by
Budi
Wibowo
بسم الله الرّحمان الرّحيم
Ia adalah milik kita, ia adalah titipan Allah
SWT kepada kita, ia adalah mahligai kita yang paling berharga dan ia menjadi perebutan antara kita dengan dzat
lain. Oleh karena itu kita harus menjaganya.
***
Lupa dan ingat
laksana dua muka pada sekeping mata uang, artinya dimanapun manusia berada dua
perhiasan tersebut selalu melekat padanya. Mungkin
Allah SWT tidak akan menciptakan lupa tanpa penciptaan ingat. Jadi ketika kita mengatakan lupa sebenarnya
kita sedang membicarakan tentang ingat. Jadi dalam diri manusia Allah SWT menciptakan
sesuatu dimana di situ lupa dan ingat bersemayam.
Seorang pelukis
walau sepintas melihat singa tidur dia memiliki
daya potret yang lebih unggul dibanding dengan seorang matematis, ketika
keduanya melukis obyek tersebut seorang matematis tidak lebih sempurna
lukisannya dibanding dengan seorang pelukis.
Sebaliknya demikian pula.
Ada orang yang
pandai menghafal pelajaran biologi namun ketika melantunkan nada yang pernah
dia dengar tidak sebagus orang yang memiliki bakat menyanyi. Demikan pula sebaliknya.
Dan masih banyak
fenomena berkaitan dengan masalah kelebihan
dan kekurangan yang terjadi pada seseorang.
Oleh karena itu Tuhan melarang hambaNya bersikap sombong.
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ
لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ
مَرَحًا
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
إِنَّ
أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari
manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan
diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS Luqman [31]:18-19).
لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَلَ ذَرَةٍ مِنْ
كِبْرٍ
Tidak akan masuk syurga orang yang di
dalam hatinya terdapat seberat biji dzarah pun dari kesombongan. (HR Alqamah
dari Ibn Mas’ud dengan sanad marfu’) 1
Bila kita mau merenung sejenak, ternyata semua itu berkaitan
dengan masalah lupa, yakni kondisi tidak menyatunya kesadaran,
pikiran, ucapan dan tindakan pada ruang yang sama.
***
Seperti yang kita rasakan
saat melaksanakan sholat, lupa adalah sesuatu yang menjadi perebutan antara manusia yang
bersangkutan dengan dzat lain. Fenomena
ini dapat kita rasakan ketika tiba-tiba kesadaran kita berpindah ke ruang lain, kemudian kita tarik kembali ke
dalam ruang dimana dan dengan siapa kita berhadapan dan berbicara.
Fenomena ini menyadarkan kita bahwa lupa bukanlah kehendak pemilik lupa (manusia). Dalam Al Qur’an Tuhan menyampaikan pesan
kepada Imam sholat agar dia memaklumi kapasitas makmum yang mengikutinya, artinya
ukuran bacaan sholat (ayat-ayat yang
dibaca) mengacu pada kondisi dan kemampuan makmum di belakangnya bukan pada
kemampuan imam, sehingga makmum tidak terseret ke ruang lain (lalai), sbb;
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ
مِنَ الْقُرْءَانِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَءَاخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَءَاخَرُونَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah yang
mudah (bagimu) dari Al qur’an; Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu
orang-orang yang sakit , dan yang lain berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah yang mudah
dari Qur’an. (QS Al Muzmil [73]:20)
Dari fenomena sholat itu kita dapat
membuat gambaran bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang menjadi
perebutan antara manusia dan dzat lain.
Dzat lain itu terdiri dari dzat yang menarik ke dalam ruang yang benar
dan yang menarik ke dalam ruang yang
tidak benar (melalaikan).
Rasul mengajarkan do’a :
اللَّهُمَّ أعِنِيّ عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ و حُسْنِ عِباَدَتِكَ
“Ya Allah bimbinglah hamba untuk selalu berdzikir, bersyukur
dan membaguskan dalam beribadah kepadaMU.” (HR Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad sahih)2
Do’a tersebut menggambarkan bahwa Allah SWT memiliki peran dalam menarik kesadaran hambaNya
ke dalam ruang yang benar dan tindakan
inilah yang selalu diharapkan hambaNya. Perlu kita sadarfahami bahwa ruang kebenaran
menurut Tuhan itu tidak akan pernah terjangkau luasnya oleh manusia. Kemudian Allah SWT menegaskan bahwa ruang
itu adalah sikap dasar (fitrah) manusia, yakni tunduk dan patuh menuruti perintahNya, yang dalam firmanNya digambarkan sebagai agama Allah. Namun tidak banyak manusia yang
mengetahuinya, seperti termaktub dalam
Al Qur’an sbb;
فَاَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah pada) fitrah Allah. Dia yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Rum :30 :30).
Pada
sisi lain ada peran dzat yang menarik ke dalam ruang yang tidak benar. Dalam Al Qur’an yang disebut dzat lain itu
adalah Iblis dan keturunannya yang disebut syetan. Kita dapat memperhatikan firman
berikut. QS Al-Mujadillah: 19:
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ
فَأَنساهُمْ ذِكْرَ اللهِۚ أَلآ إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطانِ هُمُ الخَاسِرُونَ
“Syetan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syetan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan syaiton (syetan) itu golongan yang merugi”.
***
Kini
kita dapat merasakan adanya sesuatu, ia adalah milik kita, ia adalah titipan Allah SWT
kepada kita, ia adalah mahligai kita yang paling berharga dan ia menjadi perebutan antara kita dengan dzat
lain. Oleh karena itu kita harus menjaganya. Kita harus membawanya ke ruang yang benar, bahkan Tuhanpun membimbing kita
sebab mahligai itu menuju ruang tersebut.
Bersama mahligai itu kita harus selalu bersamaNya. Kesadaran
inilah yang harus kita tanamkan dalam diri, sebab hilangnya kesadaran demikian
menjadikan manusia bagaikan bangkai yang berjalan.
مَثَلُ الّذيْ يَذكُرُ اللهَ
والّذِى لا يَذكُرُ اللهَ مَثَلُ الحَيِّ وَ المَيِّتُ
“Perumpamaan (perbandingan) orang yang ingat akan Allah dan orang yang tidak ingat akan Allah adalah seperti orang yang hidup dan mati.” (HR Bukhori) 3
Jadi ruang yang benar itu adalah ruang
dimana ingatan manusia selalu diisi nasehat agama dimana dan dengan
siapa dia berhadapan dan berbicara
ketika melihat, hendak dan sedang melakukan sesuatu. Wallahu a’lamu bishawabi.
Demikian semoga bermanfaat.
Amiin.
وصلّ الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم
PUSTAKA
Al Qur’an karim.
1. Muhammad, Abdulah. Ashaq
Asy Syeikh, Abdurahman. 1994.
Lubabut Tafsir Min Ibn Katsir. Diterjemah oleh Abdul
Ghaffar, judul : Tafsir Ibn Katsir. Pustaka Imam asy-
Syafi’i. Bogor. Jilid 6. hal. 407.
2 Nawawi, Imam. 1419 H. Al Adzkar. Pustaka
Al ’Alawiyah. Semarang. Hal.69.
Dar
Al-Kotob Al-Ilmiah. Beyrouth. Lebanon. Cet. VI.
Hal. 289.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar