by
Budi Wibowo
سم الله الرّمان
الرّحيم
Saat hamba sadar
bahwa Allah SWt menjauh justru pada saat itu Allah SWt dekat dengan hamba,
demikian pula saat hamba merasa dekat dengan Allah SWt juga menggambarkan bahwa
saat itu hamba dekat dengan Dia”.
***
Kita
mengenal istilah ujian, adzab, rahmat
dan pembiaran atau istidraj dari Allah SWT.
Sebenarnya semua itu merupakan bentuk rahmat (kasih dan sayang) Allah
pada hamba-Nya. Yang terpenting dari
semua itu adalah kemampuan hamba menangkap pengertian tersebut. Kemampuan menangkap inilah yang membedakan hamba
satu dan lain di hadapanNya. Sinyalemen ini dapat kita tangkap dari firman
Allah SWT dalam hadist Qudsi, sbb;
اَ ناَ عٍندَ ظَنِّ عَبْدِى بىِ وَأنَا مَعَهُ حَيْنَ يَذْكُرُنِى
“Aku
menurut prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama dengannya ketika ia
ingat kepada-Ku (HR Syaikhani dan Turmudzi) 1
Rahmat terdiri “kasih” dan “sayang” terinspirasi dari
asma Allah SWT yang hampir setiap hari kita sebut yakni arrahman (yang maha
pengasih) dan arrahiim (yang maha penyayang) dalam kalimat bismillaahirrahmaanir
rahiim.
Allah SWT
akan tetap memberi bagi hamba-hamba-Nya
yang berusaha untuk mendapatkan sesuatu sesuai kapasitas kemampuan hamba
tersebut dari apa yang diinginkan tanpa pandang bulu, selain memberi Allah SWT
juga mencurahkan rasa sayang-Nya kepada hamba-hamba tertentu. Jadi yang membedakan maha pengasih dan maha
penyayang adalah adanya sifat memberi tanpa pandang bulu dan sifat memberi
dengan pilih-pilih. Maka tidak
perlu heran jika di muka bumi ini ada hamba yang sukses dalam kehidupan dunianya meskipun mereka banyak
melakukan pelanggaran-pelanggaran perintah-Nya dan ada hamba yang hidup susah
meski mereka telah mematuhi segala perintah-Nya. Sepintas menurut pandangan manusia seperti
itulah adanya kehidupan ini,
padahal nilai kesuksesan itu bergantung dari rasa syukur yang merasuk
ke dalam diri masing-masing. Oleh
sebab itu belum tentu mereka yang memiliki finansial melimpah lebih bahagia dibanding
mereka yang minim dalam kepemilikan finansial.
Sukses dunia
melalui jalan yang tidak syar’i adalah
bentuk istidraj (pembiaran) oleh Allah SWt.
Pembiaran bukan merupakan keputusasaan Allah SWT, tetapi pembiaran merupakan fenomena menjauhnya Allah SWT dari
hamba. Bagaimana mungkin Allah SWt
menjauh dari seorang hamba-Nya ? Mari
kita perhatikan dua statement antagonis ini
tetapi menghasil kesimpulan yang sama;
Saat hamba sadar bahwa Allah SWt menjauh justru pada saat itu Allah SWt dekat dengan
hamba, demikian pula saat hamba merasa dekat dengan Allah SWt juga
menggambarkan bahwa saat itu hamba dekat dengan Dia”.
Dari kedua
fenomena tersebut kita dapat menarik benang merah bahwa jauh dan dekatnya
seorang hamba terhadap
Allah SWT terletak pada nilai kesadaran hamba akan keberadaan Allah SWT.
Penjagaan terhadap rasa dekat itulah
yang terwujud dalam bentuk rasa syukur.
Ekspresi rasa yukur bukan sekedar dalam ucapan saja, tetapi juga termanifes dalam bentuk patuhnya seorang hamba melaksanakan segala
perintah dan larangan-Nya. Semua akan menyembul dalam bentuk aklakul karimah. Maka
dari itu Allah SWt berfirman
“Aku menurut prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama
dengannya ketika ia ingat kepada-Ku (HR Syaikhani dan Turmudzi) 1
Lawan dari
sadar tentu tidak sadar atau lalai. Allah
SWt menggambarkan orang yang lalai dalam
surat Al Ma’un
فَوَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat yaitu mereka yang lalai dalam sholatnya,
orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan menolong dengan barang yang berguna
(QS Al Maa’uun [107]:4-7)
Jadi orang-orang yang lalai itulah hamba-hamba Allah SWt yang jauh dari Allah SWt, mereka akan mengalami kecelakan dalam hidupnya, sebab mereka tidak mengingat Allah Swt. Sedangkan orang yang beruntung adalah orang yang selalau menjaga rasa syukurnya dalam kondisi apapun, ulama mengatakan mereka adalah golongan orang yang selalu berbaik sangka kepada Allah SWt.
وصلّ
الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم
Allahu ‘alamu bishawab.
بَارَكَ اللهُ لِئ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْ اَنِ الْعَظِمَ
وَنَفَعَنِئ وَ أِيَكُم بِا لاَيَاتِ وَالْذِّكْرِ الْحَكِيْمَ
وَ قُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَ اَنْتَ خَيْرٌ الَّحِمِيْنَ
Assalamu'alaikum warahmatullah..
BalasHapusSaya uswatun, ingin bertanya..
Bagaimana caranya iman kita tetap terjaga sehingga kita bisa merasakan bahwa Tuhan (Allah) selalu ada bersama kita?
Sekian, terimakasih
Wassalam..
Wa'alaikumussalam. Iman itu bersifat naik turun. Utk. menjaganya maka kita harus selalu berprasangka baik pada Allah SWT. (Qona'ah). WaAllahu 'alamu bishawab.
BalasHapus