitu untuk menggertak setiap jiwa supaya sadar bahwa ia telah tertinggal dari bangsa lain, Bangkit-bangkit hancurkan imperalis.
Sebagaimana Soekarno mengajarkan. Indonesia dudu bongso tempe (Indonesia bukan bangsa bermental tempe).
Wahai pahlawan. Ibumu sedang menangis merindukan putra terbaiknya, yang pergi jauh untuk kembali, Soekarno kembalilah. suaramu lantang keras menggetarkan imperalis, menggoyahkan dunia, dipahami bangsamu hingga relung hati yang paling dalam. Telunjukmu bercahaya menghepnotis bangsamu serempak menuju satu tujuan. Penglihatanmu dan pendengaranmu tajam sangat peka terhadap penderitaan saudaramu “Kapan kau kembali ” “Ibu sangat merindukanmu. !” Soekarno kembalilah !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar