by
Budi Wibowo *)
بسم الله الرّحمان الرّحيم
Pernahkah Anda memperhatikan, pembantu rumah tangga yang
jujur, karyawan atau bawahan yang patuh, bertindak apa adanya sesuai norma, seorang petani yang bekerja seakan mengikuti
naluri, pagi mengangkat cangkul ke
ladang pulang petang sambil membawa hijauan ternak dan hasil panennya, kemudian esok berangkat lagi ke ladang ? Mungkin Anda beranggapan bahwa mereka adalah
orang-orang yang memiliki intelegensia rendah,
padahal mereka paham tentang hitam-putihnya kehidupan ini,
tidak ada keberanian menabrak batas pemisah di antara keduanya.
Bandingkan barangkali dengan diri Anda yang pandai berargumen,
mengolah data, membungkus keharaman sehingga nampak sabagai kehalalan. Pernahkah Anda berpikir bahwa kehormatan yang Anda peroleh itu semu adanya
? Bila demikian siapa sebenarnya
berintelegensia rendah. Anda ataukah mereka ?!
***
Di jaman sekarang sudah banyak yang beranggapan bahwa mencari
rezeki yang halal itu sulit, bahkan ada
yang beranggapan bahwa jika ada orang yang mengajak ke jalan kebaikan dalam pencarian rezeki,
mereka mencibir, mereka berkata “Sok idealis” atau “ Berlagak sok suci”, bahkan mereka mengatakan
“Mencari yang haram saja susah apalagi mencari yang halal.”
Orang yang berpikiran demikian hampir dapat kita pastikan bahwa mereka adalah orang yang tidak memperhatikan kehalal-haraman
dalam mencari rezeki. Mungkin ada
benarnya mereka mengatakan demikian bila sang penyeru itu sendiri memang telah
diketahui kredibilitasnya di hadapan mereka..
Allah SWT berfirman dalam
QS Al Baqrah : 42;
وَلَا
تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah [2] : 42).
Dari
ayat ini kita dapat mengambil makna bahwa Allah jelas-jelas melarang
memanfaatkan rezeki yang di dalamnya sekaligus terkandung unsur keharaman dan kehalalan
Bahkan Rasul memperjelas keterangan ayat tersebut dengan mengucapkan keharamannya.
الحَلاَلُ
بَيِّنٌ و الحَرَامُ بَيِِّنٌ وَ
بَيْنَهُمَا اُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ
لاَ
يَعْلَمُهًنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النّاسِ وَ مَنِ تَقَّى الشُبُهَاتِ فَقَدْ
اِسْتَبْرَاءَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ
وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُبُهَاتِ وَقَعَ فِى الحَرَامِ
"Halal itu jelas. Haram itu jelas dan di antara keduanya
terdapat berbagai persoalan yang samar (syubhat) yang tidak dapat diketahui
oleh sebagian besar manusia. Maka barang siapa menjaga dirinya dari syubhat dia
benar-benar telah membebaskan (menjaga) agama dan kehormatannya. Dan barang
siapa terjatuh ke dalam yang samar, maka dia telah terjatuh dalam keharaman”.
(HR Syaikhan).1
Dari Firman Allah dan
sabda Rasul di atas terungkap bahwa siapa terhindar dari perbuatan (syubhat) termasuk golongan orang yang pandai menjaga kehormatan dirinya sebab telah menjaga kehormatan agamanya.
Kita tahu bahwa “kehormatan” adalah harta yang tidak
ternilai, oleh karena itu harus kita pertahankan kemurnianya, artinya jangan
sampai tercampur hal yang syubhat sehingga kehormatan yang kita
dapatkan menjadi bersifat semu. Semua
ini dapat kita capai bila dalam pencarian rezeki benar-benar berjalan di atas rel agama yang
kita tempuh. Dari ayat dan sabda Rasul
tersebut dapat kita petik kalimat kunci (key note) bahwa menjaga kehormatan
agama berbanding lurus dengan menjaga kehormatan diri, artinya barang siapa
menjaga kehormatan agamanya sama artinya dengan menjaga kehormatan dirinya.
وَ مَنِ تَقَّى الشُبُهَاتِ فَقَدْ اِسْتَبْرَاءَ
لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ
“Maka barang siapa menjaga
dirinya dari syubhat dia benar-benar telah membebaskan (menjaga) agama dan
kehormatannya”.
***
Sebaliknya mereka yang terjerumus ke dalam dunia yang samar
artinya mereka yang memanfaatkan/memakan rezeki yang tidak jelas termasuk orang-orang yang sesat, sebab
melalui jalan tersebut mereka sama saja dengan sengaja
menghancurkan kehormatan agamanya, sepadan
dengan menghancurkan kehormatan pribadinya.
Dikatakan oleh Rasul bahwa mereka telah terjerembab ke dalam hal yang
dilarang (haram).
Seperti yang terjadi di negeri kita sekarang bahwa negeri ini telah dilanda
krisis kepercayaan. Atau telah
terjadi krisis kehormatan. Pemimpin
telah kehilangan kehormatan di hadapan rakyatnya. Seperti yang kita saksikan baru-baru
ini. Dahulu setiap ada pejabat negara
yang meninggal, negara berkabung dengan mengibarkan bendera setengah
tiang, tetapi sekarang (mohon maaf)
dapat kita lihat bahwa hampir di seluruh pelosok negeri ini tidak ada yang mengibarkan bendera
setengah tiyang lagi. Pertanyaannya
dimana naluri kehormatan yang dulu telah tertanam itu ? Dimana naluri penggembala (pemimpin) dalam
diri pejabat yang seharusnya meluruskan rakyatnya untuk menjaga nilai-nilai
luhur yang telah dititipkan oleh para pendiri negeri ini ?
