by
Budi Wibowo
بسم
الله الرحّمان الرّحيم
Siapakah diri kita? Inilah pertanyaan
yang sangat mendasar bagi para pemikir tentang diri kita yang sebenarnya.
Kita adalah jasad yang di dalamnya disematkan
ruh yg ditiup Tuhan kepada kita, sehingga hidup dan beraktivitas.
Ruh adalah sesuatu yang ghoib tapi
ada dan jasad adalah sesuatu yang bisa kita lihat. Ketika seseorang menyebut nama anda, maka
sebutan itu bukan sekedar menyentuh anda
secara material saja tetapi juga melingkup ruh di dalam jasad Anda. Itulah anda.
Untuk mampu melaksanakan aktivitas
diperlukan pemeliharaan, maka dari itu Tuhan menciptakan rasa lapar. Sebab itu kita akan menyentuh makanan
dan memakannya. Setelah makan hilanglah rasa lapar dan kita peroleh ketenangan.
Secara tidak sadar kita mendapat dua
hal penting, yaitu ketenangan dan hilangnya rasa lapar. Hilangnya rasa lapar menunjukkan telah
tercukupinnya kebutuhan jasad dan didapatnya ketenangan menunjukkan telah tercukupinnya
salah satu kebutuhan ruh. Unik memang,
tapi kalau kita mau berpikir lebih mendalam sebenarnya setiap diri ini
membutuhkan masukan yang berupa bahan materiil dan non materiil.
Bahan makanan dalam ujud materiil
adalah apa yang kita makan sehari-hari, bahan makanan non materiil adalah
informasi2 yang kita peroleh melalui panca indera kita. Makanan yang materiil mengandung unsur2 kimia
yang dibutuhkan jasad kita. Sedangkan informasi yang kita peroleh membentuk
watak kita atau thabiat kita di tengah masyarakat. Oleh karena itu tidak salah
kalau kita katakan bahwa kita adalah apa yang kita makan.
Anda secara lengkap bukan sekedar
jasad materiil dan ruh belaka tetapi anda adalah anda secara lengkap dengan
atribut akhlak yang anda sandang di tengah masyarakat.
Maka dari itu Rasul menyatakan bahwa
sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling baik akhlaknya
خَيْرُ
النَّسِ أحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang terbaik akhlaknya di antara mereka.” (H.R Thabrani dari Abdullah bin umar).
Atribut akhlak inilah yang menjadi
tolok ukur kesempurnaan manusia. Kita katakan
bahwa akhlak adalah produk diri yang dihasilkan berdasarkan input (makanan) yang
masuk ke dalam diri kita. Tidak berlebih kita katakana, jika yang masuk dalam
tubuh kita mengandung unsur2 syaitoniyah maka yang nampak pada kita adalah
akhlak syaitoniyah pula. Begitulah makna
di balik Allah Swt berfirman
يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Qs. Al Mukminun: 51).
Akhlak yang mulia itu sebenarnya pancaran dari ketaqwaan, begitulah Allah SWT menginisialisasi orang mulia di sisi-Nya.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
”Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal“ (Al
Hujurat[49]:13)
Jadi ketika manusia menampakkan sifat yang berlawanan dengan nilai ketaqwaan, jelas ada yang salah dari apa yang telah dia makan.
Demikian memaknai “Kita adalah Apa
yang Kita Makan”, semoga bermanfaat.
Amiin.
و صلّ الله على سيّدنا
محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar