by
Budi Wibowo
بسم الله الرحّمان الرّحيم
Jagad raya ini memang sengaja merupakan tempat melempar persoalan, setiap individu dituntut kecerdikannya untuk menanggapi persoalan tersebut. Siapa dalam menggunakan akal budi selalu terkontrol dengan petunjuk Wahyu dia berada dalam koridor yang benar. Siapa dalam menggunakan akal budi berada di luar kontrol petunjuk Wahyu dia berada di luar koridor yang benar, golongan mereka inilah sebenarnya kontributor keseimbangan menuju ke muara kehancuran jagad raya
Mohon maaf sengaja penulis membuat judul yang sangat sensasif. Bukan penulis bermaksud mengarahkan telunjuk (protes) kepada Tuhan. Ini hanyalah sekedar buah renungan yang sontak tersimpulkan dalam benak penulis, karena malaikatpun pernah menuduh demikian. Perhatikan kalimat berikut:
“Mereka (Para malaikat berkata) :”Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana ?” (QS Al Baqarah [2] : 30).
Tentu ungkapan para malaikat itu memiliki dasar yang kuat, karena tidak mungkin malaikat mengungkapkan sesuatu yang belum diajarkan Allah SWT, sikap malaikat ini tentu sebagai pengejawantahan dari sikap tunduk dan patuh mereka kepada Allah. Dalam suatu atsar diterangkan bahwa ternyata Allah SWT telah menciptakan manusia lain sebelum penciptaan Adam dan Hawa, kemudian ketika Allah SWT balik memprotes agar Malaikat menerangkan tentang hal ihwal ciptaan yang berkaitan dengan manusia, malaikat tidak mampu menjawab.
"Mereka hanya berucap : “Maha suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sungguh Engkau yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana“(Qs. Al Baqarah[2]:32).
Persoalan apa yang sengaja Tuhan ciptakan di jagad raya ini agar manusia menggunakan akal budinya ? Kalau boleh saya meringkas, sebenarnya ada 2 (dua) persoalan , yakni persoalan eksistensi diri-Nya dan persoalan keberlangsungan jagat raya ini.
***
1. Eksistensi Tuhan Perhatikan Firman Allah SWT berikut :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Andaikata Tuhanmu menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja "(QS Al Maidah [5] :48).
Membuat satu umat dalam satu keyakinan itu adalah mudah bagi Tuhan, cukuplah mengucap “kun” jadilah maka jadilah, tetapi nyatanya Tuhan tidak berkehendak demikian. Pada ayat ini kita dapat merasakan bahwa Tuhan memberikan kebebasan manusia untuk berpikir. Di antara beragamnya pola pikir itu ada yang bertujuan untuk mengetahui eksistensi Tuhannya, bahkan di antara umat ada segolongan yang menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jadi perbedaan keyakinan yang timbul di antara umat itu pada dasarnya disebabkan oleh mind set (pola berpikir) dari masing-masing umat.
Manusia adalah makhluk yang bertanya atau hewan yang berpikir atau hewan yang mencari kebenaran. Berkaitan dengan fitrah tersebut di antara keinginannya adalah mencari kebenaran tentang eksistensi Tuhan. Menggali eksistensi Tuhan dapat dimulai dari dua terminal.1 Terminal pertama adalah berawal dari tidak percaya atau sanksi kemudian mencari pembuktian, sebagaimna telah dilakukan oleh para filsuf. Terminal yang lain adalah berawal dari rasa percaya Wahyu (kebenaran mutlak) kemudian melakukan pembuktian.
1.1 Ekistensi Tuhan menurut Pendapat Para Filsuf 2
Pascal (1623-1662), berpendapat bahwa seakan Tuhan berfirman “Engkau tidak akan mencariKu, jika engkau belum menemukan Aku.” dengan makna yang sama dapat kita ucapkan ”Jika engkau telah menemukan Aku, engkau akan mencari-Ku.” Begitulah Pascal seorang ilmuwan yang namanya hingga sekarang tetap dikenang. Akhirnya dia berkata bahwa ”Mustahil membuktikan Tuhan itu ada, sama mustahilnya bagi akal untuk membantah eksistensi-Nya.”
Descrates (1596-1650), menduga hanya akal yang mampu membujuk manusia untuk menerima kebenaran agama dan moralitas, yang dipandangnya sebagai tiang penyangga peradaban. Dengan akal Tuhan dapat diketahui dengan mudah dan pasti (facilius et certius) daripada semua hal lain yang bereksistensi. Sebagaimana sebuah segitiga Euclidian pasti memiliki sudut yang jumlahnya sama dengan dua sudut siku-siku, wujud sempurna (Tuhan. pen) yang diyakini Descrates ini pasti memiliki sifat-sifat tertentu.
Isaac Newton (1642-1724), menurutnya alam sama sekali bersifat pasif, Tuhan merupakan satu-satunya sumber aktivitas. Tuhan yang berdaulat berkedudukan sentral di dalam seluruh sistem yang dibangunnya, karena tanpa ada seorang mekanik ilahiah seperti itu sistem tersebut tidak akan pernah ada. Tuhan dikatakan sebagai agen sukarela, selain berkecerdasan pasti memiliki kekuatan luar biasa untuk menata semua benda yang bermasa besar. Selanjutnya Newton berkesimpulan bahwa Ariuslah yang benar : Yesus pasti bukan Tuhan, dan bagian-bagian Perjanjian Baru yang dipakai untuk membuktikan kebenaran doktrin Trinitas dan Inkarnasi adalah palsu.
Baruch Spinoza (1632-1677), menurutnya pemahaman ilmiah kita tentang alam menunjukkan kepada kita bahwa alam diatur oleh hukum-hukum yang kekal tak berubah. Tuhan merupakan prinsip hukum itu, yakni gabungan seluruh hukum abadi yang ada. Kata ”Tuhan” hanya alasan sejarah. Spinoza sepakat dengan kaum atheis yang mengklaim bahwa realitas tidak dapat dibagi menjadi satu bagian yakni Tuhan dan bagian lain bukan Tuhan.
Mosses Mendelsson (1729-1786), berpendapat bahwa Wahyu hanya bisa diterima bila kebenaran-kebenarannya bisa dibuktikan akal.
Itulah pendapat sebagian filsuf yang berpikir tentang eksistensi Tuhan, sebagai fitrah kodrati yang telah ditentukan-Nya pada manusia, bahkan di antara filsuf itu ada yang berpendapat bahwa Tuhan itu tidak ada, seperti pendapat Spinoza di atas. Dengan terjadinya pendapat yang beragam dikatakan bahwa kebenaran yang dicapai melalui filsafat adalah kebenaran spekulatif . Selanjutnya dikatakan pula bahwa baik kebenaran ilmu maupun filsafat kedua-duanya bersifat nisbi (relatif).3
1.2 Ekistensi Tuhan Menurut Wahyu
Ditinjau dari sumbernya, maka agama (tata keimanan, tata peribadatan dan tata aturan) itu dapat dibeda-bedakan atas dua bagian: Pertama, agama Samawi (agama langit, agama Wahyu, agama profetis, revealed religion, Din-as-Samawi). Kedua, agama budaya (agama bumi, agama filsafat, agama ra’yu, non-revealed religion, natural religion, Din-at-Tabi’i, Din al-Ardhi).
Yang termasuk agama Samawi hanyalah Islam, sedangkan selebihnya, keculai Nasrani dan Yahudi termasuk agama budaya. Agama Nasrani dan Yahudi dalam bentuknya yang murni tentu termasuk agama Samawi, karena Al Qur’an menyebutkan bahwa kedua agama tersebut adalah agama Islam.
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ
وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
"Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanklan agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (QS Asy Syuura [42]:13)
Itulah alasan Al Qur’an yang menyatakan bahwa Yahudi dan Nasrani dalam bentuk yang murni sebenarnya Islam.
Akal budi adalah sebuah perangkat yang terkodrat pada manusia untuk mencari kebenaran-kebenaran, yang selanjutnya menjadi landasan kuatnya keyakinan. ”Science is persued not only becouse of practical use, but also it leads to highest conciousness, and that’s cosmological experience” Ilmu pengetahuan itu dicari bukan sekedar untuk penggunaan praktis, melainkan juga untuk membimbing kita ke arah kesadaran tinggi, yaitu yang disebut pengalaman keagamaan yang kosmologis.( J.W.N Sulvan dalam Anshari, E.S).
Mosses Mendelsson (1729-1786), menurutnya Wahyu hanya bisa diterima bila kebenaran-kebenarannya bisa dibuktikan akal. Jadi, agama akhirnya harus berhadapan dengan kecanggihan akal budi di masa depan. Ada 4 (empat) faktor penting yang harus dimiliki agama 4 , yakni pertama, sistem keyakinan/kepercayaan terhadap Tuhan, kedua sistem persembahan berisi peraturan tata cara peribadatan, ketiga ,adanya kitab yang menghimpun hukum/peraturan dan ke empat, adanya Rasul utusan yang menyampaikan ajaran. Agama mana menawarkan logika eksistensi Tuhan yang lemah, dia akan ditinggalkan. Hanya orang-orang yang lemahlah yang tetap bertahan pada agama yang menawarkan eksistensi Tuhan yang tidak mampu menghadapi kecanggihan akal budi tersebut.
Maka kita dapat menyimpulkan bahwa kelemahan yang disajikan sebuah agama jelas berpangkal dari adanya campur tangan manusia dalam kitab agama tersebut, sebab kebenaran ilmu maupun filsafat bersifat nisbi (relatif). Lain halnya apabila kebenaran itu berasal dari Tuhan sebagaimana yang tertuang dalam Wahyu maka kebenaran ini bersifat mutlak. Mengantisipasi tantangan akal budi ini Tuhan menantang kepada manusia, untuk membuat satu surat saja setaraf Al Qur’an. Dalam hal ini Tuhan memastikan bahwa manusia tidak akan dan pasti tidak pernah bisa membuatnya, sebagaimana FirmanNya dalam Al Qur’an
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(23)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا
Ayat ini juga mengandung makna kontekstual yang amat dalam. Di balik ayat ini sebenarnya Tuhan juga hendak mennyatakan outentisitas (kemurnian) firman-Nya. Dia menjamin kemurnian Al Qur’an. Secara gampang apabila Anda bertanya Apakah sama Al Qur’an semasa Muhammad hingga jaman Anda sekarang ini ? Jawabnya adalah ”sama”. Sekarang kita bertanya apakah Taurat dan Injil sebagai pegangan orang Yahudi dan Nasrani yang menjadi pegangan mereka itu masih ada atau masih murni atau sama hingga sekarang ? Tanpa ada alasan yang kuat nalar tidak akan menerima, inilah salah satu tantangan berat yang harus dihadapi agama-agama tersebut terhadap kecanggihan akal budi.
Contoh logika lain yang disajikan Tuhan yang tertuang dalam Wahyu-Nya adalah sbb: Dalam Al Qur’an diterangkan , bahwa Tuhan adalah esa (satu), tidak mungkin jagat raya yang besar ini diatur oleh 2 (dua) Tuhan, maka sama tidak mungkinnya manusia menyamai Tuhannya.
Kadang pendapat para filsuf itu ada yang nyerempet / bersesuaian dengan Wahyu. Seperti pendapat Pascal di atas, ”Mustahil membuktikan Tuhan itu ada, sama mustahilnya bagi akal untuk membantah eksistensi-Nya.” Perhatikan Firman Allah SWT berikut;
فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
”(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikannya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Asy Syuura [42]:11)
Keberadaan langit , bumi, manusia dan binatang itu membuktikan bahwa secara nalar semua itu merupkan bukti penciptaan yang tak terbantahkan sebagaimana Pascal berteori. Lantas Tuhan seperti apa? Inilah yang diungkapkan oleh Pascal bahwa mustahil membuktikan Tuhan itu ada (berwujud sebagaimana bagaimana kosepsi wujud yang diketahui manusia). Untuk permasalahan ini Allah SWT dalam Al Qur’an memberikan jawaban bahwa ” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.”
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ) konsepsi inilah yang menjadi pegangan Islam, konsepsi ini sebagaimana yang ditemukan New Ton bahwa dalam filsafatnya tidak mengakui adanya teori ingkarnasi Tuhan kepada makhluk.
***
Meskipun nalar telah membuktikan kebenaran-kebenaran tentang eksisten Tuhan, tidak semua orang mau bernalar dengan wajar. Di antara mereka ada yang kukuh dalam pendirian mempertahankan doktrin keyakinan masing-masing. Akhirnya timbul istilah fondamentalis. Sikap fondamentalis ini sangat besar kaitannya dengan drama saling membunuh antar manusia dan penghancuran jagad raya ini.
2. Keberlangsungan Jagat Raya
Drama pembunuhan manusia merupakan sebuah bentuk babak pengahancuran dunia. Drama pembunuhan manusia ini mulai terjadi dalam kisah yang disebutkan dalam Wahyu ( Al Qur’an) tatkala dua orang anak Adam As diperintahkan untuk mempersembahkan sesembahan. Akhirnya sesembahan salah seorang dari keduanya yang diterima, karena sesembahan itu diberikan dengan tulus. Wujud dari ketulusan itu adalah dipersembahkannya sesembahan yang berkualitas paling baik di antara sesembahan-sesembahan yang tersedia. Sebenarnya tragedi pembunuhan itu berakar dari perbedaan persepsi dalam masalah keadilan. Pertama, adalah keadilan menurut persepsi Tuhan dan kedua adalah keadilan menurut persepsi manusia. Keadilan menurut persepsi Tuhan tentu keadilan yang berpedoman pada firman-Nya yang tertulis dalam Wahyu. Keadilan menurut persepsi manusia adalah keadilan yang berpedoman pada konsepsi-konsepsi hasil akal budi manusia. Masalah keadilan inilah persoalan yang dilemparkan Tuhan ke jagad raya ini dan persoalan tersebut sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan jagat raya ini menuju proses kehancuran.
Keadilan adalah persoalan krusial yang telah dilemparkan Tuhan ke jagat raya ini agar manusia dengan akal budinya menyadari akan hal tersebut.
مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ
”Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang, maka lihatlah berulang-ulang adakah sesuatu yang kamu lihat tidak seimbang ?" (QS Al Mulk [67 ]:3)
Para pakar mendefinisikan pengertian “adil” yakni menempatkan sesuatu pada tempat semestinya.5 Maka manusia sebagai komplemen jagat raya ini tentu tidak luput dari keterkaitan masalah tersebut. Menjadi logis bila masalah keadilan (keseimbangan) ini juga menerobos ke dalam tatanan kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Perhatikan ayat-ayat di bawah ini;
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adli". (QS An Nisaa’ [4] :42)
Tidak ada perbedaan manusia di hadapan hukum. Nabi bersabda, bahwa kehancuran kehidupan ini akan terjadi bila hukum itu hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
إنَّمَا أهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ أنَّهُمْ كَانُوْا إذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الِشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ وَإذَا سَرَقَ فِيْهِمْ
الضَّعِيْفُ أقَامُوا عَلَيْهِ الحَدَّ
“Sesungguhnya umat sebelum kamu hancur hanyalah karena kalau orang-orang mulia (bangsawan) mencuri, mereka tinggalkan (tidak menegakkan) hukum, dan apabila orang lemah (hina) yang mencuri, mereka tegakkan (laksanakan) hukuman". (HR Buchori, Muslim dari Aisyiah ra).6
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ(1)فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ(2)وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin".( QS AL Maaun [107] : 2-3)]:90)
Adil juga berarti memberikan kepada pemilik hak-haknya, melalui jalan yang terdekat. Nikmat kemajuan perekonomian harus merata dirasakan oleh seluruh hamba Allah. Maka bohong saja seseorang yang merasa beriman tetapi masih membiarkan saudaranya kelaparan, maka bohong saja ketika suatu Negara mengatakan kemajuan ekonomi yang tinggi tetapi kenyataannya kemajuan itu hanya dinikmati beberapa gelintir warganya. Maka bohong saja penduduk suatu negeri yang memiliki kekayaan darat dan laut yang melimpah tetapi kekayaan itu tidak dinikmati oleh penduduk yang menghuni tempat tersebut. Bila terjadi kondisi demikian jelas ada penyimpangan dalam penerapan masalah keadilan, sebab utamanya adalah keadilan yang ada tidak ditegakkan dengan menggunakan konsepsi Wahyu yang dibawa Rasul. Sebagaimana diterangkan dalam ayat-ayat tersebut di atas.
”Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang, maka lihatlah berulang-ulang adakah sesuatu yang kamu lihat tidak seimbang ?" (QS Al Mulk [67 ]:3)
Dari ayat di atas kita dapat mengambil makna yang tersirat bahwa setiap kejadian atau setiap gejolak yang terdapat di jagat raya ini semua berjalan menurut timbangan (mizan) keadilan. Apabila kita telusuri maka semua itu mengikuti kausa sebab akibat. Dan jelas semua itu diletakkan oleh Tuhan dengan sangat adil. Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa jagat raya ini menuju ujung keseimbangan yang disebut kehancuran atau kiamat dan manusia sebagai pemelihara (kholifah) dimintai pertanggung jawaban. Kita bertanya, apakah kausa kehancuran dunia ini karena ulah manusia atau memang jagat raya ini diciptakan dalam kurun tertentu, kerusakannya tidak ada hubungannya dengan ulah manusia ? Apakah jika manusia dalam kehidupan di bumi ini secara teori tidak membuat kerusakan lantas kiamat tidak akan terjadi ?
Sebenarnya Allah SWT telah mengingatkan bahwa bila keadilan itu menurut hawa nafsu manusia maka tunggulan kehancuran jagat raya ini. Artinya bahwa kehancuran itu akan terjadi bila keadilan itu menurut konsepsi akal budi yang tidak mengacu pada kebenaran Wahyu.
Perhatikan fiman Allah berikut ;
وَلَوِ أتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ ألْسَمَآوَاتُ وَالاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّ
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya." (Al Mukminun [23]:71).
Dan gejala kehancuran dunia itu telah disebutkan dalam Al Qur’an, dalam ayat berikut;
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia" (QS Ar Ruum [30] : 41).
Jelas bahwa dari khabar yang disampaikan Allah SWT kepada manusia tersebut bahwa kehancuran dunia dan jagat raya ini ada pengaruh atau kontribusi manusia, atau dengan logika terbalik, jika manusia tidak memberikan kontribusi kerusakan terhadap jagat raya ini niscaya kiamat tidak akan terjadi. Salah satu contoh yang kita rasakan sekarang adalah terjadinya fenomena pemanasan global. Bila kita kembali pada statemen awal pada ucapan Malaikat :“Mereka (Para malaikat berkata) :”Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak ?" Maka penciptaan manusia itu memang dikonsep dalam rangka penghancuran jagad raya, yang di dalamnya sangat erat dengan masalah keseimbangan atau keadilan. Waallahu ’alamu bishawab.
***
Jagad raya ini memang sengaja merupakan tempat melempar persoalan, maka setiap individu dituntut kecerdikannya untuk menanggapi persoalan tersebut. Siapa dalam menggunakan akal budi selalu terkontrol dengan petunjuk Wahyu dia berada dalam koridor yang benar. Siapa dalam menggunakan akal budi berada di luar kontrol petunjuk Wahyu dia berada di luar koridor yang benar, mereka inilah sebenarnya kontributor keseimbangan menuju ke muara kehancuran jagad raya .
PUSTAKA
Al Qur’an Karim
1,3 Ansari, E.S, 1987. Ilmu, Filsafat dan Agama. PT Bina Ilmu. Surabaya. Hal 161,174.
2 Amstrong, Karen. 1993. A History of God: The 400-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam.
Trjmh. Zainul Am. 2001. PT Mizan Media Utama. Bandung. Hal 382- 445.
4 Ali, Abdullah. 2007. Agama dalam Ilmu Perbandingan. Nuansa Aulia. Bandung. Hal. 118-119.
5 Shihab, M. Quraish. 1999. Menyingkap Tabir Ilahi. Lentera Hati. Jakarta. Hal. 148.
6 Imam Suyuti. _______. Al Jaamingush Shogir. Juz I Maktab Dar Ihya Alkitab Arabiyah. Indonesia. Hal.
102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar