Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Rabu, 19 Juni 2013

Menggapai Jiwa yang Tenang

 by
Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّحيم

Bila kita mau menyadari, Tuhan kadang membenturkan kita  pada sebuah dinding fenomena yang keras.  Mampukah kita bersabar  pada tumburan pertama ?  Itulah sebenarnya yang hendak Ia lihat.  Dengan cara itu Dia  memilih siapa hamba yang pantas dibuai dalam pelukanNya.  Mereka adalah  pemilik jiwa yang tenang yang penuh keridhaan dan sabar  dalam menegakkan kalimatNya,  sadar bahwa benturan itu memang harus dihadapi.

***

Saya percaya bahwa Anda pernah merasa  risau dan senang.   Merasa  risau karena telah berbuat kesalahan  sehingga  khawatir diketahui orang lain, atau karena sesuatu yang Anda harap tidak sesuai kenyataan atau karena Anda telah mendapat hinaan dari orang lain.  Saya juga percaya bahwa Anda pernah merasa senang karena mendapat apa yang menjadi harapan,  mendapat pujian atau karena Anda telah mampu menunaikan kewajiban yang menjadi beban.    Situasi risau dan senang inilah kondisi yang selalu mengiring manusia dalam perjalanan hidupnya.


Yang penting bukan  mencari sebab mengapa kita senang dan risau, tetapi kesadaran mengedepankan pemahaman bahwa perjalanan manusia itu selalu diliputi dua situasi tersebut.  Sebenarnya perintah seperti ini telah  beberapa kali disampaikan Allah SWT dalam Al-Qur’an, seperti kalimat berikut.


كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ 

Setiap jiwa akan mengalami kematian, dan kami hendak mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan kepada Kamilah kamu dikemblikan (QS Al-Ambiya [21]:35)

Dia yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. (QS Al-Mulk [67]:2).

Kesadaran  tinggi tentang lumrah-nya mendapat dua situasi tersebut menimbulkan pancaran ketenangan jiwa bagi pemiliknya, sebab kesadaran demikian menggambarkan kuatnya manusia berpegang pada petunjuk Allah SWT dan juga sebagai tanda telah sampainya bisikan para malaikat padanya, sebagaimana firman Allah SWT sbb;

فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ

Maka barang siapa  mengikuti petunjukku  tidak ada rasa takut dan sedih bagi mereka, sedangkan orang yang mengingkari dan mendustakan  terhadap ayat2-Ku (kitabku) mereka adalah penghuni neraka”.  (QS Al Baqarah [2]:39).


   إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ

Sesungguhnya orang yang mengatakan:”Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka seraya berseru:”Janganlah kamu merasa takut dan kamu bersedih, sebaliknya bergiranglah dengan sorga yang telah dijanjikan untukmu.  Kamilah pelindungmu dalam kehidupanmu di dunia dan di akhirat”. (Al Fushilat [41]:30-31 ).

Syarat meraih ketenangan, sebagaimana telah diterangkan dalam Surat Al-Fushilat [41]: 30 adalah istiqomah (teguh pendirian) dalam menerima segala perintah Allah ( ألتَّسلِيْمُ لأَمْرِاللهِ ).   Taslim liamrillah, adalah sebuah ucapan Rasul yang di dalamnya menjelaskan bahwa  ketenangan jiwa itu bukan disebabkan oleh keberadaan harta dan kedudukan atau ketiadaan harta dan jabatan,  tetapi ketenangan jiwa itu sangat ditentukan oleh kuatnya manusia berpegang pada petunjuk Allah SWT  dan kesadaran kebersamaan dengan-Nya dalam setiap sudut ruang dan waktu, dengan sarana yang dimilikinya.

Allah SWT berfirman;

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah (niscaya) hati menjadi tenang.” (QS Ar Ra’d [13] : 28). 

Bahkan dalam ayat lain Allah berfirman agar para hamba selalu mengingat Dia sebanyak-banyaknya (QS Al-ahzab [33]:41).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا 

“Wahai orang yang beriman dzikirlah (dengan menyebut nama Allah) sebanyak-banyaknya.”

Perintah ini bisa saja kita artikan  sebagai perintah agar sesering mungkin menyebut dan  mengingat-Nya.  Sebenarnya bukan sekedar  dalam arti kwantitas itu saja memaknai arti dzikir, tetapi di dalamnya mengandung kebersamaan pengerahan fikir untuk mempelajari makna firman-firman-Nya secara gigih.  Jadi dzikir mengandung pengertian bukan sekedar kwantitas tetapi menukik pada kwalitas sebagai tujuan akhir.  

Kini kita dapat merasakan bahwa kwantitas dan kwalitas dzikir seseorang menunjukkan kematangan jiwa yang bersangkutan  di hadapan Allah SWT.  Kematangan jiwa inilah yang menjadikan ketenangan  bagi pemiliknya.   Inilah sebenarnya hakekat orang berilmu.   Dalam suatu hadist disebutkan  bahwa Ibadah seorang yang berilmu sebanding dengan 1000 ahli ibadah yang tidak berilmu.  

Pemilik jiwa yang tenang inilah kelak yang akan mendapat sambutan hangat dari Allah SWT,  sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al Fajr sbb;. 

يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً  فَادْخُلِي فِي عِبَادِي  وَادْخُلِي جَنَّتِي 

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridaiNya. Maka masuklah ke golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS Al-Fajr [89]:27-30).

Semoga  kita termasuk golongan orang yang memiliki jiwa yang tenang dan mendapat ridhaNya. Amiin.

***

Bila kita mau menyadari, Tuhan kadang membenturkan kita  pada sebuah dinding fenomena yang keras.  Mampukah kita bersabar  pada tumburan pertama ?  Itulah sebenarnya yang hendak Ia lihat.  Dengan cara itu Dia  memilih siapa hamba yang pantas dibuai dalam pelukanNya.  Mereka adalah  pemiliki jiwa yang tenang yang penuh keridhaan dan sabar  dalam menegakkan kalimatNya,  sadar bahwa benturan itu memang harus dihadapi.

وصلّ الله على سيّدنا محمّد و على آله وصحبه وسلّم
WaAllahu ‘alamu bishawab.

PUSTAKA
Al Qur’an karim.
Wibowo,B.  2013. Mari Mengaji.  Kekafiran Berbungkus Iman. http://kutbah.blogspot.com/2013/06/kekafiran-berbungkus-iman.html

»»  LANJUT...

Minggu, 09 Juni 2013

Kekafiran Berbungkus Iman



by
Budi Wibowo

بسمالله الرّحمان الرّحيم


Tidak boleh menuduh sesama muslim sebagai kafir  tetapi tidak ada larangan menuduh diri sendiri sebagai kafir, jangan-jangan kita hanyalah sebungkus manusia yang berlabel iman belaka.   

***
Bungkus tidak selalu menggambarkan isi.  Untuk mengetahui kesesuainya tentu harus dilakukan pembuktian.   Seharusnya bungkus mengekpresikan isi.   Inilah yang saya maksud bahwa iman itu bukan sekedar pura-pura, bukan sekedar gincau dan pupur belaka.   

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan di antara manusia ada yang mengatakan beriman kepada Allah dan hari akhir padahal mereka tidak beriman”. (QS Al-Baqarah [2]:8)

Dari firman tersebut tergambar bahwa iman itu bukan sekedar diucapkan  tetapi perlu  pembuktian.

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ  وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan : ”Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi ?   Padahal  kami telah menguji orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sessungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al Ankabut [29]:2-3 )  

فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ

Maka barang siapa  mengikuti petunjukku  tidak ada rasa takut dan sedih bagi mereka, sedangkan orang yang mengingkari dan mendustakan  terhadap ayat2-Ku (kitabku) mereka adalah penghuni neraka”.  (QS Al Baqarah [2]:39).

Iman itu pada hakekatnya penghayatan  secara sungguh-sungguh dalam  hati.   Ketika telah terjadi kondisi demikian tentu ucapan dan tindakan yang dilakukan akan sesuai dengan pengakuan  tersebut, buahnya adalah hilangnya rasa takut dan sedih di hadapan makhluk.   Bila tindakan dan ucapan itu tidak sesuai dengan  hakekat yang diyakini mereka masuk dalam kategori dusta.   Allah SWT mengatakan mereka termasuk golongan orang  yang  mendustakan (pembohong)  dan kafir (ingkar).   

Ada lima tanda orang beriman, barang siapa satu saja tidak terpenuhi syarat tersebut, mereka termasuk golongan orang yang tidak beriman, sebagaimana sabda Rasul SAW berikut;


خَمْسٌ مِنَ الاِيْمَانِ , مَنْ لَمْ يَكُنْ فِهِ شَئٌ مِنْهُنَّ فَلاَ إيْمَانَ لَهُ : ألتَّسلِيْمُ لأَِمْرِاللهِ, وَالرِّضَا بِقَضَاءِاللهِ , وَالتَّوِيْضُ إلَى اللهِ , وَالتَّوَكُّلُ عَلَىَ اللهَ , وَالصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأو لىَ

Lima perkara yang merupakan bagian dari iman, siapa yang dalam dirinya tidak terdapat salah satu di antaranya berarti dia tidak memiliki iman, yaitu : menerima perintah Allah SWT (Taslim), rela terhadap keputusan Allah SWT,  berserah pada hukum-hukum Allah SWT (Tafwied), berserah diri pada ketentuan Allah SWT (Tawakal), bersabar pada saat musibah menimpa pada pukulan/benturan pertama”.  (HR Al Bazzar dari Ibnu Umar) 1

Taslim, Tafwied dan Tawakal ketiganya mengandung kesamaan pengertian yaitu “kepasrahan”.  Taslim merupakan bentuk kepasrahan diri dalam wujud melaksanakan perintah Allah SWT.   Tafwied merupakan bentuk kepasrahan diri dalam wujud pengakuan total terhadap hukum-hukum  Allah SWT.   Tawakal merupakan bentuk kepasrahan diri dalam bentuk pengakuan bahwa hasil akhir dari  segala usaha berserah pada  Allah SWT.

Kelima komponen itulah sebenarnya isi yang seharusnya terkandung dalam jiwa orang  beriman.  Sinergi kelimanya akan menghasilkan energi yang dasyat luar biasa.   Tanpa adanya bekal tersebut tidak mungkin terjadi keberanian yang luar biasa pada tentara Badar.  Sinergi itu akan menghasilkan pejuang Islam dalam menegakkan kalimat Allah (berjihad). 

Dari uraian tersebut dapat kita rasakan bahwa meraih predikat iman  ternyata  tidak semudah yang kita bayangkan.   Kini kita sadar bahwa keimanan itu harus tetap kita jaga dan perjuangkan.    Pertanyaannya,  sudah sampai di mana kegigihan kita dalam memperjuangkan dan mempertahankannya ?  Inilah bahan renungan yang seharusnya kita bawa setiap saat.

***

Tidak boleh menuduh sesama muslim sebagai kafir  tetapi tidak ada larangan menuduh diri sendiri sebagai kafir, jangan-jangan kita hanyalah sebungkus manusia yang berlabel iman belaka.   Semoga bermanfaat.  Amiin.

وصلّ الله على سيّدنا محمّد و على آله وصحبه وسلّم

WaAllahu ‘alamu bishawab.


PUSTAKA

Alqur’an Karim
1Al Hayimi, S.A.  1995.  Muhtarul Ahadist.  Terjemah :
   Mahmud Zaini.  Pustaka  Amani. Jakarta.





»»  LANJUT...