Dalam sekala
nasional, peristiwa anarkis, arogansi dan profokatif sudah merupakan santapan siang tiap
hari. Kita dapat membuktikan melalui
media masa baik elektronik maupun non elektronik hampir setiap hari tidak
pernah sunyi dari pemberitaan peristiwa yang sangat memilukan tersebut. Padahal mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Di mata dunia peristiwa-peristiwa ini
mengundang pertanyaan. “Kok negara yang
penduduknya mayoritas muslim
begitu?”
Semua itu menunjukkan bahwa pemahaman ajaran agama yang
mereka terima hanyalah sebatas kepala, tidak sampai ke dalam lembah
penghayatan. Maka benarlah sabda Rasul
di atas bahwa pangkal dari semua itu karena sepak terjang masyarakat dalam
mendapatkan rezeki tidak memperhitungkan kehalalharaman lagi.
Jadi jelas bahwa efek
dari memakan barang yang samar (subhat) mendatangkan predikat buruk pada pelakunya.
***
Dalam suatu hadist Rasulullah bersabda.
الا وَإنَّ فى
الجَسَدِ مُغَةً اِذاَ صَلَحَتْ صَلَحَ
الجَسَدُ كُلُّهُ
وَإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ألاَ
وَهِيَ القَلْبُ
“Ingatlah sesungguhnya dalam tubuh terdapat segumpal darah,
dimana jika darah tersebut keadaannya baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan jika darah tersebut rusak, maka rusaklah
seluruh tubuh. Ingatlah dialah hati.” (HR Bukhori).2
Hadist di atas mengandung 2 (dua) makna, yakni makna tekstual
dan kontekstual. Secara
tekstual jelaslah bahwa bila organ tubuh (hati) rusak maka organ tubuh yang
lain akan ikut terpengaruhi., sehingga penderita tidak dapat memberikan performance
yang optimal dalam beraktivitas.
Secara kontekstual , dapat kita rasakan bahwa Rasul
menggunakan gaya bahasa metaforis yang dalam maknanya. Ungkapan tersebut syarat dengan pesan larangan mengusahakan, memakan, memanfaatkan, sekalipun hanya mencicipi perolehan rezeki yang hukumnya haram, karena akan berdampak buruk terhadap diri pelaku, lingkungan dan masyarakat sekitar
. Maka wajib hukumnya bagi setiap orang Islam
mencari harta yang halal.
طَلَبُ
الحَلَالِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari harta
yang halal itu wajib bagi setiap orang Islam" (HR Thabarani)3a.
Mari kita perhatikan
sabda Rasulullah SAW berikut;
...يَا
سَعْدُ, أطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّوَةِ. وَالّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إنَّ
العَبْدَ لَيَقْذِفَ اللُقْمَةَ الحَرَامَ فِ جَوْفِهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ
عَمَلُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا وَاَيُّمَا عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنْ سُحْتٍ
فَالنَّارُ أوْلَى بِهِ
..Wahai Sa'ad, bersihkanlah
makananmu niscaya kamu jadi orang yang mustajab do’anya. Demi zat yang jiwa Muhammad ada dalam
kekuasaan-Nya, sesungguhnya orang yang telah memasukkan sesuap makanan haram ke
dalam perutnya tidak akan diterima amalnya empat puluh hari. Dan setiap hamba yang dagingnya tumbuh dari
barang haram, maka neraka lebih utama baginya.”
(HR. Thabarani) 3b.
***
Pernahkah Anda memperhatikan, pembantu rumah tangga yang
jujur, karyawan atau bawahan yang patuh, bertindak apa adanya sesuai norma, seorang petani yang bekerja seakan mengikuti
naluri, pagi mengangkat cangkul ke
ladang pulang petang sambil membawa hijauan ternak dan hasil panen lainnya,
kemudian esok berangkat lagi ke ladang ?
Mungkin Anda beranggapan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki
intelgensia rendah, padahal mereka
paham tentang hitam-putihnya kehidupan ini, tidak ada keberanian menabrak batas pemisah di
antara keduanya.
Bandingkan barangkali dengan diri Anda yang pandai
berargumen, mengolah data, membungkus keharaman
sehingga nampak sabagai kehalalan. Pernahkah Anda berpikir bahwa kehormatan yang Anda peroleh itu semu adanya
? Bila demikian siapa sebenarnya
berintelegensia rendah. Anda ataukah
mereka ?!
Wallahu ‘alamu bishawab
بَارَكَ اللهُ لِئ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْ اَنِ
الْعَظِمَ
وَنَفَعَنِئ وَ أِيَكُم بِا لاَيَاتِ
وَالْذِّكْرِ الْحَكِيْمَ
وَ قُلْ رَبِّ
اغْفِرْ وَارْحَمْ وَ اَنْتَ خَيْرٌ الَّراحِمِيْنَ
PUSTAKA
Al Qur’an Karim.
1
Hasyimi, Sayid Ahmad. 1995. Mukhtarul Ahadist An- Nabawyah. (Diterjemah: Mahmud Zaini).
Pustaka Amani. Jakarta. Hal. 209.
Pustaka Amani. Jakarta. Hal. 209.
2.
Al ‘Asqalani, Ibn Hajar. __.
Bulughul Maram. (Diterjemah: Machfuddin Aladip). CV. Toha
Putera. Semarang.
Hal. 755.
3a-b.
Mundzir, Hafiz, 1995. At Targhib Wat Tarhib. (Diterjemah : Mahfudli Sahli). Pustaka Amani.
Jakarta. Hal 97-98.
______________________
*) Materi Khutbah Jum’at, yg telah disampaikan
penulis tgl. 11 Mei 2012. di salah satu masjid. di Bandarlampung,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar