by
Budi Wibowo
بسم الله الرّمان الرّحيم
Ketika seorang hamba selalu mendawamkan qiyamu lail dengan
sebab kecintaan kepada Robnya, dia laksana telah meraih surga meski raga
masih di bumi. Rasul bersabda : “Shalatlah kalian pada waktu malam sewaktu manusia sedang tidur,
niscaya kamu sekalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR Turmudzi).
***
Ibadah merupakan esensi dari pada syukur atau ungkapan terima kasih kepada Tuhan dalam bentuk amal perbuatan. Ibadah merupakan amal perbuatan yang mendapat ridho Tuhan. Ibadah seharusnya menggambarkan
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan
ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama, dan juga agar
melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan yang demikian itu agama yang lurus
(benar)”. (QS Al Bayinah [98]:5)
Kita mengenal istilah wajib dan kewajiban, butuh dan kebutuhan, cinta dan kecintaan. Istilah-istilah ini erat kaitannya dengan
ibadah. Kata
‘kewajiban’ memiliki makna lebih luas daripada ‘wajib’, ‘kebutuhan’ memiliki
makna lebih luas daripada ‘butuh’ dan
‘kecintaan’ memiliki makna lebih luas dari pada ‘cinta’. Kita seharusnya bertanya, apakah ibadah yang
telah kita laksanakan selama ini berdasarkan kewajiban, kebutuhan atau
kecintaan ?
Bila ibadah dilakukan
berdasar kewajiban dia akan mudah sekali bersentuhan dengan godaan-godaan , seperti terpaksa,
asal-asalan, malas, menunda, meringankan
atau mencari mudah dan lain sebagainya, kesemuanya menggambarkan kekurang-ikhlasan.
Bila ibadah itu dilakukan
berdasar kebutuhan dominasi
egoistis pelaku lebih menguasai
dan bila dilakukan berdasarkan kecintaan maka
kerinduan dan kegembiraan lebih
mendominasi meski berbagai kondisi menimpa.
Beribadah Berdasar Kebutuhan
Manusia adalah al faqir (yang berkebutuhan), sebab dalam dirinya telah
disematkan nafsu. Nafsu inilah yang
mendorong manusia untuk berkeinginan (merasa kurang) dan berbuat. Nafsu laksana kuda binal yang harus dikendalikan,
manakala dia dapat dikuasai maka manusia akan sampai pada tempat yang dituju, sebaliknya manakala dia yang menguasai maka tidak akan sampai pada tempat yang dituju Tempat itu adalah keridhaan Allah SWT.
Ibadah yang didasarkan pada kebutuhan lebih menggambarkan egoistis pelakunya sebab dominasi nafsu yang lebih
dominan. Ciri ibadah demikian dapat terasa bila kebutuhan telah tercapai pada saat berikutnya semangat
ibadah akan menurun atau mengendur. Keadaan seperti ini dapat dirasakan ketika terjadi kegentingan mengharapkan
sesuatu. Ketika keinginan itu
terkabulkan semangat akan menurun dengan berjalannya waktu. Demikian juga ketika kebutuhan yang
sangat diperlukan itu tidak terkabulkan,
semangat juga akan menurun bahkan meluncur
hingga menembus batas bawah dari penghambaan. Inilah
sebab mengapa Allah SWT berfirman
وَاللَّهُ
يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba2-Nya yang sabar.(QS AliImran[3]:146)
Sabar menggambarkan
kesadaran bahwa segala sesuatu
berada dalam genggaman Allah SWT.
Sabar juga menggambarkan kekuatan mempertahankan keinginan dari berbagai hantaman kendala.
Kini kita dapat merasakan
hari-hari yang telah terlalui, apakah sholat yang kita lakukan sekedar
memenuhi kewajiban atau kesadaran karena butuh atau cinta ? Mungkin Anda
sekarang baru menyadari bahwa ternyata
batas bawah sikap manusia dalam
beribadah adalah kewajiban, yakni posisi yang mudah sekali bersentuhan dengan
godaan-godaan , seperti terpaksa, asal-asalan,
malas, menunda, meringankan atau mencari mudah dan lainnya sebagai
penjelamaan dari rasa kekurang-ikhlasan.
Beribadah Berdasar
Kecintaan
Buah cinta adalah keceriaan, wajah
berseri, mata bercahaya, gerakan yang cepat dan rela berkorban. Inilah yang terpancar pada diri Rasulullah
SAW teladan umat. Tidak berlebih bila
masyarakat Yastrib (Madinah) ketika itu menyambut kedatangannya laksana kedatangan Sang Rembulan (Al Badru). Sebaliknya, muka muram, cemberut dan malas menggambarkan hilangnya rasa cinta. Ternyata keceriaan Beliau erat kaitannya
dengan kegigihan melaksanakan ibadah di waktu malam atau qiyamu lail.
ركعتان يركعهما ابن آدم فى جوف الليل الآخر خير له من الدنيا
وما فيها ولو لا أن اشق
على أمتى لفرضتهما عليهم
“Dua raka’at
yang dikerjakan seorang hamba di akhir tengah malam lebih baik baginya dari pada dunia seisinya, seandainya
aku tidak khawatir memberatkan umatku niscaya aku wajibkan dua rakaat itu pada
mereka. (HR Ibn Nashr) 1
Qiyamu lail (sholat malam) menggambarkan kesadaran
yang tinggi dalam diri pelaku atas besarnya nikmat yang telah diterima, menggambarkan ketulusan pelaku pada Rob-nya, menggambarkan kecintaan yang penuh pelaku
terhadap Tuhannya, menggambarkan pandainya pelaku memerangi rasa egoistis dan menggambarkan kecerdikan pelaku menangkap makna dzikir.
Dzikir membawa
pelakunya pada kesadaran yang tinggi dalam beribadah, puncak dari pada dzikir
adalah sholat. Pancaran keceriaan dalam
beribadah bergantung pada ruh ibadah yang mendorong di dalamnya. Bila ruh itu dalam kondisi ceria, maka yang menyembul
dalam permukaan adalah keceriaan pemiliknya.
Keceriaan dalam beribadah jelas terkandung niat yang tulus di dalamnya.
وَ
أفْضَلُ الصَّلاَةُ بَعْدَ المَكْتُوبةِ صّلاَةُ اللَّيْلِ
“Dan shalat
yang paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam (tahajud/qiyamu lail)” (HR. Muslim) 2
Rasul mengatakan
sebagai yang paling utama sebab sholat malam adalah sholat yang dilakukan penuh
kesadaran pelakunya tanpa ada tekanan. Sholat
malam lebih didorong oleh motivasi-motivasi pelakunnya, berdasar kebutuhan atau
kecintaan. Bila motivasi itu berdasar
kebutuhan, dawamitas ( keterjagaaan ) qiyamul lail akan mengalami
pasang surut, tetapi bila dilakukan berdasar kecintaan dawamitas
akan terpelihara sebab di dalamnya selalu terkandung kerinduan terhadap Rob. Inilah yang terpancar dalam diri Rasul dan
orang-orang sholeh;
فَاَصْبَحَ
نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفسِ وَاِلاَّ اَصبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسَلاَنَ
Sehingga
pada waktu pagi ia akan tangkas dan tenang jiwanya, sedang kalau tidak, maka ia
akan lesu dan malas.” (HR Bukhari dan Muslim) 3
Dua motivasi tersebut sama-sama dilakukan dengan niat
ikhlas, yang merupakan pokok perintah dalam peribadatan, sebagaimana Allah
SWT dalam Surat Al Bayyinah ayat 5 sbb;
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas.
Inilah pentingnya qiyamul lail sehingga wajar bila
Allah berfirman;
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً
لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebagaian malam hari bersembahyang tahajudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat
kamu ke tempat yang terpuji.” (QS Al Isra [17 ]:79).
Begitu lembut firman Allah
tesebut, tentu ketika ungkapan
itu didengar oleh hamba yang penuh rasa cinta
segera ia menyambutnya, sebagaimana
tergambar dalam diri Rasul SAW. Ketika
seorang hamba selalu mendawamkan qiyamu lail dengan sebab kecintaan kepada Robnya, dia laksana
telah meraih surga meski raga masih di bumi. Keceriaan,
wajah berseri, mata bercahaya,
gerakan yang cepat dan rela berkorban itulah akhlak para ahli surga.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاعِمَة ٌلِسَعْيِهَا
رَاضِيَةٌ فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ
“Wajah-wajah yang berseri, merasa senang sebab usahanya,
dalam surga yang tinggi.” (QS Al Ghaasyiyah [88]: 8-10)
Rasul SAW bersabda
وَصَلُّو
بِاللّيْلِ وَ الناَسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسِلاَمٍ
“Shalatlah kalian pada waktu malam
sewaktu manusia sedang tidur, niscaya kamu sekalian akan masuk surga dengan
selamat.” (HR Turmudzi).4
***
Begitulah rahasia qiyamu lail, dia merupakah ibadah yang
telah dijadikan kebiasaan para rasul dan sholihin dahulu. Apakah
Anda merasa berat ? Bila dalam diri telah tergarami kecintaan terhadap Allah SWT dan RasulNya niscaya tidak ada hal yang berat.
Semoga risalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca
sekalian. Amiin.
وصلّ الله على سيّدنا محمّد و على آله وصحبه وسلّم
WaAllahu ‘alamu bishawab.
PUSTAKA
Al Qur’an Karim
Al Gozali, Muhammad Abu Hamid.____. Mukasafatul
Al-Qulub.
Al Haramain Indonesia. Hal 264-266.
1 Imam Suyuti. _______. Al Jaami’ush Shogir. Juz II.
1 Imam Suyuti. _______. Al Jaami’ush Shogir. Juz II.
Maktab Dar Ihya Alkitab Arabiyah. Indonesia . Hal.
25.
2 Imam Suyuti. _______. Al Jaami’ush
Shogir. Juz I.
Maktab Dar Ihya Alkitab Arabiyah. Indonesia. Hal.
50.
3,4 Abi Zakariya, Addamsyiq. 2004 M/1425 H. Riyadush
Shaalihin. Dar Al-Kotob Al Ilmiyah. Beyrut
Lybanon.
Hal 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar