Terima Kasih Anda Telah Mengunjungi Blog Ini

Blog ini bukan untuk tujuan komersial, bila ada gadget tambahan yang bersifat komersial itu bukan kehendak pemilik blog !

Jumat, 12 Oktober 2012

Allah SWT Selalu Membimbing Kita untuk Memegang Cahaya

by
Budi Wibowo

بسم الله الرّحمان الرّيم


يس(1)وَالْقُرْءَانِ الْحَكِيمِ(2)إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ(3)

Yaa Sin, Demi Alqur’an yang penuh hikmah.  Sesungguhnya, engkau (Muhammad) adalah salah satu dari rasul-rasul (QS Yasin [36]: 1-3) 1.

Pepatah Arab mengatakan

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْد إنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ

Hari raya bukanlah bagi orang yang berpakaian baru, tetapi hari raya adalah milik orang yang ketaatannya bertambah. (Kata mutiara) 2.

***

Kata Yaa Sin, hanyalah Allah SWT yang mengetahui makna aslinya.  Tetapi  banyak mufasir menafsirkan bahwa yang dimaksud Yaa Sin adalah “yaa insan” (Wahai manusia, pen.) 3.   Jadi kalau ayat itu diganti dengan kata "Wahai manusia" maka ayat 1- 2 tersebut akan  berbunyi :

Wahai Manusia demi Al Qur’an yang penuh hikmah….”

Kata   الْحَكِيمِ dalam kamus Al Munawir  berarti arif atau bijaksana, sedangkan   dalam tafsir Jalalain disebutkan dengan makna المحكم بعجيب النظم  (dikerjakan dengan teliti, dengan rangkaian (kata-kata) yang mengagumkan)4.   Para ulama mengganti makna kata tersebut  dengan kata hikmah, yang mengandung makna kebijaksanaan, ilmu, filsafat, peribahasa atau pepatah.  Maka ayat 1 dan 2 surat Yasin  dapat kita ucapkan;

Wahai Manusia, demi  Al-Qur’an  yang  penuh hikmah. (  disusun penuh  ketelitian  yang di dalamnya banyak mengandung  kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, filsafat, peribahasa atau pepatah.)

Jika Allah bersumpah bahwa “Demi Al Qur’an yang penuh Hikmah”, maka barang siapa  selalu mempelajari Al Qur’an (bila Allah SWT  menghendaki ) niscaya dia akan mendapatkan ilmu, pelajaran atau petunjuk, sehingga dalam setiap gerak dan langkahnya menggambarkan isi Al Qur’an.   Dikatakan dia adalah ahli hikmah.

Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal." (Al Baqarah [2]:269)

Yang menarik dalam hal ini adalah firman Allah yang mengatakan bahwa “Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. “  Siapakah orang yang berakal itu ?   Orang yang berakal dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai “Ulil Albab” , yaitu orang selalu mengingat Allah dalam kondisi apapun dan selalu berfikir tentang ciptaan-Nya.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ  
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ
فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal , (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) :” Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS Al Imran:3:190).

Dalam ayat tersebut Allah SWT, menyatakan bahwa orang yang berakal itu tidak harus mereka yang mendapat pendidikan tinggi dalam pandangan manusia.   Pada ayat tersebut diterangkan bahwa orang berakal itu adalah orang yang memiliki kecerdikan dengan selalu ingat Tuhannya dan selalu berfikir tentang ciptaan-Nya termasuk fenomena yang terjadi pada dirinya.   Mungkin mereka  berada jauh di plosok desa, petani, buruh, abdi negara yang berada di bawah terik matahari di tengah kota atau jauh di perbatasan.    Ayat ini seperti mengingatkan fenomena yang sering terjadi di negeri ini.   Banyak pejabat  di negeri ini yang melanggar aturan (syariat) meskipun mereka adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi .  Jelas mereka meskipun memiliki kedudukan di tengah masyarakat,  bukan   tergolong sebagai orang-orang yang selalu mengingat Tuhannya (ahli dzikir) atau tidak memenuhi sebagai orang yang berakal di sisi Tuhannya.

Selain mengandung makna penuh hikmah,  Allah SWT menyebut Al Qur'an sebagai cahaya (petunjuk /hidayah).
مَا كُنْتَ تَدْرِى مَاالكِتَابُ وَلاَ الإمَانُ وَ لَكِنْ جَعَلنَا هُ نُوْرَاً نَهْدِى بِهِ مَنْ نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِيَا
"Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak mengetahui apakah iman itu tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya.   Kami tunjuki siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami." (Asy Syura [42] : 52)

Nabi mengajari  umatnya agar selalu berdoa  supaya diberi cahaya dari atas, dari bawah dan dari seluruh penjuru, terutama setiap berangkat menuju masjid di waktu shubuh, sebagaimana diriwayatkan Muslim dalam Annawawi, sbb;

.الّلهُمِّ اجْعَلْ فِى قَلْبِى نُورًا وَ فِى لِسَانِى نُورًا وَاجْعَلْ فِى سَمْعِى نُورًا وَاجْعَلْ فِى يَصَرِى نُورًا وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِى نُورًا وَ مِنْ     أ مَا مِى نُورًا , وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِى نُورًا وَ مِنْ تَحْتِى نُورًا , .الّلهُمِّ أعْطِنِى  نُورًا

“Ya Allah, berikan cahaya dalam hatiku, cahaya dalam lidahku, cahaya dalam pendengaranku, cahaya dalam penglihatanku, cahaya dari belakangku, cahaya dari hadapanku, cahaya dari atasku dan cahaya dari bawahku.   Ya Allah berikanlah cahaya padaku. (HR.  Muslim) 5.

Maka hamba yang mampu mengejawantahkan (mengaktualisasi) makna tekstual dan kontekstual  tali Allah (Al Qur’an dan Sunnah) mengindikasikan bahwa  hamba terasebut telah diberi kemampuan menangkap cahaya dan memancarkan ke  lingkungan sekitarnya.   Itulah hamba yang  telah mendapat anugerah yang besar.

Yang dikehendaki-Nya adalah seluruh hamba yang beriman mampu menangkap cahaya tersebut.   Setiap tahun tak henti-hentinya Allah SWT mengajak hambanya untuk mencari dan menangkap cahaya itu.   Inilah salah satu makna dari sekian banyak makna mengapa Allah SWT selalu memerintahkan hamba yang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Romadhon.    Sampai-sampai Dia menyediakan  insentip yang besar  untuk menarik para hamba-Nya yang beriman supaya benar-benar melaksanakan perintah tersebut dengan baik.  Ibadah sesaat di malam Lailatur Qodar sebanding dengan  beridah selama 1000 bulan. 

Namun banyak hamba yang mengaku beriman tetapi tidak mampu menangkap kedalaman makna perintah puasa tersebut.   Ketaatan mereka hanya bersifat temporer (sesaat), selepas bulan puasa mereka kembali dalam kemaksiatan baik yang bersifat samar maupun  terang-terangan, mereka adalah para oportunis  peribadatan.  Mereka adalah orang-orang yang melecehkan Penciptanya.   Mereka adalah golongan orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi ini.   Mereka adalah golongan orang-orang  yang tidak pintar.  Mereka adalah orang-orang yang mengalami kegelapan.

Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api (pelita), setelah menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (QS Al Baqarah [2]:17).
 
Sebaliknya mereka yang mampu menangkap perintah tersebut laksana orang yang mendapatkan pelita, mungkin pelita itu pada awalnya hanya kecil saja sinarnya namun semakin tahun  semakin terang cahayanya seperti mendapatkan tambahan energi.   Mereka adalah golongan orang-orang yang telah mampu menangkap cahaya.  Sungguh benar bila orang Arab membuat pepatah,


لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْد إنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ

Hari raya bukanlah bagi orang yang berpakainan baru, tetapi hari raya adalah milik orang yang ketaatannya bertambah. (Kata mutiara).

Mereka adalah orang yang beruntung karena telah mendapat  cahaya baik di dunia maupun di akherat.   Sekali lagi dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah mampu menangkap cahaya.    Semoga kita termasuk di dalamnya.  Amiiin.

PUSTAKA

1  Al Qur’an Karim
2  Sangid Ahmad.   2005.  Kamus Istilah Arab –Indonesia.
           Tiara Wacana. Yogya.  Hal. 240.
3 Muhammad, Abdulah. Ashaq Asy Syeikh,
           Abdurahman. 1994. Lubabut Tafsir Min Ibn
           Katsir.  Diterjemah oleh Abdul Ghaffar, judul :
           Tafsir Ibn Katsir.  Pustaka  Imam asy-Syafi’i.
           Bogor. Jild 6. Hal.   630.
 4          Muhamad, Jalaluddin dan Abdurahman,
              Jalaluddin.    ____.  Tafsir Al Qur’anul
              Adzim.   Jilid  2.  Maktab Imam.  Surabaya.
              Hal.  122.
5          Nawawi, Imam. 1419 H. Al Adzkar. Pustaka Al
            ’Alawiyah. Semarang. Hal. 32
 ======
BW
( Disampaikan pada pengajian rutin "Yasinan",  Kamis malam Jum’at, 30 Agustus 2012,  )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar