by
Budi Wibowo
بسم الله الرّمان الرّحيم
Sebenarnya kilatan
lembut itu sering melintas di depan kita,
hanya saja kita tidak pandai menangkapnya, seharusnya kita tangkap,
seandainya kita mampu menangkapnya
banyak-banyak lalu memeliharanya niscaya kita akan menjadi hamba spesial
di hadapanNya.
***
Ada suatu amal yang dikerjakan di luar kebiasaan. Ketika kita selesai melaksanakan pekerjaan
itu lega dan ringan rasanya. Sama sekali kita tidak menyadari bahwa itu adalah
sebuah amal ibadah yang sangat besar
nilainya di hadapan Allah SWT. Misal
menolong orang kecelakaan, memberi makan binatang yang menderita kelaparan atau
sakit, membantu orang yang menderita kesusahan, tiba-tiba ingin menyempurnakan
ibadah, berbagi makanan dengan
tetangga, bersilaturahmi dengan kerabat dan sebagainya dan sebagainya.
Sebagai salah satu ilustrasi; Mungkin
kita pernah merasakan bahwa tiba-tiba saja ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sehingga terasa ringan bangun malam dan melaksanakan munajat kepadaNya.
Tidak terpikir oleh kita akan nilai-nilai, tidak ada motivasi lain kecuali
rasa rindu dan cinta menggebu kepadaNya. Inilah salah satu contoh amal special, bila amal ini kita dawamkan insyaAllah kita
akan menjadi hamba yang spesial pula di hadapan Allah SWT. Jadi agar kita menjadi hamba yang khusus/spesial
di hadapanNya seharusnya selalu menjaga kesadaran mendawamkan amal-amal tersebut di
sepanjang perjalanan hidup kita. Amat disayangkan bila kita tidak menyadari
pemahaman demikian.
Rasul bersabda,
الْخَيْرُ
عاَدَةٌ وَالشَّرُّ لُجَاجَةٌ وَمَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ
فِى الدِّيْنِ
فِى الدِّيْنِ
“Kebaikan itu dari kebiasaan, keburukan itu dari keterpaksaan, dan barang siapa dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Dia akan menjadikannya paham tentang agama” (H.R Ibn. Majah )1
Sabda Rasul tersebut menggambarkan betapa pentingnya dawamitas amal spesial sebagai penghantar menuju ke-faqqih-an beragama. Bila kita telah mampu mencapai kondisi demikian,
insyaAllah kita telah mampu mencapai kondisi
yang diharapkanNya. Sebagaimana firmanNya.
وَمَا أُمِرُوا
إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya menyembah
Allah SWT secara tulus (memurnikan ketaatan kepadaNya) dalam mejalankan agama,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang demikian itulah sebenarnya agama yang lurus. (QS Al Bayyinah
[98]:5).
Pada sisi lain ada amal yang memang kita sadari nilainya karena kita telah
mengetahui menurut firman dan sunnah sehingga dengan iming-iming tersebut kita terpancing rutin dan rajin melaksanakannya. Terasa lega pula setelah kita mampu menunaikannya
dan merasa rugi bila tidak melakukannya.
Berkaitan dengan kondisi ini Allah SWT berfirman:
فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ
فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.” (QS
Al Maa-idah [5]:48)
Mungkin Allah SWT tersenyum melihat hamba-hambaNya yang beramal
demikian, karena banyak diantara mereka berebut
melakukan kebajikan berdasarkan dorongan nafsu belaka, sehingga kedudukan
Tuhannya tergeser oleh nafsu.
Kemudian ada lagi amal ibadah yang dikerjakan karena
takut sebab adanya ancaman-ancaman bila meninggalkannya. Begitu pula bahwa setelah amal-amal itu dikerjakan hati terasa lega. Namun banyak sekali hamba yang memanipulasi
rasa takut itu dengan melaksanakan amal secara serampangan atau hanya sekedar
memenuhi kewajiban.
***
Situasi pertama (amal spesial) menggambarkan bahwa amal itu dilakukan secara refleks atau secara naluriah. Inilah amal yang dilaksanakan dengan ikhlas,
sedang pada situasi kedua dan ketiga nilai keikhlasan amal itu masih mudah tercampur.
Refleksivitas beramal bergantung pada
tinggi rendahnya frekwensi amal itu dilakukan, dikatakan bergantung pada kekuatan memegang hidayah yang telah
diperoleh. Untuk mendapatkan kekuatan
dalam memegang hidayah diperlukan latihan terus-menerus.
Latihan terus menerus dalam pelaksanaan perintah agama disebut “riyadhah”. Jadi riyadhah
dapat kita katakan sebagai upaya menjemput dan mempertahankan bola, bola dalam
konteks ini adalah hidayah. Ketika
hidayah itu telah terengkuh maka pelaku menjadi lupa akan nilai-nilai, mereka
tenggelam dalam kepuasan, dalam bahasa jawa disebut “plong”.
Dari sabda Rasul
tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa;
1.
Kebaikan itu adalah kebaikan yang memiliki dasar
argumen agama yang kuat.
2.
Seseorang
dikatakan baik bila telah melakukan kebaikan secara berulang sehingga membentuk
tabiat yang melekat pada dirinya.
3.
Keikhlasan dalam
beramal mungkin ditempuh melalui tangga-tangga ketidak-ikhlasan
atau keterpaksaan, namun ketika amal tersebut telah menjadi kebiasaan, pelaku
menjadi lupa akan keterpaksaan atau ketidak-ikhlasan,
dikatakan pelaku telah lupa akan nilai-nilai.
4.
Ketika suatu amal
ibadah itu sudah menjadi kebiasaan atau adat, maka kondisi yang menyimpang dari
kebiasaan akan terasa sebagai suatu keburukan, membuat hati sumpek
(tersiksa). Maka dari itu Rasul bersabda
“keburukan itu berasal dari
keterpaksaan”.
Wallahu ‘alamu bishawabi.
***
Sebenarnya kilatan
lembut itu sering melintas di depan kita,
hanya saja kita tidak pandai menangkapnya, seharusnya kita tangkap,
seandainya kita mampu menangkap banyak-banyak
lalu memeliharanya niscaya kita akan menjadi hamba spesial di
hadapanNya.
و
صلّ الله على سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم
Pustaka
AlQur’an
Karim
1
Imam Suyuti. _______. Al Jaamingush Shogir. Juz II Maktab
Dar Ihya Alkitab Arabiyah.
Indonesia. Hal.
13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar