by
Budi Wibowo
بسم
الله الرّحمان الرّحية
Setiap manusia adalah
pengukir sejarah bagi dirinya sendiri.
Secara tidak kita sadari mesin perekam sejarah itu berjalan terus pada
diri kita. Pernahkah kita berpikir
bahwa betapa banyak catatan buruk yang
terus terukir dalam lembaran hidup kita yang nanti akan dibacakan di
hadapan Allah SWT ? Pada hari itu dibuka
lembaran hidup kita selama hidup di dunia.
يَوْمَ
تُبْلَى السَّرَائِرُ
Pada hari itu
ditampakkan segala rahasia. (QS Ath Thoriq [86]:9)
Pernahkah kita sadari
bahwa segala yang tidak tertangkap oleh
mata manusia dan malaikat, bukan menjadi rahasia bagi Tuhan ? Padahal hari itu ditampakkan segala rahasia. Sangat mengerikan bagi
penyandang dosa-dosa besar yang masih dalam penangguhan pengampunannya. Kalau dosa itu timbul karena melukai Allah
SWT masih mudah diharap pengampunannya, tetapi bagaimana bila dosa itu sebab
melukai sesama manusia ? Pengahapusan itu baru tunai jika orang yang
kita lukai telah memaafkan, kemudian penghapusan
itu baru terjadi bila kita benar-benar tidak akan mengulang perbuatan keji itu
di masa mendatang.
فاِنَّ
هَؤُلاَءِ لا يُغْفَرُ لَهُمْ حَتَّى يَتُبُوا وَيُتْرَكُوا
Mereka
tidak diampuni hingga bertaubat dan suka meninggalkan.” (Al Hadist dari Abu Hurairah dalam Duratun-nashihin).1
Allah Swt menyebutkan ciri orang yang
bertaqwa dalam surat Al Imron ayat 135 sbb;
وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya, sedang mereka mengetahui. (QS Al Imran [3] : 134-135 )
Jadi dalam kata taqwa terkandung makna
penjagaan atau pemeliharaan, begitulah ulama menyimpulkan.
Tolok ukur kecerdikan seseorang di hadapan
Allah SWT adalah seberapa kuat seseorang mampu melakukan penjagaan nilai ketaqwaan
tersebut dalam dirinya. Puasa Romadhan
merupakan salah satu therapy atau riyadhah saja yang diwajibkan untuk
melakukan penjagaan tersebut, kemudian
sikap itu dilanjutkan di luar bulan puasa.
Ada makna tersirat dari firman-Nya yang
termaktub dalam surat Al Baqarah 183, bahwa ending point dari hamba yang
melakukan puasa adalah “Agar hamba menjadi manusia yang bertaqwa” artinya menyikapi berbagai suport atau
rangsangan yang di “blow up” Allah SWt di bulan tersebut harus dimaknai sebagai
ibadah yang bukan bersifat temporer
belaka, meskipun perintah itu diberikan setiap tahun sekali. Kita tidak boleh berfikir matematis bahwa tidak
masalah mengulangi perbuatan keji yang sama di luar bulan Ramadhan toh nanti akan datang lagi bulan pengampunan itu. Pernyataan demikian mengandung makna tipu daya hamba pada Tuhannya. Bila
kita berpikir demikian, menjadi tidak
bersambung pernyataan bulan puasa sebagai bulan yang penuh rahmat, pengampunan
dan pembebasan dari api neraka. Allah
SWT berfirman;
يَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ
اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Mereka memikirkan tipu daya dan Allah
menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah
sebaik-baik Pembalas tipu daya.”(QS Al Anfaal [8]:30).
Ayat tersebut menggambarkan betapa manusia
ada yang hendak melakukan makar (tipu
daya) kepada Allah SWT, mereka lupa
bahwa Allah SWt di atas
segala-galanya.
***
Jadi esensi dari taqwa
sebagai ending point ibadah puasa adalah
penjagaan agar selalu terhindar dari perbuatan keji yang sama di masa mendatang. Kuatnya seseorang melakukan penjagaan inilah menunjukkan
tingkat kecerdikan seorang hamba di hadapan Allah SWT. Maka ibadah puasa yang dialakukan setiap
tahun sekali tidak benar jika kita
sikapi sebagai ibadah yang bersifat temporer. Semoga
semakin bertambahnya usia semakin meningkat kwalitas hidup kita di hadapan-Nya. Amiin.
Wallahi ‘alamu
bishawabi
و صلّ الله على سيّدنا محمّد وعلى آله
وصحبه وسلّم
Pustaka
Alqur’an
karim
1 _____1987. Duratun-nashihin.
Penerjemah : Abu H.FRamadlan Mahkota.
Surabaya. Hal. 822.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar