(Sebuah Kajian tentang Fitrah Manusia)
oleh
Budi Wibowo
بسم الله الرّمان الرّحيم
Betapa banyak manusia di hadapan kita yang menampakkan kekerdilan, tidak enak dipandang, tidak pas (tidak sesuai), tidak mengerti, paganis, bodoh tetapi tidak pernah menyadari akan kebodohannya, bagaikan pelantun nyanyian di atas panggung namun tidak merasa bahwa nyanyian yang dibawakannya terdengar sumbang.
Pernahkah terlintas dalam benak Anda bahwa yang meyaksikan sepak terjang Anda bukan saja masyarakat di sekitar kita, tetapi sebenarnya Allah SWT juga memperhatikan kita ?
***
Kalau kita mau merenung sejenak, ketika manusia lahir di dunia dalam keadaan suci.
كُلُّ مَوْلَدُ يُولَدُ عَلي الْفِطَةِ
“Setiap manusia yang dilahirkan, terlahir dalam keadaan suci”( H.R Muslim)
Perjalanan hidup manusia di dunia ini berada dalam rentang kelahiran dan kematian.
Ketika manusia berada dalam rentang tersebut secara implisit Tuhan memerintahkan untuk menjaga kesucian itu
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)" (QS Al ‘Ala [87] :14)
Dari sini kita dapat membaca bahwa implikasi ketika menghadap kepada-Nya tentu harus tetap dalam keadaan suci. Mereka yang mampu mempertahankan kesucian akan kembali dengan membawa ketenangan jiwa yang kelak disambut gembira oleh Tuhannya.
يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“ Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dengan mendapat Ridho-Nya". (QS Al Fajr [89 ]: 27-28 )
Itulah sebab mengapa Allah membuat utusanNya sebagai panutan bersifat maksum atau tetap dalam kesucian. Tetapi Tuhan seakan menyembunyikan perintah tersebut dengan menyatakan bahwa ”Ia menciptakan manusia di bumi ini sebagai khalifah.” Adakah keterkaitan antara tugas menjaga kesucian dan tugas kekhalifahan ?
Kata khalifah menurut Al Qur’an dapat bermakna sebagai pergantian generasi , kepemimpinan, dan wakil Allah SWT untuk menegakkan hukum-hukumNya di muka bumi ini. Bila Allah SWT berfirman bahwa manusia adalah khalifah, maka sejatinya bukanlah para Nabi dan Rasul saja sebagai wakil Allah tetapi setiap individu adalah pemimpin atau wakil Allah di muka bumi ini.
ألآ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُلٌ عَنْ رَعِيَّتِه
“Ingatlah kamu semua adalah pemimpin (wakil Allah) dan kamu semua akan bertanggung jawab terhadap apa yang kamu pimpin”. (HR Bukhori)
Peran wakil tentu membawa atau menyampaikan misi yang dititipkan oleh pemberi mandat. Bila pemberi mandat itu suci tentu wakil harus mampu mengapresiasikan kesucian, bila pemberi mandat itu adil maka pengemban mandat harus mampu mengapresiasikan keadilan. Bila pemberi mandat itu jujur maka wakil harus mampu mengaprisiasikan kejujuran dlsb.
Kata fitrah (potensi dasar ) pertama mengandung makna kesucian.
كُلُّ مَوْلَدُ يُولَدُ عَلي الْفِطَةِ
“Setiap manusia yang dilahirkan, terlahir dalam keadaan suci”( H.R Muslim)
Bila Allah menisbatkan manusia sebagai khalifah (wakil Allah) yang berperan memelihara alam maka fitrah manusia berikutnya adalah cenderung pada kebaikan. Oleh karena manusia memiliki umur terbatas maka manusia adalah pewaris generasi sebelumnya atau peran khalifah bersambung dari generasi ke generasi berikutnya, untuk itu pesan suci harus tetap terjaga hingga generasi terakhir, dengan kata lain manusia adalah pengemban amanah oleh karena itu fitrah manusia yang lain adalah pemberi dan penerima pengetahuan. Maka di sini dapat kita rasakan bahwa tugas menjaga kesucian dan tugas kekhalifahan laksana sekeping mata uang yang dua permukaannya tidak terpisahkan. Allah berfirman;
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“……..Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah ) itu, Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS Ar-Rum :30 :30)
***
Manusia bukan Tuhan atau jelmaan Tuhan, inilah batasan yang harus tetap dipegang oleh seluruh hamba di jagat raya ini. Agar manusia tidak salah dalam memerankan tugas dalam mempersepsikan diri sebagai wakil Tuhan maka diperlukan teladan atau rujukan sebagai acuan dalam bertindak. Untuk itulah Allah SWT menunjuk beberapa utusan (rasul) hingga yang terakhir adalah Muhammad Ibn Abdullah seorang bangsa Arab sebagai rujukan paripurna. Dalam sejarah, terdapat hamba yang pemahamannya melampau batas sebagai khalifah. Di Timur tengah terkenal dengan nama Mansyur Al Halaj, yang menisbatkan diri sebagai Al Haq. Di Indonesia terkenal dengan nama Syeh Siti Jenar. Namun demikian hanya Allahlah yang maha tahu dan saya berlindung kepada-Nya atas segala ihwal demikian.
Maka dari itu Muhammad SAW adalah maksum (suci) dan tetap suci hingga akhir hayatnya. Pernah suatu hari seorang sahabat bertanya kepada isterinya, “Bagaimana perangai (Akhlak) Rasulullah ?” Isterinya menjawab : “Akhlak Rasulullah adalah Al Qur’an.” Jadi Muhammad adalah Al Qur’an berjalan, maka tidak heran bila pada jamannya dia mendapat gelar Al Amin.
Al Amin adalah reperesentase manusia yang dikehendaki Allah SWT sebagai pemeran khalifah di muka bumi ini Apabila kita hendak menyelami diri Al Amin, kita akan menemukan beberapa sifat yang melekat dalam diri Rasulullah SAW, yakni sidiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabligh (mampu menyampaikan), fathonah (memiliki daya kreativitas), adil dan berani. Keempat sifat yang pertama adalah sikap yang saling berkait, sedangkan dua sikap yang terakhir adalah sikap yang harus dimiliki terutama bagi pemimpin, perhatikan firman Allah QS Shad [38]:26 dan 45. Ucapan dalam diri (qolbu) yang selaras dengan lisan dan tindakan kita sebut dengan sidiq. Menjaga titipan baik itu berupa barang atau jabatan, tidak korup kita sebut amanah. Mampu menjelaskan sekaligus memberi teladan kita sebut tablig. Mampu memecahkan kebuntuan atau menyelasaikan masalah itulah yang kita sebut fathonah.
ألآ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُلٌ عَنْ رَعِيَّتِه
“Ingatlah kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan bertanggung jawab terhadap apa yang kamu pimpin”. (HR Bukhori)
Jadi sebenarnya setiap insan adalah pemimpin yang akan mewariskan hasil kepemimpinannya kepada generasi berikutnya. Setiap diri kita adalah subyek dan masyarakat adalah obyek. Masyarakat dalam unit kecil adalah keluarga, dari sinilah tugas kepemimpinan itu berawal.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka(QS. Et-Tahriim [66]:6)”
Kepemimpinan identik dengan keteladanan. Keteladanan yang baik akan menghasilkan masyarakat yang baik. Bila Anda menyuruh anak sholat berjamaah di Masjid , maka Anda harus lebih dahulu meneladani anak-anak berjamaah di Masjid. Bila Anda melarang anak berkata kotor maka Anda harus meneladani tidak pernah berkata kotor.
Bila seorang pemimpin menganjurkan berbuat jujur maka dia harus lebih dulu meneladani berbuat jujur. Bagaimana mungkin lembaga pembuat undang-undang anti korupsi menghasilkan keteladanan yang baik bila di dalamnya banyak oknum-oknum yang korup ? Bagaimana mungkin seorang pemimpin akan mewariskan keteladan yang baik jika dirinya sebenarnya pelaku crime policy ?
Jadi, dalam konteks kekhalifahan pola bersikap seseorang adalah isyarat yang terpancar yang akan ditangkap oleh masyarakat di sekitarnya. Isyarat mana yang keluar dari diri Anda merupakan karakter Anda secara utuh yang telah terbentuk melalui proses panjang yang berulang-ulang.
الْخَيْرُ عاَدَةٌ وَالشَّرُّ لُجَاجَةٌ وَمَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ
فِى الدِّيْنِ
فِى الدِّيْنِ
“Kebaikan itu dari kebiasaan, keburukan itu dari pemaksaan, dan barang siapa dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Dia akan menjadikannya paham tentang agama” (H.R Ath-Thabrani )
خَيْرُ النَّسِ أحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang terbaik akhlaknya di antara mereka.” (H.R Thabrani dari Abdullah bin umar).
Selanjutnya Rasul memberikan ilustrasi bahwa
خِِيَارُكُمْ مَنْ ذَكَرَكُمْ بِاللهِ رُؤْيَتُهُ, وَزَادَفِيْ عَمَلِكُمْ مَنْطِقُهُ , وَرَغَبَكُمْ فِيْ الآخِِرَةِ عَمَلَهُ
"Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang apabila melihatnya membuatmu teringat kepada Allah, perkataannya menambah amal kebaikanmu, dan amal perbuatannya memotivasimu untuk meraih kebahagiaan akhirat" (HR. Al Hakim).
Orang tua religius akan melahirkan keturunan atau generasi yang religius, orang tua yang materialis akan menghasilkan generasi materialis, orang tua hypokrit akan menghasilkan keturunan yang hypokrit, karena semua itu terbentuk melalui audio visual yang berlangsung berulang-ulang dalam waktu yang lama dalam sebuah masyarakat utamanya dalam unit kecil yakni keluarga, meskipun tidak mutlak demikian tetapi korelasi antar keduanya menunjukkan hubungan yang positip.
Generasi mendatang adalah tatabentukan dari generasi sebelumnya dan perlu kita ketahui bahwa pembentukan karakter itu melalui proses pembelajaran.
Jadi jelas bahwa tujuan Allah SWT mengutus para Rasul sebenarnya hanya untuk mempertahankan fitrah, sehingga tugas kekhalifahan di muka bumi ini dapat berlangsung dengan baik.
***
Di akhir hayatnya Rasul tidak bergelimang harta, dia meninggal di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Ketika malaikat hendak mencabut nyawanya mulutnya bukan berucap “Fathimah oh putriku” tetapi “Umatku umatku umatku”. Ini mengisyaratkan bahwa Rasul begitu besar tanggung jawab dan perhatiannya dalam menjaga fitrah umatnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Dia pertaruhkan jiwa dan raganya untuk kebahagiaan umat. Bila mau dia mampu mengumpulkan harta namun dia tidak pernah melarang umatnya untuk mengumpulkan harta perhatiannya bukan pada kekayaan pribadi, maka dari itu di akhir hayatnya dia tidak menyebut “Fathimah oh putriku” tetapi yang dia sebut adalah “Umatku umatku umatku”.
“Diam adalah emas” dan “Sebaik-sebaik perkara adalah di pertengahan” adalah dua buah ungkapan di antara berbagai ungkapan yang keluar dari seorang utusan. Yang pertama secara implisit bertujuan agar seseorang tidak mengumbar lisan dan yang kedua secara kontekstual agar seseorang menjalani hidup tidak over acting ( terlalu berlebih).
Cukuplah menjadi pelajaran bagi kita bahwa setiap langkah dan tindakan kita sejatinya harus ditujukan untuk membangun akhlak mulia pada anak keturunan kita di masa mendatang. Kini kita sampai pada titik kesimpulan bahwa rusaknya tatanan suatu kaum jelas disebabkan oleh penyimpangan fitrah manusia. Bila suatu negeri rusak maka jelas para pemimimpinnya gagal dalam mengembangkan potensi dasar yang dimiliki oleh anak bangsanya.
Anda mungkin pernah mendengar seorang bernyanyi dengan suara sumbang, dalam bahasa musik disebut dengan istilah ‘false’, makna harafiahnya adalah tidak sesuainya antara nada yang dikeluarkan oleh alat musik dengan suara pelantun lagu yang dibawakan penyanyi. Bagi pendengar yang mendengarkan kejadian demikian sungguh tidak enak, tidak menghibur meski syair lagu yang dinyanyikan bagus. Bila Anda sebagai penyanyi dengan suara tersebut, penonton akan melempar batu pada Anda dan apabila Anda masih ngotot (memaksakan diri) resiko yang paling ringan adalah Anda akan ditinggalkan penonton.
Bila saya katakan bahwa musik sebagai potensi di luar diri (talenta) yang dimiliki seseorang, nyanyian adalah lisan dan amal perbuatan yang dilakukannya, penonton adalah masyarakat tempat berinteraksi atau menjalin hubungan. Maka nyanyian sumbang adalah tidak selarasnya ucapan dan perbuatan seseorag dengan kondisi penampilan yang dimiliki di tengah masyarakat.
Pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa yang meyaksikan sepak terjang kita bukan saja masyarakat di sekitar kita, tetapi sebenarnya Allah SWT juga memperhatikan kita ? Allah SWT sangat membenci pada orang yang ucapannya tidak selaras dengan tindakannya. Tentu yang dimaksud di sini adalah ucapan dan tindakan yang sesuai dengan aturan agama (syari’ah). Ringkasnya bahwa Allah sangat membenci hamba yang tidak memberi teladan yang baik pada lingkungannya.
Perhatikan ayat berikut :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ(2)كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. (QS Ash- shaff : 61 :2-3)
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
"Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan "( QS Al Fushilat : 41 : 22)
Anda sebagai penonton kini dapat merasakan betapa banyak manusia di hadapan kita yang menampakkan kekerdilan, tidak enak dipandang, tidak pas (tidak sesuai), tidak mengerti, paganis, bodoh tetapi tidak pernah menyadari akan kebodohannya. Mereka bagaikan pelantun nyanyian di atas panggung namun tidak pernah merasa bahwa nyanyian yang dibawakan terdengar sumbang. Wa Allahu ’alamu bishawab.
Bdl, Okt 2011
BW
PUSTAKA
Al Qur’an Karim
Al Hasyimi, Sayid Ahmad. 1995. Mukhtarul Ahadist. Trj. Mahmud Zaini.
Pustaka Amani. Jakarta. Hal. 223,224
Imam Suyuti. _______. Al Jaamingush Shogir. Juz II. Maktab Dar Ihya Alkitab Arabiyah.
Indonesia. Hal. 8,13,95
Syahidin. 2009. Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al Qur’an.
Alfabeta,CV. Bandung. Hal 33
Wibowo, Budi. 2010. Makna Penciptaan Manusia. Mari Mengaji.
http :\\ Kutbah.Blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar